Fiqh Muamalah *ZAKAT PROFESI
Seorang pekerja atau berprofesi sesuai dengan bidang kerja masing-masing, selalu menghasilkan pendapatan atau gaji setiap momentnya. Misalkan seorang dokter, bisa memperoleh gajinya setiap bulan, seorang guru pun demikian. Ketika semakin besar gaji yang diterima, maka ada bagian hak orang lain yang membutuhkan yang terkandung di dalamnya yang mezti dikeluarkan berupa zakat.
image from : www.ahbaburrosul.org
Zakat profesi
merupakan bahasan baru dalam kajian fiqh (hukum Islam). Al-Qur’an dan Sunnah
tidak memuat aturan hukum yang tegas mengenai zakat profesi ini. Begitu juga
ulama mujtahid seperti abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad bin Hambal tidak
pula memuat dalam kitab-kitab mereka mengenai zakat profesi ini. Hal ini
disebabkan karena terbatasnya jenis-jenis usaha atau pekerjaan masyarakat pada
masa Nabi SAW dan imam mujtahid.
Sedangkan hukum Islam itu sendiri adalah refleksi dari peristiwa-peristiwa
hukum yang terjadi ketika hukum itu ditetapkan. Tidak munculnya berbagai jenis
pekerjaan dan jasa atau yang disebut dengan profesi ini pada masa Nabi dan
imam-imam mujtahid masa lalu, menjadikan zakat profesi tidak begitu dikenal dalam
sunnah dan kitab-kitab fiqh klasik.
Dan adalah wajar apabila sekarang terjadi kontroversial dan
perbedaan pendapat ulama di sekitar zakat profesi ini. Ada ulama yang
mewajibkannya dan ada pula ulama yang secara apriori tidak mewajibkannya. Namun
demikian, sekalipun hukum mengenai zakat profesi ini masih menjadi
kontroversial dan belum begitu diketahui oleh masyarakat muslim pada umumnya
dan kalangan profesional muslim di tanah air pada khususnya, kesadaran dan
semangat untuk menyisihkan sebagian penghasilan sebagai zakat yang diyakininya
sebagai kewajiban agama yang harus dikeluarkannya cukup tinggi.
Pengertian Zakat Profesi
Zakat profesi atau
jasa, disebut juga zakat kasab al ‘amal yang artinya zakat yang
dikeluarkan dari sumber usaha profesi atau pendapatan jasa. Istilah profesi
disebut profesion dalam bahasa Inggris, yang dapat diartikan sebagai suatu
pekerjaan tetap dengan keahlian tertentu yang dapat menghasilkan gaji, honor, atau
imbalan.[1]
Akan tetapi pekerjaan profesi memiliki pengertian yang sangat luas, karena
semua orang bekerja dengan kemampuannya, yang dengan kata lain mereka bekerja
dengan profesinya. Adapun pengertian profesi dalam kamus bahasa Indonesia
sebagaimana dikutip oleh Muhammad, profesi adalah bidang pekerjaan yang
dilandasi pendidikan keahlian tertentu (keterampilan), kejujuran, dan
sebagainya. Profesional adalah yang berkaitan dengan profesi memerlukan
kepandaian khusus untuk menjalankannya. Menurut pengertian tersebut profesi
adalah segala bentuk usaha yang halal dan mudah baik melalui keahlian tertentu
atau tidak. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa zakat profesi adalah
zakat yang dikeluarkan dari usaha yang halal yang dapat mendatangkan hasil
(uang) yang relatif banyak dengan cara yang mudah, melalui keahlian tertentu.
Terdapat beberapa
poin yang dapat diambil dari uraian di atas, yakni apabila ditinjau dari
bentuknya, usaha profesi tersebut dapat berupa:
*Usaha
fisik seperti pegawai atau artis
*Usaha
pikiran seperti konsultan, designer, dan dokter
*Usaha
kedudukan seperti komisaris dan tunjangan jabatan
* Usaha
modal seperti investasi.
Sedangkan apabila ditinjau dari hasil usahanya, profesi itu bisa
berfungsi sebagai:
1.
Hasil
yang teratur pasti, baik setiap bulan, minggu, hari seperti upah pegawai atau
pekerja.
2. Hasil
yang tidak tetap dan tidak diperkirakan secara pasti seperti kontraktor,
pengacara, royalty pengarang, konsultan, dan artis.[2]
Pendapatan yang termasuk dalam kategori zakat profesi adalah:
*Gaji,
upah, honorarium, dan nama lainnya aktif (income) dari pendapatan tetap
yang mempunyai kesamaan substansi yang dihasilkan oleh orang dari sebuah unit
perekonomian swasta maupun milik pemerintah dalam sebuah negara Islam
terminologis pendapatan ini disebut sebagai al U’tiyat (pemberian).
*Pendapat
dari hasil kerja profesi tertentu (pasive income) seperti dokter,
akuntan, dan lain sebagainya termasuk pendapatan ini dikenal dalam negara Islam
sebagai al maal mustafaad
(pendapatan tidak tetap).[3]
Hukum Zakat Profesi
Dasar hukum zakat profesi adalah qiyas atau menyamakan zakat
profesi dengan zakat lain seperti hasil pertanian maupun zakat emas dan perak.
Ketika hasil pertanian telah mencapai nisab 5 wasaq (750 kg beras), maka
zakatnya adalah sebesar 5% atau 10%. Jika hasil pertanian saja sudah wajib
zakat, mestinya profesi yang memberikan pendapatan melebihi pendapatan petani
wajib pula dikeluarkan zakatnya. Bagaimana dengan nisab zakat profesi?
Mengingat zakat profesi ini tergolong baru, maka nisabnya dikembalikan kepada
nisab jenis zakat lainnya yang telah berketentuan hukum.
Salah satu ayat al-Quran yang melandasi tentang wajibnya zakat
profesi bagi setiap muslim yakni surat al-Baqarah ayat 267 berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian
dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan
dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu
menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan
dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya
lagi Maha Terpuji.”
Paling tidak ada keduanya sebagai dasar perhitungan nisab tersebut.
Pertama, disamakan dengan zakat emas dan perak, yaitu 93,6 gram emas. Sedangkan
kemungkinan kedua, disamakan dengan
zakat pertanian, yaitu 5 wasaq (sekitar 750kg beras)
Nisab Zakat Profesi dan Cara Perhitungannya
Mengenai nisab zakat profesi terjadi khilafiyah antara para ulama’.
Mustafa Ahzami Samiun menyebutkan, zakat profesi lebih cocok diqiyaskan dengan
zakat pertanian dibandingkan dengan zakat perdagangan. Sebabnya, pertanian dan
profesi menghasilkan pendapatan pada musim-musim tertentu, sedangkan
perdagangan menghasilkan pendapatan bergantung pada performa bisnis. “Ini
namanya qiyas Syabah atau menyerupai. Alasannya panen pertanian terjadi pada
musim-musim tertentu, sedangkan profesi juga menghasilkan gaji pada musim
tertentu seperti bulanan.” Ungkap Ahzami. Karena itu nisab zakat profesi
menurut beliau adalah sebanyak 5 wasaq.
Pendapat senada juga diungkapkan oleh sekretaris MUI, Hasanuddin.
Ia mengatakan zakat profesi lebih tepat diqiyaskan dengan zakat pertanian.
Penetapan nisbah dan kadar zakat profesi agak berbeda. Nisbah ditetapkan dengan
menggunakan nisbah dan kadar zakat perdagangan. Dengan demikian nisbah zakat
profesi sekitar 85 gram emas lebih dari kadar zakat sebesar 2.5%.
Pendapat Yakub lebih memilih mengqiyaskan zakat profesi dengan
perdagangan, juga didukung Amin Suma. Nisab zakat profesi menurut keduanya
dengan cara menghitung jumlah penghasilan seorang muslim yang didasarkan ada
berat emas sekitar 84-86 gram.[4]
Pendapa ulama mengqiyaskan zakat hasil profesi dengan zakat hasil
qarun (riqaz) dan harta rampasan perang atau ghonimah. Menurut pendapat ini
seseorang memperoleh penghasilan harus mengeluarkan zakatnya sebesar 20%.
Pendapat ini dipelopori oleh ulama’ Syi’ah dan madzhab Imamiyah.[5]
Dari pendapat di atas ada dua kemungkinan mengenai nisab zakat
profesi, yani:
*Disamakan
dengan nisab zakat emas dan perak, yaitu dengan mengqiyaskannya kepada emas dan
perak sebagai standar nilai uang yang wajib dikeluarkan zakatnya, yakni 20
dinar atau 93,6 gram emas. Berdasarkan Hadis Riwayat Abu Dawud : “Tidak ada
suatu kewajiban bagimu dari emas (yang engkau miliki) hingga mencapai jumlah 20
dinar”.
*Disamakan
dengan zakat hasil pertanian yaitu 5 wasaq sekitar 750kg beras). Zakatnya
dikeluarkan pada saat diterimanya penghasilan dari profesi tersebut sejumlah 5
atau 10% sesuai dengan biaya yang dikeluarkan.
Mengenai kadar zakat profesi MUI juga mengeluarkan fatwanya yakni,
fatwa MUI No. 3 Tahun 2003 tentang zakat Penghasilan. Zakat profesi dapat
dikeluarkan pada saat menerima jika sudah mencapa nisab. Jika tidak mencapai
nisab maka semua penghasilan dikumpulkan selama satu tahun kemudian zakat
dikeluarkan jika penghasilan bersihnya sudah cukup nisab dengan besaran zakat
yang dikeluarkan yakni 2.5% dari penghasilan bersih.
Cara Perhitungan Zakat Profesi
Misalnya seorang dosen golongan III/c dengan masa kerja 6 tahun
yang keluarganya terdiri dari seorang isteri dan tiga orang anak,
*Menerima
gaji Rp. 1.500.000,- honorium
*Dari
beberapa PTS, Rp. 500.000,- Jumlah Rp. 2.000.000,-
Dengan pengeluaran;
*Keperluan
hidup pokok Rp. 500.000,-
*Angsuran
kredit perumahan Rp. 500.000,- Jumlah Rp. 1.000.000,-
Jadi, penerimaan; Rp. 2.000.000,- Pengeluaran; Rp. 1.000.000,-
Sisa : Rp. 1.000.000,- setiap bulan; setahun : Rp. 1.000.000,- x 12
= Rp. 12.000.000,-
Maka perhitungan zakatnya 2.5% x Rp. 12.000.000,- = Rp. 480.000,-. Dengan
perincian seperti itu, berarti zakat yang harus dikeluarkan sebesar Rp. 480.000,-
Supaya tidak memberatkan ketika pembayaran di akhir tahun, zakat
bisa dibayarkan setiap bulannya. Dan rincian di atas merupakan contoh
perhitungan zakat sederhana. Mengenai ketentuan nishab, maka nominal gaji yang
diterima jika dijumlah setara dengan ketentuan nishab zakat pertanian atau
zakat emas/perak.
Cara Mengeluarkan Zakat Profesi
Ulama-ulama salaf berpendapat bahwa harta penghasilan wajib zakat,
diriwayatkan mempunyai dua cara dalam mengeluarkan zakatnya, yaitu:
a. Az-Zuhri
berpendapat bahwa bila seseorang memperoleh penghasilan dan ingin membelanjakan
sebelum bulan wajib zakatnya datang, maka hendaknya ia mengeluarkan zakatnya
bersamaan dengan kekayaan yang lain-lain.
b. Makhul
berpendapat bahwa bila seseorang harus mengeluarkan zakat pada bulan tertentu
kemudian memperoleh uang tetapi kemudian dibelanjakannya, maka uang itu tidak
wajib zakat, yang wajib zakat hanya uang sudah datang untuk mengeluarkan zakat
pada bulan tertentu kemudian ia memperoleh uang, maka ia harus mengeluarkan
zakatnya pada waktu uang itu diperoleh.[6]
Selain ulama-ulama salaf ada juga beberapa perbedaan pendapat ulama
mengenai waktu pengeluaran dari zakat profesi.
1.
Pendapat
as-Syafi’i dan Ahmad mensyaratkan haul (sudah cukup setahun) terhitung dari
kekayaan itu didapat. Pendapat Abu Hanifah, Malik, dan ulama modern, seperti
Muh. Abu Zahrah dan Abdul Wahhab Khalaf mensyaratkan haul tetapi terhitung dari
awal dan akhir harta itu diperoleh, kemudian pada masa setahun tersebut harta
dijumlahkan dan kalau sudah sampai nisabnya maka wajib mengeluarkan zakat.
2. Pendapat
Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Umar bin Abdul Aziz dan ulama modern seperti Yusuf
Qardawi tidak mensyaratkan haul, tetapi zakat dikeluarkan langsung ketika
mendapatkan harta tersebut. Mereka mengqiyaskan dengan zakat pertanian yang
dibayar pada setiap waktu panen. (haul ; lama pengendapan harta).
Adapun upaya zakat tersebut dapat diperuntukkan untuk kebutuhan
konsumtif dan produktif yaitu:
a. Kebutuhan
konsumtif
Zakat diperuntukkan bagi pemenuhan hajat hidup para mustahik
delapan ashnaf. Sesuai Undang-Undang, mustahik delapan ashnaf adalah fakir,
miskin, amil, muallaf, riqab, gharim, sabilillah, ibnu sabil yang di dalam
aplikasinya dapat meliputi orang-orang yang paling tidak berdaya secara
ekonomi.
b. Kebutuhan
produktif
Pendayagunaan zakat khususnya yang berupa infaq dan sedekah
diperuntukkan untuk usaha produktif. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.[7]
Perbedaan Zakat Kekayaan dengan Zakat Penghasilan
Ada perbedaan pokok antara zakat kekayaan dan zakat penghasilan.
1.
Zakat
kekayaan
a.
Berdasarkan
pada kekayaan penuh, yaitu setelah dikurangi hutang.
b.
Hak
milik penuh kita tahun ini adalah hak milik kita tahun lalu ditambah
penghasilan kita tahun ini dikurangi ongkos biaya tahun ini.
c.
Perlu
membuat neraca kekayaan setiap tahun.
d.
Harta
tetap dan piutang tidak lancar dizakati satu kali.
e.
Sangat
berguna untuk mengukur tingkat kekayaan masyarakat.
f.
Membutuhkan
pengetahuan akuntansi sederhana.
2.
Zakat
Penghasilan
a.
Didasarkan
pada penghasilan tanpa memperhitungkan hutang.
b.
Tanpa
menjumlah kekayaan tahun sebelumnya.
c.
Tidak
perlu membuat neraca kekayaan setiap tahun.
d.
Tidak
perlu menghitung harta tetap dan piutang tidak lancar.
e.
Berguna
untuk mengukur pendapatan kotor masyarakat.
f.
Praktis.
[1] Mahjuddin, Masail
Al-Fiqh (Jakarta: Kalam Mulia, 2012), 302-303.
[2] Atik Abidah, Zakat
Filantropi dalam Islam (Ponorogo, STAIN Po Press, 2011), 38-40.
[3] M. Arif
Mufraini, Akuntansi Manajemen Zakat (Jakarta: Kencana, 2006), 78.
[4] Noor
Aflah, Arsitektur Zakat Indonesia (Jakarta: UI-Press, 2009), 114-116.
[5] Atik, Zakat
Filantropi, 44.
[6] Muhammad
Hamrozi, Implementasi Zakat Profesi (Malang: UIN Malang, 2007), 49-50.
[7] Ibid., 51-52.
0 komentar:
Post a Comment