Jumlah dan Bentuk Mahar
Mahar -Mahar merupakan sesuatu yang wajib diberikan oleh seorang suami kepada istrinya pada saat pernikahan. Kemudian, apa saja mahar yang bisa diberikan kepada calon istri dalam sebuah pernikahan????
image from: myegolddinar.blogspot.com
Besarnya mahar tidak ditetapkan dalam syari’at Islam. Rahmat Hakim
berpendapat bahwa besar-kecilnya mahar sangat bergantung pada kebiasaan negara
maupun situasi dan kondisinya. Dengan demikian, besarnya mahar yang diberikan
oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan selalu berbeda-beda.
Karena mahar merupakan hak mempelai perempuan, pihak mempelai
perempuan berhak memilih dan menentukan maharnya. Ia berhak meminta mahar dalam
jumlah yang besar atau kecil, dan iapun berhak mengembalikan segala sesuatunya
kepada pihak mempelai laki-laki. Pihak mempelai perempuan berhak meminta mahar
dalam bentuk emas, rumah, tanah, mobil, dan sebagainya. Akan tetapi, yang
paling berkah adalah permintaan mahar yang murah dan sederhana.
Besar kecilnya jumlah mahar, jenis dan bentuknya, hendaknya
berpedoman pada sifat kesederhanaan dan ajaran kemudahan yang dianjurkan oleh
syari’at agama Islam. Islam tidak menetapkan jumlahnya, tetaoi disesuaikan
dengan kemampuan pihak mempelai laki-laki. Mengenai besarnya mahar, ulama fiqh
telah bersepakat bahwa mahar itu tidak ada batas tinggi dan rendahnya.
Imam Syafi’i, Ahmad bin Hambal, Ishaq, Abu Tsaur, dan fuqaha
Madinah dari kalangan tabi’in berpendapat bahwa mahar tidak mengenal batas
tinggi-rendah, dan besar-kecilnya.
Segala sesuatu yang dapat menjadi harga bagi sesuatu yang lain dapat dijadikan
mahar. Pendapat tersebut dikemukakan oleh Ibnu Wahab dari kalangan pengikut
Imam Malik.
Sebagia ulama mewajibkan penentuan batas tinggi-rendahnya mahar.
Mereka berselisih dalam dua pendapat. Pendapat pertama dikemukakan oleh Imam
Malik dan pengikutnya, sedangkan pendapat kedua dikemukakan Imam Abu Hanifah
dan para pengikutnya.
Imam Malik berpendapat bahwa paling sedikit mahar itu harus
mencapai seperempat dinar emas atau perak seberat tiga dirham timbangan, atau
barang yang sebanding dengan tiga dirham tersebut. Imam Malik berkata bahwa
paling sedikit harus mencapai empat puluh dirham.
Muhammad bin Isa menyatakan bahwa Imam Abu Hanifah berpendapat
bahwa mahar paling sedikit adalah sepuluh dirham. Dalam suatu riwayat
disebutkan bahwa mahar paling sedikit empat puluh dirham, sebagaimana ulama
Kufah mengatakan:
وقال بعض اهل كوفة :لا يكون المهر
أقلّ من ربعٍ
“Dan berkata ulama Kufah bahwa paling sedikit
mahar adalah 40 dirham.” (H.R.
Tirmidzi)
Perbedaan pendapat tentang batas minimal (terendah) mahar tersebut
disebabkan oleh dua faktor, yaitu:
Pertama, disebabkan
ketidakjelasan akad nikah itu sendiri antara kedudukannya sebagai salah satu
jenis pertukaran, dan yang dijadikan pegangannya adalah kerelaan menerima
ganti, baik sedikit atau banyak seperti halnya dalam jual-beli, dan
kedudukannya sebagai suatu ibadah, sehingga sudah ada ketentuannya.
Hal tersebut ditinjau dari segi bahwa dengan mahar itu, seorang
laki-laki dapat memiliki jasad seorang wanita untuk selamanya, sehingga
perkawinan itu mirip dengan pertukaran. Akan tetapi, bila ditinjau dari segi
adanya larangan mengadakan persetujuan untuk meniadakan mahar, hal itu mirip
ibadah.
Kedua, disebabkan
adanya pertentangan qiyas yang menghendaki adanya pembatasan mahar, dengan
mafhum hadis yang tidak menghendaki adanya pembatasan. Qiyas yang menghendaki
adanya pembatasan adalah bahwa pernikahan itu merupakan ibadah, sedangkan
ibadah itu sudah ada ketentuan-ketentuannya.
Para ulama ahli hadis berpendapat bahwa sabda Nabi saw. “berikanlah
maharnya walaupun hanya berupa cincin besi,” merupakan dalil bahwa mahar
itu tidak mempunyai batasan terendah. Jika ada batas terendahnya tentu Nabi
saw. menjelaskannya.
Sedangkan qiyas yang dijadikan pegangan oleh fuqaha yang membatasi
batas minimal mahar tidak dapat diterima premis (muqaddimah)nya. Hal tersebut
karena qiyas tersebut didasarkan atas dua premis. Pertama, bahwa mahar
adalah ibadah. Kedua, ibadah itu sudah ditentukan. Konklusinya adalah
mahar itu ditentukan.
Kedua premis tersebut masih diperselisihkan oleh fuqaha lainnya.
Hal itu karena di sana terdapat pula ibadah yang tidak ditentukan. Bahkan yang
diwajibkan padanya hanyalah melakukan perbuatan yang sekurang-kurangnya dapat
memenuhi ibadah tersebut. Lagipula, pada mahar tersebut tidak ada ketentuan
bentuk dan jumlahnya, hanya memuat kemiripan dengan ibadah semata-mata.
Karena itu dalam menetapkan besar-kecilnya mahar (maskawin),
diperlukan kerelaan dari pihak-pihak yang bersangkutan, berdasarkan hadis Nabi
saw. yang menceritakan seorang laki-laki yang membayar mahar dengan sepasang
sandal. Jika pihak perempuan rela dan menerimanya, terjadilah perkawinan
tersebut.
Bentuk maskawin boleh apa saja, asal dapat dimiliki dan dapat ditukarkan,
kecuali benda-benda yang diharamkan oleh Allah SAW dan Rasul-Nya, seperti
Khamr, daging babi, bangkai, dan sebagainya. Begitu pula benda-benda yang tidak
bisa dijadikan hak milik, seperti air, binatang-binatang yang tidak bisa
dimiliki, dan sebagainya.
Selain dengan harta (materi), mahar juga boleh dengan selain harta
(immateri), seperti dengan bacaan (mengajarkan) al-Qur’an dan keIslaman (masuk
Islamnya suami sebagai mahar).
Mengenai mahar yang berupa upah, yaitu seorang laki-laki
memperistri seorang perempuan yang maharnya dengan cara mengambil upah dari
suatu pekerjaan kepada pihak istri. Perkawinan dengan mahar berupa upah ini
disebut nikah bi al-ijarah.
Bentuk mahar seperti ini diperbolehkan oleh agama. Dasarnya adalah
perbuatan Nabi saw. yang membolehkan seorang laki-laki menikahi seorang
perempuan dengan mahar mengajarkan ayat-ayat Al-Qur’an kepada calon istrinya.
Juga berdasarkan perbuatan Nabi Syu’aib a.s. yang menikahkan
putrinya dengan Nabi Musa a.s., firman Allah SWT dalam surat al-Qashash ayat
27:
“Dia Syu’aib berkata, “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan engkau
dengan salah seorang dari kedua anak perempuanku ini, dengan ketentuan bahwa
engkau bekerja padaku selama delapan tahun dan jika kamu sempurnakan sepuluh
tahun, maka itu adalah suatu (kebaikan) darimu, dan aku tidak bermaksud
memberatkan engkau. Insya Allah engkau akan mendapatiku orang yang baik.”
Syari’at para Nabi sebelum Nabi Muhammad saw. dapat dijadikan
syari’at bagi umat Nabi Muhammad saw. selama tidak bertentangan dengan syari’at
Nabi Muhammad saw.
Yang dimaksud dengan jenis mahar adalah sesuatu yang dapat dimiliki
dan dijadikan pengganti (dapat ditukarkan). Artinya, jenis (bentuk) mahar
tersebut dapat ditukarkan dengan benda atau barang lain yang berbeda
manfaatnya. Mengenai bentuk mahar atau jenisnya, tidak ada ketentuan minimal
atau maksimalnya. Yang penting adalah segala sesuatu yang bernilai dan
bermanfaat dapat dijadikan mahar.
Mahar dapat berupa emas, misalnya cincin, gelang, kalung, dan
sejenisnya. Dapat pula berupa makanan, misalnya kurma, gabah, dan buah-buahan,
selama diterima oleh pihak perempuan yang akan dinikahi.
Dalam kaitannya dengan kawin buruh, atau nikah al-ijarah dan
kawin dengan budak wanita dengan menjadikan kemerdekaannya sebagai mahar
terjadi perbedaan pendapat. Kalangan Madzhab Maliki berpendapat bahwa
pernikahan itu boleh dilakukan, tetapi sebagian Malikiyah lainnya melarang dan
ada pula yang memakruhkannya. Imam Malik menyatakan makruh, sehingga harus
dibatalkan sebelum terjadi dukhul.
Perbedaan pendapat di atas disangkal oleh Malikiyah lainnya dengan
menyatakan bahwa Rasulullah saw telah memerdekakan Shafiyah dan menjadikan
kemerdekaan tersebut sebagai mahar. Pendapat yang membolehkan kemerdekaan atas
hamba sahaya sebagai mahar dipegang pula oleh Imam Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq.
Demikian pula dengan Ibnu Qayyim yang membolehkan nikah buruh dan kemerdekaan
hamba sahaya sebagai mas kawin.
Berdasarkan surat al-Qashash ayat 27 yang menjelaskan kasus Nabi
Syu’aib menjadikan Musa sebagai penggembala atau buruh selama delapan tahun,
dan itu menjadi mahar bagi perkawinannya dengan anak perempuan Nabi Syu’aib,
dapat dipahami bahwa hukum nikah bil al-ijarah adalah boleh.
Ulama yang tidak membolehkan nikah buruh berpandangan bahwa hal itu
sama dengan jual beli perempuan. Perempuan yang akan dinikahi diibaratkan
barang yang dapat dibeli dengan cara perjanjian perburuhan, sedangkan dalam
perburuhan, majikan berkewajiban membayar upah seorang buruh yang disewa
jasanya. Demikian pula, dengan memberi mahar kepada hamba sahaya dengan
memerdekakannya. Meskipun terdapat hadis yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad
aw. Menikahi Shafiyah dengan mahar memerdekakannya, hal itu berlaku khusus
untuk Rasulullah saw.
Alasan lainnya adalah bahwa memberi kemerdakaan kepada seorang
hamba sahaya adalah melepaskan atau membebaskan hak kepemilikan tuannya atas
hamba sahaya yang bersangkutan. Artinya, memerdekakan budak berarti membayar
kepada tuannya. Bagaimana mungkin setelah pembayaran dilakukan kepada tuannya,
lalu hamba sahaya itu menjadi istrinya yang maharnya dari harta yang telah
dibayarkan kepada tuannya? Di sisi lain orang yang telah memerdekakan hamba
sahaya secara otomatis menjadi tuannya yang baru yang memiliki hamba sahaya
bersangkutan. Mengapa harus menikah lagi?
Imam Syafi’i berpendapat bahwa memanfaatkan hamba sahaya yang telah
dimerdekakan oleh tuannya, otomatis diperbolehkan, sebagaimana Rasulullah saw.
menjadikan Shafiyah sebagai istrinya karena telah dimerdekakan. Oleh karena
itulah, tuannya boleh menikmati hamba sahaya perempuan tersebut, dan Rasulullah
saw. tidak pernah melarangnya. Jika tidak boleh, tentu Rasulullah saw. akan
melarangnya atau menjelaskannya dalam suatu hadis.
Dengan demikian, jenis mahar bagi mempelai perempuan tidak diatur
secara khusus. Yang terpenting suatu yang bersifat material atau mengandung
manfaat bagi pihak mempelai perempuan, sebagaimana bolehnya maskawin dengan
menjadi buruh terhadap calon mertua jika hal itu disepakati atau sebagaimana
memerdekakan hamba sahaya sebagai mahar atasnya.
Mukhtar Kamal menyebutkan, “Janganlah hendaknya
ketidaksanggupan membayar maskawin karena besar jumlahnya menjadi penghalang
berlangsungnya suatu perkawinan,” sesuai dengan sabda Nabi SAW:
عن سهل بن سعدٍ أنّ
النّبي صلّي الله عليه و سلّم جاءتْهُ امرأةٌ فقالت : يا رسول اللهِ إنّي وهبتُ
نفسِي لك. فقامتْ قيامًا طويلًا. فقام رجلٌ فقال : يا رسُول اللهِ, زوِّجْنِيْها
إنْ لمْ يكنْ لكَ بها حاجةٌ، فقال رسول الله صلّي الله عليه و سلّم : هل عندَكَ من
شيْءٍ تُصَدِّقٌها ايّها؟ فقال : ما عنديْ إلاّ ازاري هذا. فقال النّبيُّ صلّي
الله عليه و سلّم : إنْ أعطيتَها إزارك، جلست لا إزار لك، فلتمِس شيئًا، فقال : ما
اجدُ شيئًا. فقال النّبيُّ صلّي الله عليه و سلّم : إلْتَمِسْ ولو خاتِمًا من
حديدٍ، فلتمس فلم يجدْ شيئًا، فقال له النبيّ صلّي الله عليه و سلّم : هل معَكَ من
القران شيءٌ؟ فقال : نعم سورة كذاو سورة و
كذا. لسورٍ يسمّه. فقال النبي صلّ عليه وسلم : قد زوّجتطك بما معكمن القران (رواه البجاري و مسلم)
“Dari Sahl bin Sa’ad,
sesungguhnya telah datang kepada Rasulullah saw. seorang wanita maka ia berkata:
“Ya Rasulullah! Aku serahkan dengan sungguh-sungguh diriku kepadamu”. Dan,
wanita tersebut berdiri lama sekali, lalu berdirilah seorang laki-laki, ia
berkata: “Ya Rasulullah saw., kawinkanlah ia kepada saya jika engkau tidak
berminat terhadapnya”. Maka Rasulullah saw. menjawab: “Adakah engkau mempunyai
sesuatu yang dapat engkau jadikan mahar untuknya? Laki-laki itu berkata: “Aku
tidak mempunyai sesuatu selain sarungku ini”. Nabi saw. berkata: “Jika engkau
berikan sarungmu (sebagai mahar) tentulah kamu duduk tanpa sarung, maka carilah
sesuatu (yang lain)”. Laki-laki itu menjawab: “Saya tidak mendapatkan apa-apa.”
Nabi berkata: “Carilah, walaupun sebuah cincin besi”. Kemudian ia mencarinya
lagi, tetapi ia tidak memperoleh sesuatu apa pun. Maka Rasulullah saw.
bersabda: “Adakah engkau hafal sesuatu ayat dari Al-Qur’an?” Laki-laki tersebut
berkata: “Ada surat ini dan surat ini” sampai kepada surat yang disebutkannya.
Nabi SAW. bersabda: “Engkau telah aku nikahkan dengan dia dengan maskawin
(mahar) Al-Qur’an yang engkau hafal”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Sifat-sifat mahar termasuk jenis dan bentuk mahar, yakni
ada yang berbentuk benda dan ada pula yang bukan benda, melainkan manfaat jasa
tertentu, sebagaimana seorang laki-laki membayar mahar dengan mengajarkan
al-Qur’an atau menjadi buruh. Yang
terpenting adalah mahar yang dimaksudkan harus jelas jenis dan bentuknya
sedangkan besar-kecil dan sedikit-banyaknya tidak bersifat mutlak, bergantung
pada kesepakatan kedua belah pihak, terutama pihak mempelai perempuan.
Jenis mahar dalam pernikahan harus diketahui dan disebutkan
sehingga pihak mempelai perempuan mengetahuinya. Apabila tidak disebutkan
jenisnya, perkawinan tersebut sama dengan tidak membayar mahar. Bahkan menurut
Ibnu Rusyd, pihak mempelai laki-laki harus mengeluarkan barang yang akan
dijadikan mahar atau menjelaskan manfaat suatu pekerjaan yang menjadi maharnya.
Meskipun cara tersebut dipandang mempersamakan perkawinan dengan jual beli,
Imam Malik dan Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa mahar merupakan penghargaan
bagi perempuan yang akan dinikahi. Bahkan, dalam jual beli pun, barangnya harus
jelas sehingga tidak terjadi spekulasi, yang mengandung unsur gharar.
Demikian pula dalam pernikahan, maharnya tidak dibenarkan mengandung unsur
spekulasi atau gharar.
0 komentar:
Post a Comment