Sumber dan Dasar Hukum Waris
Sumber-sumber
hukum yang mengatur masalah waris adalah Al Qur’an, Al Hadits, dan Al Ijma’ dan
Ijtihad.[1]
1.
Al-Qur’an
Di antara
ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang ketentuan waris adalah :
a.
Surat An
Nisa’ ayat 7 :
لِلرِّجَالِ نَصِيْبً
مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْاَقْرَبُوْنَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيْبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ
وَالْاَقْرَبُوْنَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ اَوْ كَثُرَ نَصِيْبًا مَفْرُوْضًا.
“Bagi
laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan karib kerabat;
dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau
banyak menurut bagiannya yang telah ditetapkan.”
b.
Surat An Nisa’
ayat 11 :
يُوْصِيْكُمُ
اللهُ فِيْ اْوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاْنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً
فَوْقض اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثًا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَت وَاحِدَةً فَلَهَا
النِّصْفُ وَلِاَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاِحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ
كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَّوَرِثَهُ اَبَوَاهُ فَلِاُمِّهِ
الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِاُمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ
يُوْصِي بِهَا اْوْ دَيْنٍ ءَابَاؤُكُمْ وَاْبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُوْن اْيُّهُمْ
اْقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيْضَةً مِنَ اللهِ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيْمًا حَكِيْمًا.
“Allah
mensyari’atkan kepadamu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu:
bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan, dan
jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan, jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia
memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan jika yang meninggal itu mempunyai anak;
jika orang yang meninggal itu tidak ada meninggalkan anak dan ia diwarisi oleh
ibu-bapaknya, maka ibunya mendapat sepertiga, jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara maka ibunya mendapat seperenam. (pembagian-pembagian tersebut
di atas) sesudah yang dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sudah dibayar
hutangnya. Tentang orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa
diantara mereka yang lebih dekat (banyak manfaatnya bagimu) ini adalah
ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.”
c.
Surat An Nisa’
ayat 33 :
وَلِكُلِّ جَعَلْنَا
مَوَالِيَ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْاَقْرَبُوْنَ وَالِّذيْنَ عَقَدَتْ
فَاْتُوْهُمْ نَصِيْبَهُمْ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَي كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدًا.
“Bagi
masing-masing Kami jadikan mawali terhadap apa yang ditinggalkan oleh ibu-bapak
dan karib kerabat; dan jika ada orang-orang yang kamu telah bersumpah setia
dengan mereka, maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah
menyaksikan segala sesuatu.”
d.
Surat An Nisa’
ayat 176 :
يَسْتَفْتُوْنَكَ
قُلِ اللهُ يُفْتِيْكُمْ فِيْ الْكَلَالَةِ إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ
وَلَهُ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفٌ مَا تَرَكَ وَهُوَ يَرِثُهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا
وَلَدٌ فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ وَإِنْ
كَانُوْا رَجُالاً وَّنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِ
يُبَيِّنُ لَكُمْ اْنْ تَضِلُّوا وَاللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ.
“Mereka
meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: Allah menfatwakan
kepadamu tentang kalalah yaitu jika seseorang meninggal dunia, dan ia tidak
mempunyai anak dan mempunyai seorang saudara perempuan, maka bagi saudaranya
yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya; dan saudaranya
yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak
mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya
dua pertiga harta yang ditinggalkkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri
dari) saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang laki-laki sebanyak
bagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu supaya kamu tidak sesat. Dan
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
2.
Hadits Nabi
Diantara hadits Nabi yang
menjelaskan ketentuan tentang warisan adalah :
a.
Hadits riwayat Bukhary dan Muslim
عن ابن عباس رضي
الله عنه عن النبي صلي الله وسلم قال: اْلحق الفرائض اْهلها فما بقي فهو لاولي رجل
ذكر.
“Berikanlah
Faraid (bagian-bagian yang ditentukan) yaitu kepada yang berhak dan terdekat.”
b.
Hadits riwayat
Abu Dawud dan Tirmidzi
عن عمران بن
حصين اْن رجلا اْتي النبي صلي الله عليه وسلم فقال: اْن إبني مات فمالي من ميراثه
فقال لك السدس.
“Dari
‘Umran bin Husein bahwa seseorang anak laki-laki mendatangi Nabi sambil
berkata, “bahwa anak dari anak laki-laki saya meninggal dunia, apa yang saya
dapat dari harta warisannya?” Nabi
berkata: “Kamu mendapat seperenam.”
c.
Hadits riwayat
Bukhary
عن سعد بن اْبي
وقاص قال: مرضت بمكة مريضا فاْسعيت منه علي الموت فاْتاني النبي صلي الله عليه
وسلم يعودنيفقلت يا رسول الله إن لي ما لا كثيرا وليس لي الا إبنتي فاْنصدق بثلثي
مالي،فقال: لا، قلتك فا لشطر، فقال: لا، و قلت، الثلث، قال، الثلث كبير إنك اْن
تركت ولدك اْغنلاء خير من اْن تتركهم عالة يتكفقون الناس.
“Dari
Sa’ad bin Abi Waqash berkata, “Saya pernah sakit di Makkah, sakit yang membawa
kematian. Saya dikunjungi oleh Nabi SAW. Saya berkata kepada Nabi: “Ya
Rasulullah, saya memiliki harta yang banyak, tidak ada yang mewarisi harta
kecuali seorang anak perempuan, bolehkah saya sedekahkan dua pertiganya?” Jawab
Nabi, “Tidak.” Sayua berkata lagi, “Bagaimana kalau separuhnya ya Rasulullah?”
Jawab Nabi, “Tidak.” Saya berkata lagi, “Sepertiga?” Nabi berkata, “Sepertiga
itu sudah banyak. Sesungguhnya bila kamu meninggalkan keluargamu berkecukupan
lebih baik dari meninggalkannya berkekurangan, sampai-sampai meminta kepada
orang.”
d.
Hadits riwayat
Bukhary dan Muslim
عن اْبي هريرة
رضي الله عنه عن النبي صلي الله عليه وسلم قال: اْنا اْول بالمؤمنين من اْنفسهم
فمن مات وعليه دين و لم يترك مالا فعلينا قضاؤه و من ترك مالا فلورثته.
“Dari
Abu Hurairah ra, dari Nabi Muhammad SAW yang berkata: “ Saya adalah yang lebih
utama dari seorang muslim dari diri mereka sendiri. Siapa-siapa yang meninggal
dan mempunyai utang dan tidak meninggalkan harta untuk membayarnya, maka
sayalah yang akan melunasinya. Barangsiapa yang meninggalkan harta, maka harta
itu untuk ahli warisnya. “[2]
3.
Al Ijma’ dan
Ijtihad
Meskipun Al
Qur’an dan Hadits Nabi telah memberi ketentuan terperinci mengenai pembagian
harta warisan, imam-imam madzhab dan para mujtahid mempunyai peran yang tidak
kecil sumbangannya terhadap pemecahan-pemecahan masalah mawaris yang belum
dijelaskan dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasul.[3]
Misalnya :
a.
Status saudara-saudara
yang mewarisi bersama-sama dengan kakek. Di dalam Al Qur’an hal itu tidak
dijelaskan. Yang dijelaskan ialah status saudara-saudara bersama-sama dengan
ayah atau bersama-sama dengan anak laki-laki yang dalam kedua keadaan ini
mereka tidak mendapat apa-apa lantaran terhijab. Kecuali dalam masalah kalalah
mereka mendapatkan bagian.
Menurut
pendapat kebanyakan sahabat dan imam-imam madzhab yang mengutip pendapat Zaid
bin Tsabit, saudara-saudara tersebut dapat mendapat pusaka secara muqasamah dengan
kakek.
b.
Status
cucu-cucu yang ayahnya mati lebih dahulu daripada kakek yang bakal mewarisi
bersama-sama dengan saudara-saudara ayahnya. Menurut ketentuan mereka tidak
mendapat apa-apa lantaran terhijab oleh saudara ayahnya, tetapi menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Wasiyat Mesir yang mengistimbatkan dari ijtihad para ulama’
mutaqaddimin, mereka diberi bagian berdasarkan atas wasiat wajibah.[4]
[1] Otje Salman-Mustofa Haffas, Hukum Adat Indonesia, (Bandung: PT
Refika Aditama, 2002), 3.
[2] Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta, Prenada
Media, 2004), 7-16.
[3] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, (Yogyakarta, UII Press,
2001), 8.
[4] Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung, al Ma’arif, 1994, hal 33.
0 komentar:
Post a Comment