Penentuan Awal Bulan Qamariyah menurut Nahdhatul Ulama (NU)
Dalam menyambut awal bulan dalan kalender Islam atau disebut dengan bulan Qamariyyah, terdapat beberapa metode dalam penentuannya. Karena penentuan awal bulan Qamariyyah merupakan hal yang sangat bagi umat muslim dalam pelaksanaan ibadahnya, terutama dalam pelaksanaan ibadah puasa Ramadhan, perayaan Idul Fitri dan juga Idul Adha. Nahdhaltul Ulama (NU) yang merupakan salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia, bagaimana istinbat hukum yang dipakai guna menentukan awal bulan Qamariyah tersebut???Berikut sedikit uraiannya...
Sejarah Singkat Nahdhatul Ulama (NU)
Jika di Mesir dan Turki, gerakan pembaruan muncul akibat kesadaran politik akibat ketertinggalan mereka dari Barat, di Arab Saudi tampil gerakan Wahabi yang bergulat dengan persoalan internal umat Islam sendiri, yaitu reformasi faham tauhid dan konservasi dalam bidang hukum yang menurut mereka telah dirusak oleh khurafat dan kemusyrikan yang melanda umat Islam. Sementara d Indonesia tumbuh organisasi sosial kebangsaan dan keagamaan yang bertujuan untuk memajukan kehidupan umat, seperti Budi Utomo (20 Mei 1908), Syarekat Islam (11 Nopember 1912), dan kemudian disusul Muhammadiyah (18 Nopember 1912).
Jika di Mesir dan Turki, gerakan pembaruan muncul akibat kesadaran politik akibat ketertinggalan mereka dari Barat, di Arab Saudi tampil gerakan Wahabi yang bergulat dengan persoalan internal umat Islam sendiri, yaitu reformasi faham tauhid dan konservasi dalam bidang hukum yang menurut mereka telah dirusak oleh khurafat dan kemusyrikan yang melanda umat Islam. Sementara d Indonesia tumbuh organisasi sosial kebangsaan dan keagamaan yang bertujuan untuk memajukan kehidupan umat, seperti Budi Utomo (20 Mei 1908), Syarekat Islam (11 Nopember 1912), dan kemudian disusul Muhammadiyah (18 Nopember 1912).
Hal-hal tersebut
telah membangkitkan semangan beberapa pemuda Islam Indonesia untuk membentuk
organisasi pendidikan dan dakwah, seperti Nahdhatul Wathan (Kebangkitan
Tanah Air) dan Taswirul Afkar (Potret Pemikiran). Kedua organisasi
tersebut dirintis bersama oleh Abdul Wahhab Hasbullah dan Mas Mansur.
Organisasi inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya Nahdhatul Ulama
(NU).
Nahdhatul Ulama
(NU) adalah Jam’iyyah Diniyah Islamiyah (Organisasi Sosial Keagamaan
Islam) yang berhaluan Ahlussunah wal Jama’ah, yang menjunjung tinggi dan
mengikuti ajaran Rasulullah saw. serta tuntunan para sahabat dan hasil ijtihad
para ulama madzhab empat (Hanafi, Syafi’i, Maliki, dan Hambali).
Nahdhatul Ulama
(NU) sebagai organisasi Islam yang besar mempunyai tanggung jawab yang besar
pula dalam memajukan kehidupan beragama di tengah masyarakat luas. Sebagai
organisasi Islam, Nahdhatul Ulama (NU) mempunyai tradisi keilmuan yang
dikenal dengan khazanah lama (al-kutub al-mu’tabarah). Secara fungsional
salah satu tugas yang dipikulnya adalah memberikan petunjuk pelaksanaan ajaran
Islam dalam segala aspek kehidupan.
Hingga saat ini
khazanah lama (al-kutub al-mu’tabarah) tersebut selalu menjadi rujukan
andalan. Segala persoalan diusahakan agar dicarikan penyelesaian melalui
rujukan tersebut. Baik maudhu’iyyah maupun masalah kontemporer. Komitmen
ulama NU menyatakan bahwa membiarkan persoalan tanpa jawaban adalah tidak bisa
dibenarkan, baik secara i’tiqadi maupun secara syar’i. Oleh sebab itu
segala persoalan yang menyangkut masalah pengambilan keputusan sudah seharusnya
diketahui warga NU, terutama mereka yang tergolong ulama pesantren dan tokoh NU
yang menjadi panutan masyarakat.
Selanjutnya akan
dijelaskan sekilas tentang lambang NU ini dibuat pada tahun 1927. Mempunyai
lambang sebuah bintang besar di atas bumi menyimbolkan Nabi Muhammad saw. empat
bintang kecil masing-masing dua di sebelah kanan dan kiri bintang besar melambangkan
empat Khulafa ar-Rosyidin; dan empat bintang kecil di bawah melambangkan
empat Imam Madzhab sunni; kesembilan bintang tadi secara bersama-sama juga
bermakna sembilan wali (Wali Songo) yang pertama kali menyebarkan agama Islam
di Jawa. Bola dunia yang berwarna hijau melambangkan asal-usul kemanusiaan
yaitu bumi, yang kepadanya manusia akan kembali dan manusia akan dibangkitkan
pada hari pembalasan. Tali keemasan yang melingkari bumi dengan 99 ikatan
melambangkan 99 nama indah Allah, yang dengannya seluruh muslim dunia
disatukan.
Metode yang Digunakan dalam Penentuan Awal Bulan Qamariyah
Dalam menentukan
kepastian awal bulan Qamariyah, khususnya awal Ramadhan, awal Syawal, dan awal
Dzulhijjah, NU mendasarkan pada rukyat, sesuai dengan nash dan aqwalul ulama
yang dipegangi. Untuk penetapan awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, NU
berpegang pada tuntunan hadis-hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh
al-Bukhari, Imam Muslim, Abu Daud, an-Nasa’i, Ibnu Majah, at-Tirmidhi, Imam
Malik, dan perawi lain. Di antara hadis yang menjadi dasar tersebut adalah:
“Janganlah kalian berpuasa sebelum melihat hilal, dan janganlah
kalian berbuka sebelum melihatnya. Maka jika ia tertutup awan bagimu, maka
perkirakanlah.”
Atas dasar hadis tersebut maka dalam pendapat awal bulan qamariyah khususnya bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, NU menggunakan metode ru’yah al-hilal bi al-fi’li yaitu melihat hilal langsung di lapangan segera setelah matahari terbenam pada hari akhir ke 29 (malam ke 30). Apabila bulan tidak tampak maka menggunakan metode istikmal yakni menyempurnakan umur bulan menjadi 30 hari.
Atas dasar hadis tersebut maka dalam pendapat awal bulan qamariyah khususnya bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, NU menggunakan metode ru’yah al-hilal bi al-fi’li yaitu melihat hilal langsung di lapangan segera setelah matahari terbenam pada hari akhir ke 29 (malam ke 30). Apabila bulan tidak tampak maka menggunakan metode istikmal yakni menyempurnakan umur bulan menjadi 30 hari.
Namun seiring perjalanan
waktu, NU yang semula mendasarkan pada rukyat saja, kemudian dikembangkan
menjadi rukyat dan hisab dan seterusnya rukyat yang berkualitas dan hisab yang
akurat. Kemudian ditambah lagi dengan menerima kriteria imkanur rukyat.
NU telah melakukan
redefinisi hilal dan rukyat menurut bahasa al-Qur’an, as-Sunnah dan menurut
sains sebagai landasan dan pijakan kebijakannya dalam penentuan awal Ramadhan,
dan jatuhnya hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Menurut Ghazali Masruri, Ketua
Pengurus Pusat Lajnah Falakiyah Nahdhatul Ulama, hilal dalam bahasa Arab adalah
sepatah kata ism yang memiliki pengertiab bulan sabit yang tampak pada
awal bulan.
Dari tinjauan
bahasa, al-Qur’an, as-Sunnah, dan tinjauan sains, Ghazali Masruri menyimpulkan
bahwa hilal (bulan sabit) itu pasti tampak cahayanya terlihat dari bumi di awal
bulan, bukan sekedar pemikiran atau dugaan adanya hilal. Oleh karena itu kalau
tidak tampak tidak disebut hilal. Sehubungan dengan kriteria hilal itu mesti
tampak, maka Rasulullah saw. menyuruh kaum muslimin melakukan rukyat, yakni
dengan melihat, mengamati secara langsung (observasi) terhadap hilal itu.
Lebih jauh alasan
NU dalam penggunaan metode rukyat adalah bahwa dalam memahami, menghayati, dan
mengamalkan ad-dinul-Islam harus mendasarkan pada asas ta’abbudiy (ketaatan).
Untuk mewujudkan kesempurnaan ta’abbudiy tersebut perlu didukung dengan
menggunakan asas ta’aqquliy (penalaran). Dalam konteks ini asas ta’abbudiy
dilaksanakan dengan mengamalkan perintah rukyat hilal.
Dalam buku
Antologi NU diterangkan, kebijakan ulama salaf (jumhur ulama) berpendapat bahwa
penetapan (isbat) awal Ramadhan dan Syawal hanya boleh dengan cara
rukyat. Jika rukyat tidak bisa berhasil karena terhalang oleh mendung mislanya,
maka digunakan cara istikmal, yakni menyempurnakan hitungan menjadi 30
hari. Jadi, dalam konteks ini IistikmalI bukanlah metode tersendiri, tetapi
metode lanjutan ketika rukyat tidak efektif. Prosedur tersebut sebagaimana
hadis Rasulullah saw. “Berpuasalah kalian apabila melihat bulan, dan
berbukalah (tidak berpuasa lagi) karena melihatnya. Apabila kalian tidak
melihatnya karena mendung, sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban sampai 30
hari.” (HR. Bukhari Muslim)
Pendapat NU
berkaitan dengan masalah yang sedang kita bicarakan ini, merupakan metode
penetapan puasa Ramadhan dan Idul Fitri yang diikuti oleh semua Imam Madzhab
yang empat (Hanafi, Syafi’i, Maliki dan Hambali). Hanya saja kalangan Imam
Syafi’i masih mengakomodasikan metode hisab dan memperbolehkannya sebagai dasar
para ahli hisab itu sendiri dan mereka mempercayai kebenarannya. Rais ‘Amm PBNU
Sahal Mahfud pernah berpendapat bahwa kedudukan hisab merupakan metode
pendamping. Yakni sekedar digunakan untuk memperkirakan (secara teoritik)
apakah rukyat dapat dilakukan atau tidak.
Adapun tahap-tahap
penentuan awal bulan Qamariyah, khususnya awal bulan Ramadhan, awal bulan
Syawal, dan awal bulan Dzulhijjah perspektif Nahdhatul Ulama (NU) sebagaimana
ditulis oleh KH. A. Ghazalie Masroeri adalah melalui empat tahab, yaitu:
*Tahap
pembuatan hitungan hisab
*Penyelenggaraan
rukyatul hilal
*Berpartisipasi
dalam sidang isbat
*Ikhbar
Sementara itu,
dalam masalah matla’ (pemberlakuan wilayah rukyat), apakah rukyat
berlaku untuk rukyat lokal, nasional, ataukah internasional, NU menetapkan
rukyat nasional wilayatul hukmi Indonesia. Hasil rukyat hilal di
Indonesia suatu tempat hanya berlaku bagi suatu negara kekuasaan hakim
(pemerintah) yang menetapkan (itsbat) hasil rukyat tersebut.
0 komentar:
Post a Comment