Cara Pembayaran Mahar
Mahar -Masih pembahasan tentang mahar atau maskawin. Setelah kita tau tentang pengertian dan hukum mahar pada pembahasan sebelumnya, kali ini kita akan sedikit membahas tentang cara pembayaran mahar.
Image From: sifaloveshijab.com
Para ulama telah sepakat bahwa mahar itu wajib diberikan suami
kepada istrinya, baik kontan maupun dengan cara tempo. Pembayaran mahar harus
sesuai dengan perjanjian yang terdapat dalam akad perkawinan, tidak dibenarkan
menguranginya. Akan tetapi jika suami menambahnya, itu lebih baik dan sebagai
sedekah. Sedangkan yang dicatat sebagai mahar secara mutlak adalah mahar yang
jenis dan jumlahnya sesuai yang disebutkan pada waktu akad nikah. Dalam Q.S.
an-Nisa’ ayat 20-21 disebutkan bahwa Allah SWT berfirman:
“Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain,
sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang
banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun.
Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan
dengan (menanggung) dosa yang nyata?.
Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali,
padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai
suami-istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian
yang kuat”.
Para ulama ahli fiqh berbeda pendapat tentang terjadinya khalwat
(bersepi-sepi). Imam Malik, asy-Syafi’i, dan Abu Dawud berpendapat bahwa
seorang suami wajib membayar mahar kepada istrinya setelah terjadi khalwat,
sedangkan menurut Abu Hanifah tidak wajib.
Bila melihat dzahir ayat di atas, yang diwajibkan membayar mahar
sepenuhnya (lengkap) ialah orang-orang yang telah bercampur dengan istrinya.
Adapun mengenai orang-orang yang telah berkhalwat dengan istrinya belum
dapat dipastikan apakah telah terjadi dukhul (senggama) ataukah belum.
Sebab, pengakuan dari salah seorang suami atau istri belum dapat dijadikan
bukti terjadinya senggama antara mereka (suami-istri). Berbeda halnya dengan
perkawinan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Sipil (KUHS) bahwa pengakuan telah
terjadinya persetubuhan antara seorang laki-laki dan seorang istri dapat
dijadikan alasan untuk bercerai oleh kedua belah pihak (suami-istri) sekalipun
persetubuhan itu belum pernah terjadi.
Imam Malik, asy-Syafi’i, dan Abu Dawud mewajibkan pembayaran mahar
sepenuhnya apabila telah terjadi khalwat. Untuk kepastian hukumnya
apabila telah terjadi khalwat antara suami-istri, hal itu bisa dijadikan
dasar bahwa telah terjadi dukhul (persetubuhan) antara keduanya. Oleh
karena itu, pihak suami wajib membayar mahar sepenuhnya sebagaimana kesepakatan
yang telah ditetapkan dalam akad nikah antara mereka berdua, kecuali apabila
terdapat bukti yang menimbulkan keyakinan bahwa sekalipun keduanya telah berkhalwat,
belum terjadi persetubuhan. Dalam hal ini kalau suami menceraikan istrinya, ia
tidak wajib membayar mahar sepenuhnya karena belum terjadi dukhul. Suami
wajib membayar separuhnya saja. Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 237
menyebutkan:
“Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu sentuh (campuri),
padahal kamu telah menentukan maharnya, maka (bayarlah) seperdua dari yang
telah kamu tentukan, kecuali jika mereka (membebaskan) atau dibebaskan dari
orang yang akad nikah ada di tangannya. Orang yang memegang ikatan pembebasan
itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu lupakan kebaikan di antara
kamu. Sungguh, Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan.”
Para ulama ahli fiqh telah sepakat bahwa apabila akad nikah
dilaksanakan tanpa menyebutkan mahar (nikah tafwidh) hukumnya boleh dan
hukumnya tetap sah, sebagaimana disebutkan dalam surat al-Baqarah ayat 237 di
atas. Meskipun perkawinannya itu sah, suami belum boleh mencampuri istrinya
karena ia belum memberikan mahar kepadanya.
Ayat di atas menjelaskan bahwa seorang suami tidak berdosa apabila
menceraikan istrinya sebelum menyetubuhinya dan belum pula menetapkan jumlah
maharnya. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa jika terdapat syarat nikah tanpa
mahar sama sekali, perkawinannya batal. Demikian pula menurut Ibnu Hazm. Sayyid
Sabiq menyatakan bahwa setiap syarat di luar ketentuan Allah adalah batal. Ia
mengemukakan pendapatnya seperti berikut:
كل
شرطٍ ليس في كتابِ الله عزّ و جلّ باطلٌ
“Setiap syarat di luar Kitabullah adalah
batal.”
Salah satu adat kebiasaan tertua yang dilegalisasi oleh ajaran
agama Islam adalah keharusan suami membayar mahar kepada istrinya, baik dibayar
dengan cara kontan maupun tidak kontan. Hak istri atas harta mahar secara
mutlak bukan hak suaminya. Oleh karena itu, suami menanggung beban tanggung
jawab dengan memikul kewajiban untuk membayarnya. Cara-cara pelaksanaan
pembayaran mahar adalah sebagai berikut:
1.
Mahar
dibayar dengan cara kontan.
2.
Mahar
dibayar dengan cara ditangguhkan sampai batas waktu yang telah disepakati.
3. Mahar
dibayar dengan cara dicicil sampai lunas, yaitu mahar dibayar dengan cara
pemberian uang muka, sisanya diangsur atau dibayarkan sekaligus sesuai
perjanjian.
0 komentar:
Post a Comment