Asas-Asas Kontrak Syari’ah

Artikel terkait : Asas-Asas Kontrak Syari’ah

Sebuah kontrak perjanjian, selalu tidak lepas dalam kehidupan sehari-hari. Pekerjaan yang dilakukan sekecil apapun yang dilakukan bersama dengan orang lain, alangkah baiknya disepakati dengan baik sesuai dengan asas perjanjian yang baik dan benar. Terlebih lagi kita sebagai umat Islam, sudah sangat dianjurkan memperhatikan asas kontrak perjanjian secara syari'ah sesuai yang diajarkan oleh Rasulullah dan ulama terdahulu. Apa saja asas-asas kontrak perjanjian syari'ah itu? berikut sedikit uraiannya...

Hasil gambar untuk asas kontrak syari'ah
image from: arifindbkosmik.blogspot.co.id

Istilah asas berasal dari bahasa Arab yang berarti dasar atau landasan. Sedangkan secara terminologi, yang dimaksud dengan asas adalah nilai-nilai dasar (al-qiyam al-asasiyyah) yang menjadi bahan pertimbangan untuk melakukan perbuatan. Karena nilai-nilai dasar itu sangat berpengaruh terhadap perbuatan atau perilaku manusia secara lahiriyah (akhlaq), maka nilai dasar tersebut harus mengandung unsur-unsur kebenaran hakiki.[1]
Akad atau kontrak berasal dari bahasa Arab yang berarti ikatan atau simpulan baik ikatan yang nampak (hissy) maupun tidak nampak (ma’nawy). Kamus al-Mawrid, menterjemahkan al-‘Aqd sebagai contract and agreement atau kontrak dan perjanjian. Sedangkan akad atau kontrak menurut istilah adalah suatu kesepakatan atau komitmen bersama baik lisan, isyarat, maupun tulisan antara dua pihak atau lebih yang memiliki implikasi hukum yang mengikat untuk melaksanakannya. Subhi Mahmasany mengartikan kontrak sebagai ikatan atau hubungan di antara ijab dan qabul yang memiliki akibat hukum terhadap hal-hal yang dikontrakkan. Terdapat juga pakar yang mendefinisikan sebagai satu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang berdasarkan kesepakatan atau kerelaan bersama.
Di dalam sebuah kontrak, terdapat landasan yang dijadikan pedoman dalam pembuatannya. Apalagi jika akad tersebut terkait dengan sebuah kegiatan yang berdasarkan syari’at Islam, maka sudah tentu harus memperhatikan asas-asas kebaikan yang sesuai dengan ajaran Islam. Adapun asas-asas yang terkait dengan penyusunan kontrak syari’at adalah:
        1.      Asas Ibadah (asas diniatkan ibadah). Hakikat kehidupan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah SWT (QS. Adz-Dzariyat: 56). Dengan demikian adanya keyakinan terhadap unsur ketuhanan dalam aspek ibadah, merupakan hal yang prinsip dalam Islam. Bentuk keyakinan ini harus diwujudkan melalui amalan niat (aqidah) sebelum memulai perbuatan. Di samping aqidah, suatu perbuatan akan bernilai ibadah apabila sesuai dengan hukum syara’ yang telah ditetapkan. Keberadaan asas inilah yang menjadi perbedaan mendasar antara hukum kontrak syari’ah dengan hukum kontrak lainnya.
      2.      Asas harriyyah at-ta’aqud (asas kebebasan berkontrak). Merupakan wujud dari asas kebebasan berkontrak. Masing-masing pihak yang akan mencapai tujuan akan mempunyai kebebasan untuk mengadakan penyusunan kontrak (freedom of making contract). Ruang linkup kebebasan berkontrak dapat berupa kebebasan: (1) menentukan objek perjanjian, (2) mengajukan syarat-syarat dalam merumuskan hak dan kewajiban, dan (3) menentukan cara penyelesaian apabila terjadi perselisihan/sengketa.
Pengertian asas kebebasan berkontrak dalam Islam berbeda dengan apa yang dimaksud kebebasan berkontrak dalam hukum konvensional. Perbedaannya bahwa kebebasan berkontrak dalam Islam ialah kebebasan yang bersifat terikat dengan hukum syara’. Karena bersifat terikat, maka kebebasan berkontrak itu akan dibenarkan selama syarat-syarat yang dikemukakan tidak bertentangan dengan ketentuan syari’ah asy-syuruth asy-syar’i li al-‘aqd).
       3.    Asas Al-musawah (asas persamaan). Muamalah merupakan ketentuan hukum syara’ yang mengatur hubungan sesama manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dalam memenuhi kebutuhan hidup, Allah telah melebihkan sebagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rizki (QS. An-Nahl: 71). Namun hikmah yang dapat diambil dari adanya perbedaan tersebut adalah agar di antara mereka saling membutuhkan kerja sama (QS. Az-Zukhruf: 32). Dengan adanya perilaku saling membutuhkan, maka setiap manusia memiliki kesamaan hak untuk mengadakan perikatan. Dikatakan demikian, karena pada prinsipnya, manusia adalah sama. Sedangkan yang membedakan adalah ketakwaannya. Allah SWT berfirman: “sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah di antara kamu ialah orang yang paling bertakwa”. (QS. Al-Hujurat: 13).
          4.      Asas At-tawazun (asas keseimbangan). Meskipun secara faktual masing-masing pihak yang akan mengadakan kontrak memiliki latar belakang kebutuhan yang berbeda, namun dalan hukum bisnis tetap menekankan perlunya berpegang pada asas keseimbangan. Karena asas keseimbangan dalam akad terkait dengan pembagian hak dan kewajiban. Misalnya adanya hak mendapatkan keuntungan dalam investasi, berarti harus disertai dengan kewajiban menanggung resiko. Ketentuan ini merujuk pada kaidah fiqh yang menyatakan “keuntungan muncul bersama resiko” dan “hasil usaha muncul bersama tanggungan yang dikeluarkan”.
       5. Asas Maslahah (asas kemaslahatan). Pada hakikatnya tujuan melakukan akad adalah untuk mencapai kemaslahatan bagi masing-masing pihak. Pengertian maslahat dalam Islam meliputi dimensi kehidupan dunia dan akhirat. Dan untuk menjamin tercapainya kemaslahatan maka kaidah fiqh yang berlaku: ”apabila hukum syara’ dilaksanakan, maka pastilah tercipta kemaslahatan”. Namun apabila dalam pelaksanaan akad ternyata terjadi suatu perbuatan melawan hukum sehingga menimbulkan kemudharatan pihak lain, maka kaidah fiqh yang berlaku ialah: “segala apa yang menyebabkan terjadinya kemudharatan (bahaya) maka hukumnya haram”.[2]
Untuk mencapai kemaslahatan dan mencegah timbulnya kemudharatan, dalam fiqh dijumpai adanya hak khiyar. Maksud hak khiyar ialah hak yang memberikan opsi para pihak untuk meneruskan atau membatalkan akad karena adanya sebab yang dapat merusak keridhaan (‘uyub al-ridha). Hak khiyar berlaku pada akad yang bersifat belum pasti. Sedangkan apabila pelanggaran terjadi setelah perikatan yang bersifat pasti (luzum), maka yang berlaku bukan lagi hak khiyar, melainkan pemberian hak berupa tuntutan mendapatkan ganti rugi kepada para pihak yang merasa dirugikan.
         6.      Asas Al-Amanah (asas kepercayaan). Asas amanah merupakan bentuk kepercayaan yang timbul karena adanya i’tikad baik dari masing-masing pihak untuk mengadakan akad. Dalam hukum kontrak syari’ah, terdapat bentuk akad yang bersifat amanah. Maksud amanah di sini dapat diartikan sebagai kepercayaan kepada pihak lain untuk menjalin kerja sama. Asas kepercayaan dapat berlaku baik dalam akad yang bersifat tijarah maupun tabaru’. Dalam akad tijarah misalnya kepercayaan shahibul maal kepada mudharib untuk menjalankan usaha melalui akad mudharabah. Sedangkan akad yang bersifat tabaru’ misalnya memberikan kepercayaan kepada orang lain untuk memelihara barang titipan melalui akad wadiah. Adapun yang menjadi dasar hukum berlakunya asas ini adalah: “sesungguhnya Allah menyuruh kami menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya” (QS. An-Nisa’: 58). “maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya” (QS. Al-Baqarah: 283). “janganlah kamu menghianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui” (QS. Al-Anfal:27).[3]
          7.      Asas Al-‘Adalah (asas keadilan). Para pihak yang melakukan akad penyusunan kontrak, wajib berpegang teguh pada asas keadilan. Pengertian asas keadilan adalah suatu asas yang menempatkan segala hak dan kewajiban berdasarkan pada prinsip kebenaran hukum syara’. Karena itu dengan berbuat adil, maka seseorang tidak akan berlaku dzalim terhadap yang lain. Untuk itu Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, membuat kamu cenderung untk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat dengan takwa. Dan sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Maidah: 8).
          8.      Asas Al-Ridha (asas keridhaan). Segala transaksi yang dilakukan harus berdasarkan keridhaan di antara masing-masing pihak. Apabila dalam transaksi tidak terpenuhi asas ini, maka sama artinya dengan memakan harta dengan cara bathil. Dalam suatu kontrak, asas keridhaan inilah yang melahirkan kehendak para pihak untuk menyatakan kesepakatan (ijab qabul). Adapun yang menjadi dasar hukumnya adalah: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan ridha sama ridha di antara kamu” (QS. An-Nisa’: 29).
        9.     Asas Al-Kitabah (asas tertulis). Kontrak merupakan perjanjian perikatan yang dibuat secara tertulis. Namun perlu dipahami, bahwa dalam Islam asas tertulis (al-kitabah) tidak hanya berlaku dalam hukum kontrak, melainkan juga berlaku pada semua akad muamalah yang dilakukan tidak secara tunai (hutang), Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya” (QS. Al-Baqarah: 282).
         10.  Asas Ash-Shiddiq (asas kejujuran). Kejujuran merupakan hal yang prinsip bagi manusia dalam segala bidang kehidupan, termasuk dalam penyusunan kontrak bisnis. Jika kejujuran tidak diamalkan dalam penyusunan kontrak, maka akan merusak keridhaan (‘uyub al-ridha). Di samping itu, ketidakjujuran dalam penyusunan kontrak biasanya akan berakibat perselisihan para pihak di kemudian hari. Karena itu dalam penyusunan kontrak, asas kejujuran sangat menentukan tercapainya tujuan. Adapun yang menjadi dasar hukum asas kejujuran adalah firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah, dan katakanlah perkataan yang benar” (QS. Al-Ahzab: 70). Selain itu sabda Rasulullah SAW juga menyebutkan:
Jika kamu menjual barang dagangan, maka katakanlah tidak ada penipuan” (HR. Bukhari).
Barang siapa yang melakukan penipuan, maka dia tidak termasuk golongan kami” (HR. Ibnu Majah).



[1] Burhanuddin S, Hukum Bisnis Syari’ah (Yogyakarta: UII Press Yogyakarta, 2011), 89.
[2] Hafidz Abdurrahman, Ushul Fiqh: Membangun Paradigma Berfikir Tasyri’i (Bogor: Al-Azhar Press, 2003), 53.
[3] Burhanuddin S, Hukum Bisnis Syari’ah, 89-92.

Artikel arinprasticha Lainnya :

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 arinprasticha | Design by Bamz