Q. S. AN-NISA' AYAT 32 *KESETARAAN LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DALAM BERKARIER
image from: kanalarudam.blogspot.com
Pendahuluan
Allah menganugerahkan kepada setiap orang dan setiap jenis apa yang
terbaik untuknya guna melaksanakan fungsi dan misinya dalam hidup ini.
Laki-laki mendapat anugerah yang berbeda dari perempuan sesuai dengan ketentuan
Allah SWT dan usahanya. Karena itu janganlah berangan-angan untuk memperoleh
sesuatu hal yang mustahil, atau yang berangan-angan yang membuahkan iri hati
dan dengki serta penyesalan. Dari semua itu bukanlah hal asing yang didengar
oleh setiap orang. Baik perasaan iri hati, dengki, dan penyesalan pasti pernah dirasakan oleh
setiap orang.
Memang dalam kehidupan manusia itutidak lepas dari keinginan
angan-angan yang tinggi. Maka dari itulah setiap orang diharapkan bisa
mengendalikan dan memahami tentang apa yang diinginkan dan diangankan.
Di dalam surat an-Nisa’ ayat 32 akan dibahas mengenai kesetaraan
laki-laki dan perempuan dalam berkarier. Segala usaha yang dilakukan laki-laki
memang sudah ditetapkan oleh Allah dan apa yang didapatnya memang setara dengan
apa yang diusahakan. Perempuanpun demikian.
Tarjamah
Q. S. An-Nisa’ ayat 32
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah
kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi
orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para
wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada
Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.”
Munasabah Q.
S. An-Nisa’ ayat 32
Dalam pembahasan terdahulu telah
diterangkan bahwa Allah melarang memakan harta manusia dengan cara yang batil
dan melarang membunuh, yang keduanya merupakan perbuatan-perbuatan yang dilakukan
oleh anggota-anggota tubuh. Kemudia Dia mengancam pelakunya dengan neraka dan
pengusiran. Hal ini dimaksudkan agar keadaan lahirnya suci dari segala
perbuatan maksiat yang sangat buruk akibatnya. Dalam ayat ini Allah melarang
berangan-angan (iri hati), agar perbuatan-perbuatan batin mereka suci, sehingga
batin serasi dengan lahir. Oleh karena berangan-angan bisa menjurus kepada
perbuatan “memakan” dan “memakan” bisa menjurus kepada pembunuhan, maka Allah
melarang berangan-angan itu, karena barang siapa menggembala di sekitar batas,
hampir-hampir akan masuk ke dalamnya.[1]
Asbab
al-Nuzul Q. S. An-Nisa’
ayat 32
Diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Hakin
dari Ummi Salamah bahwa ia berkata, “Yang berperang itu ialah laki-laki,
sedangkan wanita tidak berperang. Maka bagi kita harta warisan itu hanya
seperdua”. Maka Allah SWT manurunkan: “Dan janganlah kamu mengangan-angankan
karunia yang dilebihkan Allah kepada sebagian kamu dari sebagian lainnya”. Dan
Allah pun menurunkan pula, “Sesungguhnya laki-laki dan
perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan
perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar,
laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk,
laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa,
laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan
yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan
dan pahala yang besar.”(Q.S. Al-Ahzab ayat 35)
Dan diketengahkan oleh
Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas, seorang istri Nabi SAW datang kepadanya, lalu
berkata: “Wahai Nabi Allah, bagian seorang lelaki sama dengan bagian dua orang
wanita, dan kesaksian dua orang wanita sebanding dengan seorang lelaki. Apakah
kami dalam membuat amal kebajikan juga mengalami nasib yang serupa, yaitu jika
seorang wanita mengerjakan satu kebajikan, maka pahalanya akan dicatat hanya
separo?” Maka Allah SWT pun menurunkan, “Dan janganlah kamu
mengangan-angankan....sampai akhir ayat". (Q. S. An-Nisa’ ayat 32)[2]
Tafsir
dan Kandungan Q. S. An-Nisa’ ayat 32
Pada ayat ini Allah melarang
orang-orang beriman merasa iri hati terhadap orang-orang yang lebih banyak
memperoleh karunia dari Allah, karena Allah telah mengatur alam ini sedemikian
rupa, satu sama lain tidak sama, tetapi terjalin hubungan yang rapi. Manusiapun
tidak sama jenis kemampuannya, sehingga masing-masing memiliki keistimewaan dan
kelebihan. Bukan saja antara laki-laki dengan perempuan, tetapi juga antar
sesama laki-laki atau sesama perempuan.[3]
Tidak semua angan-angan itu
dilarang, karena ada yang dapat mendorong terciptanya kreasi-kreasi baru. Ayat
ini mengajar kita hidup realistis. Ada angan-angan yang boleh jadi dapat
dicapai, dan ada juga yang jelas mustahil atau sangat jauh, bagaikan si cebol
merindukan bulan. Inilah yang dilarangnya. Ada lagi angan-angan yang melahirkan
keinginan menggebu setelah melihat keistimewaan orang lain disertai harapan
kiranya keistimewaan itu beralih kepadanya dan lain-lain. Ini juga dilarangNya.
Banyak orang ang mengandalkan harapan
dan sangka baik. Ini boleh-boleh saja, bahkan yang demikian itu baik, asalkan
sangkaan dan harapan itu beralasan lagi disertai upaya sekuat kemampuan. Tetapi
kalau mengandalkan kehadiran rahmat atau datangnya bantuan tanpa usaha, maka
ini adalah angan-angan kosong. Puncak kelengahan dialami oleh orang-orang kafir
yang menduga bahwa Allah merahmati mereka dengan harta dan anak-anak, sehingga
mereka hidup di dunia ini dengan harapan dan cita-cita kosong. Inilah salah
satu iblis menjerumuskan manusia.[4]
Ar-Raghib al-Asfahani berpendapat bahwa kata iktasaba adalah
usaha manusia dan perolehannya untuk dirinya sendiri. Berbeda dengan kasaba
yang digunakan untuk perolehan dirinya atau orang lain. Sementara ulama,
seperti Syekh Muhammad Thahir ibn Asyur, berpendapat bahwa kata dengan patron
itu digunakan juga oleh al-Qur’an untuk perolehan manusia tanpa usaha dirinya,
seperti halnya perolehan harta warisan.
Jika kata iktasaba dipahami sebagaimana yang dikemukakan
oleh ar-Raghib al-Asfahani, maka ayat ini seakan-akan berkata: jangan
mengangan-angankan keistimewaan yang dimiliki seseorang atau jenis kelamin yang
berbeda dengan jenis kelaminmu, karena keistimewaan yang ada padanya itu adalah
karena usahanya sendiri, baik dengan kerja keras membanting tulang dan pikiran,
maupun karena fungsi yang harus diembannya dalam masyarakat, sesuai potensi dan
kecenderungan janisnya. Lelaki mendapat dua bagian dari perempuan, ditugaskan
berjihad, dan sebagainya adalah karena potensi yang terdapat pada dirinya.
Harta benda, kedudukan, dan nama adalah karena usahanya. Perempuanpun demikian.
Melahirkan dan menyusukan, atau keistimewaannya memperoleh maskawin dan
dipenuhi kebutuhannya oleh suami, atau harta benda yang diperolehnya, itu semua
karena usahanya sendiri, atau karena potensi serta kecenderungan yang ada pada
dirinya sebagai jenis kelamin wanita.
Dapat juga dikatakan bahwa lelaki dan perempuan masing-masing telah
mendapatkan bagian dari ganjaran Ilahi berdasarkan amal mereka. Maka tidak ada
gunanya wanita berangan-angan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan ayang
ditetapkan Allah buat laki-laki, dan sebaliknya pun demikian, karena ganjaran
bukannya terbatas pada amalah tertentu saja. Banyak cara memperoleh ganjaran ,
sehingga tidak pada tempatnya perempuan iri hati dan merasa tidak senang
terhadap lelaki yang diperintahkan berjihad. Demikian juga sebaliknya.
Perempuan juga tidak wajar iri hati kepada lelaki karena bagian anak laki-laki
dalam warisan dua kali lipat dari perolehan anak perempuan. Mereka tidak perlu
iri hati, karena perolehan wanita tidak hanya bersumber dari harta warisan,
tetapi juga dari suaminya yang harus membayar mahar dan mencukupkan kebutuhan
hidupnya.[5]
Kemudian Allah menunjukkan manusia kepada perkara yang bermaslahat
bagi mereka. Dia berfirman, “dan memohonlah kepada Allah sebagian dari
karunia-Nya” dan janganlah kamu mengangankan apa yang dikaruniakan oleh
Allah kepada sebagian kamu yang tidak diberikan kepada sebagian yang lain.
Angan-angan itu tidak berguna sama sekali. Namun memintalah kepada-Ku, niscaya
Aku akan memberimu sebab sesungguhnya Aku Maha Dermawan dan Maha Pemberi. Abu
Nu’aim meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata, Rasulullah saw bersabda; “mohonlah
kepada Allah dari karuniaNya, sesungguhnya Allah senang diminta. Hamba Allah
yang paling disukai Allah ialah yang suka mengatasi kesulitan.”
Kemudian Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah adalah Maha
Mengetahui terhadap segala sesuatu,” Artinya, Maha Mengetahui siapa yang berhak
mendapat dunia, maka Dia memberinya; siapa yang berhak mendapat kemiskinan,
maka Dia memiskinkannya; siapa yang berhak mendapat akhirat, maka Dia
mentakdirkannya untuk melakukan amal-amal akhirat; dan siapa yang berhak
mendapat ketelantaran, maka Dia menelantarkannya dengan meninggalkan kebaikan
dan segala sarananya. [6]
[1] Ahmad Musthafa
al Maraghi, Tafsir al Maraghi Vol. 5 (Semarang: Toha Putra, 1993), 34.
[2] Imam
Jalaluddin al-Mahalli, Tafsir Jalalain Vol. I (Bandung: Sinar Baru
Algesindo, 2004), 400.
[3] UII, Al-Qur’an
dan Tafsirnya Vol. 5 (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), 164.
[4] Quraish
Shihab, Tafsir al-Mishbah Vol. 2 (Ciputat: Lentera Hati, 2000), 397.
[5] Ibid., 398.
[6] Muhammad Nasir
ar-Rifa’i, Tafsir Ibnu Katsir Vol. 1, Terj. Shihabbuddin (Jakarta: Gema
Insani Press, 1998), 700.
0 komentar:
Post a Comment