Pemikiran Ekonomi Islam > Fase Kedua
Fase ini
dimulai pada abad ke 11 sampai abad 15 M. Dikenal sebagai fase yang cemerlang
karena meninggalkan warisan intelektual yang sangat kaya. Para cendekiawan
Muslim di masa ini mampu menyusun suatu konsep tentang bagaimana umat melaksanakan
kegiatan ekonomi yang seharusnya yang berlandaskan Al Qur’an dan Hadits Nabi.
Tokoh-tokoh pemikir pada fase ini diantaranya :
a.
Al Ghazali (450-505H/1058-1111M)
Tentang pemikiran Al Ghazali
bahwasanya pasar merupakan bagian dari “keteraturan alami”. Secara rinci
beliau juga menerangkan bagaimana evolusi terciptanya pasar. Al Ghazali
menyatakan: “Dapat saja petani hidup dimana
alat-alat pertanian tidak tersedia, sebaliknya pandai besi dan tukang kayu
hidup dimana lahan pertanian tidak ada. Namun secara alami, mereka akan saling
memenuhi kebutuhan masing-masing. Dapat
pula terjadi tukang kayu membutuhkan makan, tetapi petani untuk tidak
membutuhkan alat-alat tersebut dan sebaliknya. Keadaan ini menimbulkan masalah.
Oleh karena itu, secara alami pula orang akan terdorong untuk menyediakan
tempat penyimpanan alat-alat di satu tempat dan penympanan hasil sesuai dengan
kebutuhan masing-masing.sehingga terbentuklah pasar.”[1]
Pandangan beliau tentang uang dalam Ihya’ Ulumuddin
bahwa “Money is like mirror, mirror have no colour
but can reflex all colour.” Maksudnya, bahwa uang tidak
memiliki nilai, ia hanya sebagai alat perantara pertukaran dalam transaksi dan
juga pengukur nilai barang.[2]
b.
Ibnu Taimiyah
(661-728H/1263-1328M)
Pemikiran
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa naik dan turunnya harga tidak selalu disebabakan
oleh tindakan tidak adil dari sebagian orang yang terlibat transaksi. Bisa jadi penyebabnya adalah penawaran yang menurun akibat
inefisiensi produksi, penurunan jumlah impor barang-barang yang diminta atau
juga tekanan pasar.
Menurut Ibnu
Taimiyah dalam Al Hisbah fi Al Islam ia menyatakan, penawaran bisa datang dari
produksi domestik dan impor. Perubahan dalam penawaran digambarkan sebagai
peningkatan atau penurunan dalam jumlah barang yang ditawarkan, sedangkan
permintaan sangat ditentukan oleh selera dan pendapatan.
c.
Ibnu Khuldun (732-807 H/1332-1383M)
Dalam
pemikiran ekonominya Ibnu Khuldun menegaskan bahwa kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh
banyaknya uang di suatu negara, tetapi ditentukan oleh tingkat produksi negara
tersebut dan neraca pembayaran yang positif.[3]
Dalam
bukunya Al Muqaddimah, berbicara tentang teori nilai, pembagian kerja
dan perdagangan internasional, hukum permintaan dan penawaran, konsumsi,
produksi, uang, sklus perdagangan, keuangan publik, dan
lain-lain.
0 komentar:
Post a Comment