Macam-Macam Mahar Berdasarkan Cara Pembayarannya
Mahar -Mengenai kewajiban pembayaran mahar, para fuqaha telah sepakat
bahwa mahar wajib diberikan oleh seorang mempelai laki-laki kepada mempelai
wanita. Waktu pemberian mahar biasa dilakukan pada waktu akad perkawinan. Mahar
yang dimaksudkan terdiri dari beberapa macam, yaitu:
1.
Mahar Musamma
Mahar musamma adalah mahar yang telah ditetapkan bentuk dan
jumlahnya dalam shighat akad. Mahar musamma ada dua macam, yaitu; (1)
Mahar musamma mu’ajjal, yakni mahar yang segera diberikan oleh calon
suami kepada calon istrinya. Menyegerakan pemberian mahar hukumnya sunnah. (2)
Mahar musamma ghairu mu’ajjal, yaitu mahar yang pemberiannya
ditangguhkan.
Dalam kaitannya pemberian mahar, wajib hukumnya membayar mahar musamma
apabila telah terjadi dukhul; apabila salah seorang dari suami atau
istri meninggal dunia sebagaimana disepakati oleh para ulama; apabila telah
terjadi khalwat 9bersepi-sepi), suami wajib membayar mahar.
Mahar tidak termasuk rukun dan syarat pernikahan. Hanya saja,
menjadi kewajiban suami untuk membayarnya. Apabila seorang suami meninggal
dunia, sementara dia belum membayar mahar kepada istrinya, pembayarannya
diambil dari harta peninggalannya dan dibayarkan oleh ahli warisnya. Hal itu
disebabkan karena mahar yang belum dibayar termasuk ke dalam utang-piutang.
Apabila istrinya membebaskan utang mahar tersebut, tidak ada kewajiban ahli
waris untuk membayarnya.
Suami yang menalak istrinya sebelum dukhul wajib membayar
setengah dari mahar yang telah diakadkan, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an
surat al-Baqarah ayat 237:
“Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu sentuh (campuri),
padahal kamu sudah menentukan maharnya, maka (bayarlah) seperdua dari yang
telah kamu tentukan, kecuali jika mereka (membebaskan) atau dibebaskan dari
orang yang akad nikah ada di tangannya. Orang yang memegang ikatan pembebasan
itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu lupa kebaikan di antara kamu.
Sungguh, Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Baqarah: 237)
2.
Mahar Mitsli
Mahar mitsli ialah mahar yang jumlahnya ditetapkan menurut
jumlah yang biasa diterima oleh keluarga pihak istri, karena pada waktu akad
nikah, jumlah mahar itu belum ditetapkan bentuknya. Allah SWT berfirman dalam
surat an-Nisa’ ayat 236:
“Tidak ada dosa bagimu jika kamu menceraikan istri-istrimu yang
belum kamu sentuh (campuri) atau belum kamu tentukan maharnya. Dan hendaklah
kamu beri mereka mut’ah bagi yang mampu menurut kemampuannya dan bagi yang
tidak mampu menurut kesanggupannya, yaitu pemberian dengan cara yang patut,
yang merupakan kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Q.S. An-Nisa’ : 236)
Menurut Imam Malik dan para pengikutnya, berdasarkan ayat di atas,
seorang suami berhak memilih salah satu dari tiga kemungkinan. Apakah ia
menceraikan istrinya tanpa menentukan maharnya atau menentukan maharnya
sebagaimana yang diminta oleh pihak istri, atau ia menentukan mahar mitslinya.
Sebagaimana pada ayat di atas dijelaskan secara rinci pada kalimat, “hendaklah
kalian berikan suatu mut’ah menurut kemampuanmu”. Demikian pula dalam surat
an-Nisa’ ayat 4:
“Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian, jika kamu
menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka terimalah
dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.” (Q.S. An-Nisa’ : 4)
Berdasarkah ayat di atas kemungkinan pertama sebagaimana yang
dikemukakan oleh Imam Malik bertentangan dengan ayat bersangkutan. Adapun
kemungkinan yang kedua dipandang akan memberatkan pihak bekas suami, sedangkan
pihak istri dapat meminta jumlah mahar yang tinggi.
Kemungkinan ketiga, yaitu membayar mahar mitsli dipandang
lebih adil dan bijaksana, karena hal itu didasarkan pada kemampuan pihak suami
dengan mengacu pada mahar yang serupa yang biasa diterima oleh pihak istri. Hal
ini diperkuat oleh hadis yang berhubungan dengan seorang suami yang menceraikan
istrinya setelah terjadi dukhul, sementara ia belum menetapkan jumlah
maharnya. Begitu pula, seorang suami yang meninggal sebelum terjadi dukhul,
sementara ia belum sempat menetapkan maharnya yang harus diberikan kepada
istrinya. Hadis yang dimaksud dikutip oleh Sulaiman Rasyid yaitu:
عن علْقمةَ قال : أُتِي عبداللهِ في امرأةٍ
تزوّجها رجل ثم مات عنها و لم يَفْرِضْ لها صداقًا و لم يكن دخل بها. قال : فاخْتلفُوا
إليه. فقال : آرَي لها مِثل صداق نسائِها ولها المِيراثُ و عليها العدَّةُ فشهِدَ
معقلُ بنُ سنانٍ الأَشجعيُّ انّ النبيَّ صلَّي الله عليه و سلّم قضَي في بِرْوَعَ ابنة
واشقٍ بمثلِ ما قضَي. ( رواه الخمسة وصححه الترميذيّ )
“Dari
Al-Qamah, ia berkata bahwa Abdullah diutus untuk menemui seorang perempuan yang
telah menikah dengan seorang laki-laki, kemudian laki-laki itu mati sebelum ia
bercampur dengan istrinya itu, dan maharnyapun belum ditentukan bentuknya.
Al-Qamah berkata, ‘Mereka mengadukan hal tersebut kepada Abdullah’. Maka
Abdullah berpendapat, ‘Perempuan itu berhak mengambil mahar mitsli sepenuhnya,
dan ia berhak mendapat pusaka dan wajib beriddah’, maka ketika itu Ma’qil bin
Sinan al-Asyja’i menyaksikan bahwa sesungguhnya Nabi SAW. telah memutuskan
terhadap Barwa’a binti Wasyiq seperti keputusan yang dilakukan oleh Abdullah.” (H.R. Al-Khamsah yang disahihkan oleh Tirmidzi)
Kaitannya dengan penundaan pembayaran mahar, para fuqaha berbeda
pendapat. Sebagian fuqaha melarang menunda pembayaran mahar, sementara sebagian
ulama membolehkan. Imam Malik menegaskan bahwa boleh menunda pembayaran mahar,
tetapi apabila suami hendak menggauli istrinya, hendaknya ia telah membayar
separuhnya. Cara penundaan pembayaran mahar harus tentu waktunya dan tidak
terlalu lama ditunda-tunda. Oleh karena itu, batas waktunya harus disepakati
oleh kedua belah pihak.
Dianjurkan untuk menunda pembayaran mahar dengan batas waktu yang
jelas dan tidak sampai tibanya ajal salah satu pihak, baik pihak suami atau
istrinya. Al-Auza’i berpendapat bahwa menunda pembayaran mahar diperbolehkan
meskipun sampai kematian atau terjadinya perceraian. Penundaan pembayaran mahar
tidak terbatas sebagaimana dalam jual beli karena penundaan pembayaran mahar
bersifat ibadah. Yang penting, suami tetap wajib membayarnya.
0 komentar:
Post a Comment