Pengertian Mahar dan Hukum Mahar
Mahar -Dalam sebuah pernikahan, mahar atau maskawin sangatlah penting untuk menjadi pembahasan. Sebelum lebih jauh kita membahas tentang mahar, maka alangkah baiknya kita mengetahui tentang pengertian mahar dan hukumnya menurut syari'at Islam.
Image From: bestcigarsonlinee.com
Dalam istilah ahli fikih, di samping perkataan ‘mahar’ juga dipakai
perkataan : “shadaq”, nihlah; dan faridhah” dalam bahasa
Indonesia dipakai dengan perkataan maskawin.
Dalam bahasa Arab, terma mahar jarang digunakan. Kalangan ahli
fikih lebih sering menggunakan kata shidaq dalam kitab-kitab fikihnya.
Sebaliknya di Indonesia terma yang sering digunakan adalah terma mahar dan
maskawin. Para ulama menyatakan bahwa tidak ada perbedaan mendasar antara term ash-shidaq
dengan term al-mahr. Ada pendapat yang menegaskan bahwa shadaq
adalah sesuatu yang wajib karena nikah, sedangkan mahar merupakan
sesuatu yang wajib karena selain nikah, seperti wathi’ subhat,
persusuan, dan menarik kesaksian. Menurut Ibnu Qayyim, istilah mahar dengan shidaq
tidak berbeda fungsinya jika yang dimaksudkan adalah pemberian sesuatu dari
mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan dalam sebuah perkawinan. Sedangkan
istilah shadaq dapat digunakan dalam hal selain perkawinan, karena
istilahnya bersifat umum, sebagaimana shadaqah wajib dan shadaqah sunnah.
Shadaqah wajib adalah membayar zakat dan membayar mahar.
Mahar, secara etimologi, artinya maskawin. Secara terminologi,
mahar ialah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai
ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang
istri kepada calon suaminya. Atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon
suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan,
mengajar, dan lain sebagainya).
Islam sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan seorang wanita
dengan memberi hak kepadanya di antaranya adalah hak untuk menerima mahar
(maskawin). Mahar hanya diberikan oleh calon suami kepada calon istri, bukan
kepada wanita lainnya atau siapapun walaupun sangat dekat dengannya. Orang lain
tidak boleh menjamah atau menggunakannya, oleh suaminya sendiri, kecuali dengan
ridha dan kerelaan sang istri. Allah SWT berfirman dalam Q.S. an-Nisa’ ayat 4:
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan
kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah
(ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
Pemberian itu ialah maskawin yang besar kecilnya ditetapkan atas
persetujuan kedua pihak, karena pemberian itu harus diberikan dengan ikhlas.
Imam Syafi’i mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib
diberikan oleh seorang laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasai seluruh
anggota badannya.
Jika istri telah menerima maharnya tanpa paksaan dan tipu muslihat,
lalu ia memberikan sebagian maharnya, maka boleh diterima dan tidak disalahkan.
Akan tetapi, bila istri dalam memberikan maharnya karena malu atau takut, maka
tidak halal menerimanya. Allah SWT berfirman dalam surat an-Nisa’ ayat 20:
Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain,
sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang
banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun.
Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan
dengan (menanggung) dosa yang nyata?
Dalam ayat 21 selanjutnya Allah SWT berfirman:
Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu
telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan mereka
(istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.
Karena mahar merupakan syarat sahnya nikah, bahkan Imam Malik
mengatakannya sebagai rukun nikah, maka hukum memberikannya adalah wajib.
Rasulullah saw. bersabda:
عن
عامر بن ربيعة ان امرأة من بني فزارة تزوجت علي تعلين, فقال رسول الله صلي الله
عليه وسلم : أرضيت علي نفسك وما لك بنعلين, فقال : نعم, فاجازه (رواه احمد وابن
ماجه و الترميذي وصححه)
Dari ‘Amir bin Rabi’ah: “Sesungguhnya seorang perempuan dari Bani
Fazarah kawin dengan maskawin sepasang sandal. Rasulullah saw. bertanya kepada
perempuan tersebut: Relakah engkau dengan maskawin sepasang sandal? Seorang
perempuan tersebut berkata: Ya, saya rela. Kemudian Rasulullah saw.
meluruskannya.” (HR Ahmad bin
Mazah dan disahihkan oleh Turmudzi)
Kemudian sabdanya lagi:
تزوج
ولو بخاتم من حديد (رواه البخاري)
“Kawinlah engkau walaupun dengan maskawin
cincin dari besi.” (HR.
Bukhari)
0 komentar:
Post a Comment