PENGERTIAN ANAK SAH MENURUT ISLAM DAN IMPLIKASINYA

Artikel terkait : PENGERTIAN ANAK SAH MENURUT ISLAM DAN IMPLIKASINYA


Pengertian anak sah menurut Perdata Barat adalah anak yang dilahirkan atau dibesarkan selama perkawinan, memperoleh suami sebagai ayahnya. Menurut Vollmar, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan atau dibesarkan di dalam perkawinan. Subekti juga mengatakan, seorang anak sah ialah anak yang dianggap lahir dari perkawinan yang sah antara ayah dan ibunya.[1]
Dari definisi ayat-ayat al-Qur’an dan hadis, dapat diberi batasan anak yang sah adalah anak yang lahir oleh sebab dan di dalam perkawinan yang sah. Selain itu disebut sebagai anak zina yang hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya.[2]
Perbedaan antara UU No. 1 Tahun 1974 dengan Kompilasi Hukum Islam mengenai pengertian anak sah selain dari apa yang ditentukan dalam pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974 yang hampir sama isinya dengan pasal 99 sub (a) KHI bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan sah. KHI menambahkan dengan hal yang kedua yaitu hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.[3]
Maalah anak sah diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 dalam pasal 42, 43, dan 44 sebagai berikut:
Pasal 42
Disebutkan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah. Dalam pasal 250 KUHPerdata anak sah adalah anak yang dilahirkan dan dibuat selama perkawinan.
Dalam pandangan Hukum Islam, ada 4 syarat supaya nasab anak dianggap sah, yaitu:
1.         Kehamilan bagi seorang istri bukan hal yang mustahil, artinya normal dan wajar untuk hamil.
2.  Tenggang waktu kehamilan dan pelaksanaan perkawinan sedikit-dikitnya 6 bulan sejak perkawinan dilaksanakan.
3.         Anak yang lahir itu terjadi dalam waktu kurang dari masa sepanjang kehamilan.
4.         Suami tidak mengingkari anak tersebut melalui lembaga li’an.[4]
Pasal 43
(1)    Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
(2)      Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 44
(1)  Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan istrinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinahan tersebut.
(2)  Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang bersangkutan.[5]
KHI juga memberikan aturan-aturan yang mirip dengan aturan-aturan yang terdapat di dalam UUPerdata.
Pasal 99
Anak sah adalah:
a.         Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.
b.         Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.
Pasal 100
Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Pasal 101
Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang istri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan li’an.
Pasal 102 KHI juga tidak merinci batas minimal dan maksimal usia bayi dalam kandungan sebagai dasar suami untuk menyangkal sahnya anak yang dilahirkan istrinya.
(1)   Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari istrinya, mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama.
(2)      Pengingkaran yang diajukan sesudah lampau waktu tersebut tidak dapat diterima.
Batasan 180 hari atau 6 bulan tersebut di atas ternyata tidak menjelaskan batas minimal usia kandungan. Demikian juga 360 hari bukan menunjuk batas maksimal usia bayi dalam kandungan. Akan tetapi menegaskan batas waktu untuk mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama. Kutipan firman Allah dalam surat al-Ahqaf ayat 15 yang artinya”...mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan.” Kemudian dilanjutkan dengan kutipan surat Luqman ayat 14 yang artinya “...ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun.”
Adapun pembuktian asal-usul anak, Undang-Undang Perkawinan mengaturnya dalam pasal 55 dan Kompilasi Hukum Islam menjelaskannya dalam pasal 103 yang isinya sama yaitu:
(1)      Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dalam akta kelahiran atau alat bukti lainnya.
(2)      Bila akta kelahiran atau alat bukti lain dalam ayat (1) tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang sah.
(3)    Atas dasar ketetapan Pengadilan Agama ayat (2) maka instansi Pencatat Kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama tersebut mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.[6]
Di dalam pasal-pasal di atas ada beberapa hal yang diatur. Pertama, anak sah adalah yang lahir dalam dan akibat perkawinan yang sah. Kedua, lawan anak sah adalah anak luar perkawinan  yang hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya saja. Ketiga, suami berhak melakukan pengingkaran terhadap sahnya seorang anak. Keempat, bukti asal-usul anak dapat dilakukan dengan akta kelahiran. Suami dapat mengingkari kesahan anak apabila:
a.       Istri melahirkan anak sebelum masa kehamilan.
b.      Melahirkan anak setelah lewat batas maksimal masa kehamilan dari masa perceraian.
Berkenaan dengan batas minimal masa kehamilan, jumhur ulama telah menetapkannya selama 6 bulan. Dasarnya adalah firman Allah SWT surat al-Ahqaf ayat 15 dan surat Luqman ayat 14. Dengan demikian Hukum Islam menegaskan bahwa seorang anak supaya dapat dianggap sebagai anak yang sah dari suami ibunya, anak itu harus lahir sekurang-kurangnya 6 bulan sesudah pernikahan atau di dalam tenggang iddah selama 4 bulan 10 hari sesudah perkawinan terputus.
Dengan demikian apabila bayi lahir kurang dari 6 bulan maka anak tersebut tidak dapat dihubungkan kekerabatannya dengan bapaknya kendatipun lahir dalam perkawinan yang sah. Ia hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya saja. Berdasarkan penjelasan: Rasulullah saw menetapkan hak waris anak li’an kepada ibunya dan ahli waris ibu sesudahnya (Abu Daud).”




[1] Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Prenada Media, 2004), 288.
[2] Ibid., 277.
[3] Sugihanto Hasanuddien, Hukum dan Peradilan Islam di Indonesia (Ponorogo: STAIN Po Press, 2007), 106.
[4] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia  (Jakarta: Prenada Media, 2006), 78-79.
[5] Nuruddin, Hukum Perdata, 281.
[6] Ibid., 233.

Artikel arinprasticha Lainnya :

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 arinprasticha | Design by Bamz