Dasar Hukum Rahn *Q.S. Al-Baqarah 283

Artikel terkait : Dasar Hukum Rahn *Q.S. Al-Baqarah 283

Tafsir Ahkam Q.S. Al-Baqarah 283 -Rahn atau lebih dikenal dengan gadai seringkali terjadi pada kehidupan manusia dalam transaksi muamalah. Supaya kita tidak ragu akan setiap transaksi yang dilakukan, alangkah baiknya kita mengetahui dasar hukumnya, khususnya pada transaksi Rahn.


image from: sayahafiz.com

# Terjemah Q.S. Al-Baqarah 283

“ Dan jika kamu dalam perjalanan dan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang ( oleh yang berpiutang ), akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang mempercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah kamu ( para saksi ) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah seorang yang berdosa hatinya, dan Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan.“[1]

# Kandungan Ayat

 “Dan jika kamu dalam perjalanan dan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang ( oleh yang berpiutang )”.
Dengan penjelasan tidak adanya penulis dalam keadaan bepergian, hal ini merupakan penjelasan tentang diperbolehkannya udhur  atau rukhsah yang memperbolehkan tidak memakai tulisan. Dan sebagai gantinya adalah jaminan sebagai kepercayaan dari pihak orang yang berhutang. Dan apabila tidak mampu membayar, maka orang yang memberi hutang boleh mengambil jaminannya sebagai milik. Nabi SAW. pernah menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi dengan imbalan 20 kati gandum yang diambil untuk keluarga beliau ( Riwayat Bukhari-Muslim ).
Ayat ini tidaklah menetapkan bahwa borg ( gadai ) itu hanya boleh dilakukan dengan syarat “dalam perjalanan dan muamalah tidak dengan tunai dan tidak ada juru tulis”, tetapi ayat ini hanya menyatakan bahwa dalam keadaan tersebut boleh dilakukan muamalah dengan memakai borg. Dalam keadaan yang lain juga boleh memakai borg sesuai dengan hadits yang diriwayatkan Bukhari-Muslim tersebut.[2]

 “Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang mempercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya”.
Di sini jaminan bukan berbentuk tulisan atau saksi, tetapi kepercayaan dan amanah timbal balik. Hutang diterima oleh pengutang, dan barang jaminan diserahkan kepada pemberi hutang.
Amanah adalah kepercayaan dari yang memberi terhadap yang diberi atau dititipi, bahwa suatu yang diberikan atau dititipkan kepadanya itu akan terpelihara sebagaimana mestinya, dan pada saat yang menyerahkan memintakan kembali, maka ia akan menerimanya utuh sebagaimana adanya tanpa adanya keberatan dari yang dititipi. Yang menerimapun menerimanya atas dasar kepercayaan dari pemberi bahwa apa yang diterimanya, diterima sebagaimana adanya, dan kelak si pemberi atau penitip tidak akan meminta melebihi apa yang diberikan atau disepakati oleh kedua belah pihak.
Misalnya, si fulan berhutang kepada temannya Rp. 1.000,-. Janji hendak dibayar dalam masa tiga bulan. Dan untuk menguatkan janji, digadaikan sebentuk cincin yang biasanya harganya berlebih daripada jumlah hutangnya. Maka hendaklah kedua pihak memenuhi janji. Yang berhutang hendaklah segera membayar sebelum sampai tiga bulan. Yang menerima gadaian jangan sekali-kali metusak amanat, lalu menjual barang itu sebelum habis janji atau mencari dalih macam-macam. Keduanya memegang amanatdan hendaklah keduanya menjaga taqwa kepada Allah SWT, supaya hati keduanya atau salah satu dari keduanya jangan dipesonakan oleh syaitan kepada niat buruk.[3]

“Dan janganlah kamu ( para saksi ) menyembunyikan persaksian”.
Kepada para saksi, pada hakikatnya juga memikul amanah kesaksian, diingatkan, janganlah kamu, wahai para saksi, menyembunyikan persaksian, yakni jangan mengurangi, melebihkan, atau tidak menyampaikan sama sekali, baik yang diketahui oleh pemilik hak maupun yang tidak diketahuinya.

 “Dan barang siapa menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah seorang yang berdosa hatinya”.
Janganlah kalian membangkang tidak menunaikan kesaksian yang dibutuhkan. Maka, siapa saja yang telah membangkang, maka ia telah berdosa. [4]
Penyebutan kata “hati” dalam ayat ini adalah untuk mengukuhkan kalimat ini. Bukankah jika berkata, “ Saya melihatnya dengan mata kepala”, maka ucapan ini lebih kuat daripada sekedar berkata, “Saya melihatnya”. Di sisi lain, penyebutan kata itu juga mengisyaratkan bahwa dosa yang dosa yang dilakukan adalah dosa kecil. Anggota badan lain boleh jadi melakukan sesuatu yang tidak sejalan dengan kebenaran, tetapi apa yang dilakukannya itu belum tentu dinilai dosa jika ada dorongan atau pembenaran hati atas perbuatannya.[5]
Kesaksian atau tulisan ( sebagai bukti ) keduanya merupakan aturan yang disyariatkan untuk memperkuat pertalian antara orang yang memberi utang dengan orang yang berutang. Tulisan fungsinya lebih kuat dibandingkan kesaksian, sedang kesaksian sifatnya hanya membantu bukti tulisan. Orang yang memberi utang dengan memakai kedua alat bukti tadi, berarti uangnya akan aman, dan tidak mungkin akan diingkari, baik sedikit atau banyak. Begitu halnya dengan orang yang berutang. Dengan kedua hal tadi, maka ia merasa aman, tidak khawatir akan terjadi penyimpangan, seperti ditambahi dan lainnya.
Kemudian pihak saksi akan dipercayai kesaksiannya. Namun apabila ia bersikap ragu-ragu atau lupa, maka hendaknya ia mengacu pada tulisan, sehingga ia mengingat kembali dan yakin akan kesaksiannya. Karenanya, tulisan dijadikan sebagai sumber rujukan dan pegangan yang berlaku.[6]



[1] __________________Terjemah Al Quran Secara Lafziyah Penuntun Bagi Yang Belajar Vol. 1 ( Jakarta: Yayasan Pembinaan Masyarakat “ al-Hikmah”), 340-341.
[2] ________________al Qur’an dan Tafsirnya ( Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995 ), 493.
[3] Hamka, Tafsir al Azhar Vol. III ( Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983 ), 120.
[4] Ahmad Mustafa al-Maraghy, Tafsir al Maraghy vol. III, Terj. Bahrun Abu Bakar, ( Semarang: CV Toha Putra, 1986 ), 137.
[5] M. Quraish Shihab, Tafsir al Mishbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran ( Ciputat: Lentera Hati, 2000 ), 571.
[6] Al. Maraghy, Tafsir al Maraghy, 188.

Artikel arinprasticha Lainnya :

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 arinprasticha | Design by Bamz