Q. S al-Rum ayat 39 *Tahapan Pengharaman Riba 1

Artikel terkait : Q. S al-Rum ayat 39 *Tahapan Pengharaman Riba 1

Riba Halal???Bagaimana bisa riba yang sering kita kenal dan kita bahas keharamannya bisa dikatakan halal???
image from: sef.feb.ugm.ac.id
Dalam uraian tafsir Q. S al-Rum ayat 39 di bawah ini akan sedikit diulas tentang pengenalan riba pada tahap awal, untuk membedakan kenapa riba bisa dikatakan halal? dan kenapa riba bisa dikatakan haram?

Tarjamah Q. S al-Rum ayat 39  

Artinya: “Dan riba (tambahan yang kamu berikan untuk menambah pada harta manusia, maka ia (riba itu) tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan dari zakat yang kamu menghendaki keridhaan Allah maka mereka itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).”[1]

Tafsir al Mufradat
!
“Dan sesuatu riba atau tambahan yang kalian berikan.” Umpamanya sesuatu yang diberikan atau dihadiahkan kepada orang lain supaya orang lain memberi kepadanya balasan yang lebih banyak daripada apa yang telah ia berikan, pengertian sesuatu dalam ayat ini dinamakan tambahan yang dimaksud dalam masalah muamalah.
(
“Agar dia menambah pada harta manusia.” Yakni orang-orang yang memberi itu ialah yarbuu, yang artinya bertambah banyak

“Maka riba itu tidak menambah.” Tidak menambah banyak
y
“Di sisi Allah.” Yakni tidak ada pahalanya bagi orang-orang yang memberikannya.
 !
“Dan apa yang kalian berikan berupa zakat.” Yakni sedekah.

“Untuk mencapai.” Melalui sedekah itu.
t
“Keridhaan Allah, maka itulah orang-orang yang melipatgandakan.” Pahalanya sesuai dengan apa yang mereka kehendaki. Di dalam ungkapan ini terkandung makna sindiran bagi orang-orang yang diajak bicara atau mukhatabin.

Munasabah

Pada ayat-ayat yang lalu dijelaskan dua perilaku orang kafir berkenaan dengan nikmat dari Allah, yaitu bila memperoleh keberuntungan lupa daratan, dan bila ditimpa kesusahan cepat putus asa. Sifat-sifat seperti itu dapat menghantarkan manusia kepada kekafiran. Pada ayat-ayat berikut ini dijelaskan bagaimana nikmat rezeki digunakan untuk menolong sesama manusia. Oleh sebab itu, riba dilarang karena merugikan, sedangkan zakat dianjurkan karena memberi manfaat.[2]

Tafsir Ayat

“Dan riba yang telah kamu kerjakan agar dapat menambah harta manusia, maka hal itu tidak bertambah di sisi Allah.”
Orang yang memberi satu hadiah dengan maksud supaya dibalas dengan yang lebih banyak dari apa yang dia berikan atau dengan pemberian hadiah itu dia akan dapat menarik suatu keuntungan yang lebih besar, maka atas hadiah yang dia berikan itu tidak terdapat pahala di sisi Allah.
Diriwayatkan dari ad-Dhahak bahwa beliau berkata: “Riba yang dimaksudkan oleh ayat ini adalah ‘riba yang halal’, yaitu memberi hadiah dengan maksud akan menerima pembalasan yang lebih banyak dari yang diberikan. Orang yang memberi riba yang halal tidak menerima pahala atau dosa.”
‘Riba di sini juga dinamakan ‘hadiah’ karena si pemberi bermaksud untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar. Dengan demikian, riba terdiri atas dua macam. Pertama, riba yang tidak menimbulkan dosa, dan kedua, yang menimbulkan dosa besar. Riba yang tidak menimbulkan dosa adalah memberi hadiah atau memberi hibah dengan maksud bisa menerima kembali yang lebih banyak daripada yang dihadiahkan itu. Riba yang mendatangkan dosa adalah riba dalam jual-beli atau riba dalam utang-piutang.[3]

“Dan zakat yang kamu berikan (dengan) kamu menghendaki keridhaan Allah, maka merekalah orang-orang yang dilipatgandakan pahalanya.”
Barang siapa memberi sedekah untuk mencari keridlaan Allah, maka dialah orang yang dilipatgandakan pembalasannya. Adapun yang akan dilipatgandakan oleh Allah baik pahalanya maupun harta itu sendiri adalah pemberian secara tulus, yang dalam ayat ini diungkapkan dengan istilah zakat (secara harfiah berarti suci). Zakat di sini maksudnya sedekah yang hukumnya sunnah, bukan zakat yang hukumnya wajib. Orang yang bersedekah karena mengharapkan pahala dari Allah, pasti akan dilipatgandakan pahalanya atau balasannya oleh Allah minimal tujuh ratus kali lipat.[4]

Kandungan Ayat

Ayat yang lalu berbicara tentang keikhlasan berinfak demi karena Allah semata, maka di sini diuraikan tentang pemberian yang mempunyai maksud-maksud tertentu. Karena itu pula, agaknya ayat yang lalu menggunakan redaksi yang berbentuk tunggal dan yang tentunya pertama sekali tertuju kepada Rasul SAW. sedang ayat ini menggunakan bentuk jamak, dan dengan demikian ia tertuju kepada banyak orang. Terkesan bahwa perubahan bentuk itu bertujuan mengeluarkan Rasul SAW yang demikian luhur dan mulia akhlaknya. Ayat di atas menyatakan “siapa yang menafkahkan hartanya demi karena Allah, maka ia akan memperoleh kebahagiaan, sedang yang menafkahkannya dengan riya’, serta untuk mendapatkan popularitas, maka ia akan kecewa bahkan rugi. Adapun yang memberi hartanya sebagai hadiah untuk memperoleh di balik pemberiannya keuntungan materi, maka itu bukanlah sesuatu yang baik, walau tidak terlarang. Dan apa saja yang kamu berikan dari harta yang berupa riba yakni tambahan pemberian berupa hadiah terselubung, dengan tujuan agar dia tidak bertambah di sisi Allah, karena Dia tidak memberkahinya. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yakni sedekah yang suci yang kamu maksudkan untuk meraih wajah Allah yakni keridlaanNya, maka mereka yang melakukan hal semacam itulah yang sungguh tinggi kedudukannya yang melipatgandakan pahala sedekahnya, karena Allah akan melipatgandakan harta dan ganjaran setiap yang bersedekah demi karena Allah.
Kata riba dari segi bahasa berarti kelebihan. Berbeda pendapat ulama tentang maksud kata ini pada ayat di atas. Sementara ulama seperti pakar tafsir dan hukum, al Qurthubi dan Ibn al ‘Arabi, demikian juga al Biqa’i, Ibn Katsir, Sayyid Qhutub dan masih banyak yang lain. Semua itu berpendapat bahwa riba yang dimaksud ayat ini adalah riba yang halal. Ibn Katsir menamainya riba mubah. Mereka antara lain merujuk kepada sahabat Nabi SAW Ibn ‘Abbas dan beberapa Tabi’in yang menafsirkannya dalam arti hadiah yang diberikan seseorang dengan mengharapkan imbalan yang lebih.
Ada juga ulama yang mendalaminya dalam arti riba dari segi hukum, yakni yang haram. Thahir Ibn ‘Asyur berpendapat demikian. Tim penyusun Tafsir al Muntkhab juga demikian. Mereka menulis bahwa makna ayat di atas adalah “Harta yang kalian berikan kepada orang-orang yang memakan riba dengan tujuan menambah harta mereka, tidak suci di sisi Allah dan tidak akan diberkati. Sedangkan sedekah yang kalian berikan dengan tujuan mengharapkan ridha Allah, tanpa riya’ atau mengharapkan imbalan, maka itulah orang-orang yang memiliki kebaikan yang berlipat ganda.”
Sementara ulama mengemukakan bahwa uraian al-Quran tentang riba mengalami pentahapan, mirip dengan pentahapan pengharaman khamar (minuman keras). Tahap pertama sekedar menggambarkan adanya unsur negatif, yaitu surat ar Ruum ini, dengan menggambarkannya sebagai “tidak bertambah pada sisi Allah.” Kemudian disusul dengan isyarat tentang keharamannya. (Q.S. an Nisa’ : 161). Selanjutnya pada tahap ketiga, secara tegas dinyatakan keharaman salah satu bentuknya yaitu yang berlipat ganda (Q.S. Ali Imran :130). Dan terakhir pengharaman total dan dalam berbagai bentuknya yaitu pada Q.S al Baqarah : 278.[5]
Telah diriwayatkan suatu asar yang bersumber dari Ibnu Abbas ra. bahwa ia telah mengatakan, riba itu ada dua macam, yaitu riba yang tidak dibenarkan, ia adalah riba jual beli. Dan lainnya adalah riba yang tidak mengapa jika dilakukan, yaitu pemberian yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain dengan maksud supaya ia mendapatkan balasan yang lebih banyak, dan berlipat ganda dari apa yang telah diberikan kepadanya.[6]
Adapun orang-orang yang menginginkan ridha Allah dan mengharapkan pembalasan dari sisiNya dengan pemberian itu, maka pembalasan yang diharapkannya itu ada di sisi Allah dengan rahmatNya. Hal ini ditegaskan oleh ayat 39 ini bagian akhir; “Dan apa yang kamu berikan yang berupa zakat yang kamu maksudkan itu untuk mencapai keridhaan Allah, maka orang-orang ( perbuatan demikian ) itulah orang-orang yang melipatgandakan ( pahalanya ).
Begitu juga halnya orang-orang yang ingin menghubungi familinya agar dia menjadi kaya, sehingga ia tidak menjadi beban bagi orang lain. Niatnya seperti itu sama dengan golongan pemberian tersebut di atas. Jika maksudnya untuk bermegah-megah karena dunia, maka hal itu bukan karena Allah. Dan jika pemberian itu hanya dimaksudkan untuk mendekatkan hubungan keluarga dan famili, hal itu bukan karena Allah.
Adapun orang yang menginginkan sanjungan dan pujian manusia serta bersifat riya’ dengan pemberian itu, maka pemberian itu tak ada manfaat baginya. Dia tidak diberi pahala di dunia maupun di akhirat kelak. Sedangkan orang yang menginginkan pembalasan dari orang yang diberi itu, maka baginya apa yang diinginkannya itu dengan pemberiannya dia berhak menarik pemberian itu kembali selama dia belum menerima balasan sebanyak nilainya, atau selama dia belum puas dengan balasan yang lebih dari nilainya itu. Demikian menurut perkataan Umar dan Ali ra. Dan bagaimana pendapat ulama mengenai hal ini telah diterangkan di atas.
Orang-orang yang memberi zakat dan menginginkan ridha Allah maka mereka itu orang yang dilipat gandakan pahalanya. Maksudnya ialah orang yang menafkahkan hartanya, seperti zakat, tanpa mengharapkan pembalasan dan ganti, maka pemberiannya itu akan dilipat gandakan Allah pahalanya. Dengan syarat pemberian itu mencari keridhaan Allah, dan ingin melepaskan kesengsaraan dan menutupi keperluan orang-orang yang berada dalam kesempitan. Pemberian selain itu bukanlah termasuk amal sholeh.[7]

Demikian sedikit uraian tentang tahapan pengharaman riba pada awalnya, ada kurangnya semata-mata kurangnya pengetahuan penulis tentang pembahasan ini. Kritik dan saran, silahkan. Sama-sama belajar untuk ilmu Allah dalam bermuamalah. syukron katsir. :)


[1] Mahmud Yusuf, Tafsir Quran Karim (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), 599.
[2] Departemen Agama RI, Al quran dan Tafsirnya (jakarta: departemen Agama RI, 2009), 507-508.
[3] Teungku Muhammad Hasbi Ash Siddiqy, Tafsir Al Qur’anul Majid an Nuur (Semarang: PT Pustaka Riski Putra, 2000), 3181.
[4] Ibid, 3182.
[5] M. Quraish Shihab, Tafsir al Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al Qur’an Vol. 11 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 39.
[6] Ahmad Mustafa al Maraghi, Tafsir al Maraghi (Semarang: PT Karya Toha Putra, 1992), 97.
[7] Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Depag, 2009), 617-618.

Artikel arinprasticha Lainnya :

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 arinprasticha | Design by Bamz