MASA BERKABUNG SUAMI
A.
Pengertian
Masa Berkabung (Ihdad) Menurut Fiqh
Ihdad (berkabung secara etimologi adalah menahan atau menjauhi. Secara
definitif sebagaimana tersebut dalam beberapa kitab fiqh adalah menjauhi
sesuatu yang dapat menggoda laki-laki kepadanya selama menjalani masa iddah.[1]
Menurut Abu Yahya Zakaria al-Anshary, masa berkabung (ihdad)
berasal dari kata ahadda atau al hiddad yang diambil dari kata hadda.
Secara estimologi ihdad berarti al-man’u (cegahan atau larangan).[2]
Mengenai ihdad
(masa berkabung) dan masalahnya, para fuqaha menjelaskan sebagai berikut:
a.
Ibnu
Rushd dan aum muslimin bersepakat bahwa ihdad wajib hukumnya atas wanita
muslimah yang merdeka dalam ihdad kematian suami
b.
Imam
Malik berpendapat bahwa ihdad diwajibkan atas wanita muslimah dan ahli
kitab, baik masih kecil maupun sudah dewasa.
c.
Imam
Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak ada ihdad atas wanita yang masih
kecil dan ahli kitab.
Adapun para
fuqaha berpendapat bahwa wanita yang sedang berihdad dilarang memakai
semua perhiasan yang dapat menarik perhatian laki-laki kepadanya, seperti
perhiasan intan dan celak.
Ringkasan
pendapat fuqaha mengenai hal-hal yang harus dijauhi oleh wanita yang berihdad
adalah saling berdekatan. Semua hal yang dapat menarik perhatian kaum laki-laki
kepadanya. Yang mendorong para ulama mewajibkan ihdad, secara garis
besar adalah hadis shahih di bawah ini:
“Bahwa seorang wanita datang kepada
Rasulullah saw. kemudian berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya anak perempuanku
ditinggal mati oleh suaminya, sedangkan ia mengeluh karena sakit pada kedua
matanya. Bolehkah ia mencelaki kedua matanya?” Rasulullah menjawab: Tidak boleh
(2x) atau (3x) yang masing-masingnya beliau mengatakan tidak boleh. Kemudian
beliau berkata: “Sesungguhnya iddahnya adalah 4 bulan 10 hari, dan
sesungguhnya dahulu ada seseorang di antara kaum yang berihdad selama
satu tahun penuh.”[3]
Sedangkan
menurut kebanyakan para ulama, hal-hal yang harus dijauhi oleh para kaum
perempuan yang sedang berkabung adalah sebagai berikut:
1. Memakai
wangi-wangian, kecuali untuk sekedar menghilangkan bau badan, baik dalam bentuk
alat mandi atau parfum.
2.
Menggunakan
perhiasan, kecuali dalam batas yang sangat diperlukan
3.
Menghias
diri baik pada badan, muka atau pakaian yang berwarna.
4.
Bermalam
di luar tempat tinggalnya.[4]
B.
Pengertian
Masa Berkabung (Ihdad) Menurut KHI
Tentang masa berkabung, Kompilasi Hukum Islam menjelaskan dalam Bab
XIX Pasal 170 sebagai berikut:
1. Istri
yang ditinggal mati oleh suaminya, wajib melaksanakan masa berkabung selama
masa iddah sebagai tanda turut berduka cita sekaligus menjaga timbulnya
fitnah.
2.
Suami
yang ditinggal mati oleh istrinya, melakukan masa berkabung menurut kepatutan.[5]
C.
Pemberlakuan
Syibhul Iddah bagi Suami
Secara sederhana bahwa shibhul iddah adalah suatu hal yang
menyerupai iddah. Kata “ash-shibhu” berarti hal serupa, berasal
dari kata al-shibh jamaknya ashbah. Adapun yang dimaksud kata iddah
adalah masa tunggu bagi suami yang telah menceraikan istrinya di mana istri
yang telah diceraikan tersebut masih menjalani masa iddahnya. Kemudian
kata “bagi suami” yang dimaksudkan dalam penulisan ini yaitu bagi suami yang
beragama Islam, dalam artian yang berkaitan dengan ketentuan dan peraturan
perundang-undangan yang berkenaan dengan permasalahan iddah, ketentuan,
hak, dan kewajban suami ataupun istri.
Demikian juga halnya masalah mengumpulkan antara dua orang yang
bersaudara dalam aqad nikah, tidak dibolehkan selama istri yang diceraikan itu
dalam masa iddah. Hal ini juga menunjukkan bahwa ia masih dalam status
istri. Penjelasan tentang masalah tersebut dapat diperhatikan pada uraian
Muhammad Jawal Mughniyyah sebagai berikut: “Sepakat ulama atas haramnya suami
melakukan aqad nikah dengan saudara istrinya sebelum habis masa iddah
istrinya tersebut apabila suami menceraikannya dengan talaq raj’i. Oleh
karenanya istri yang dalam iddah talaq raj’i tidak boleh dipinang
oleh laki-laki lain dan suami haram mengumpulkan istri yang dalam iddah
raj’i dengan saudaranya dalam aqad nikah sebelum selesai iddahnya.”
Shibhul iddah
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ada tercantum secara eksplisit yaitu
suami yang mentalaq istrinya dengan talaq raj’i, selama istrinya
menjalani masa iddah maka suami yang mentalaq tersebut belum dapat
menikah lagi dengan wanita lain sebelum wanita yang diceraikannya habis masa iddahnya
karena laki-laki (suami) tersebut masih bershibhul iddah.
Shibhul iddah
yang terjadi pada perkara Cerai Talak (CT) di mana pengadilan telah memutuskan
perkaranya suami diberi izin untuk mengikrarkan talaqnya di depan sidang
Pengadilan Agama, maka apabila suami telah menjatuhkan talaqnya namun ia masih
terkait dengan masa iddah istri yang ditalaq dengan talaq raj’i
(ic. Perkara Cerai Talak) karena bila suami rujuk masih dibenarkan hukum. Yang
berakibat terjadinya poligami tidak resmi dan dapat dikategorikan suatu
penyelundupan hukum, sedang Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 berasas monogami.
Sedangkan dasar hukum shibhul iddah bagi suami adalah shibhul
iddah dalam hukum Islam yang didapati secara tersirat dalam ayat 3 dan 23
surat an-Nisa’ di mana bagi seorang laki-laki (suami) yang ingin menikah lagi
dengan wanita lain meskipun telah diceraikan salah seorang dari istrinya yang
empat tersebut, suami tersebut bershibhul iddah dengan istri yang
ditalaqnya tersebut. Shibhul iddah seperti ini tidak didapati dalam
proses peradilan di Pengadilan Agama, akan tetapi bagi masyarakat Islam harus
memahaminya, karena hal seperti selalu tidak diperhatikan oleh umat Islam
apabila ia ingin menyatakan kehendak nikahnya, sehingga terjadi di mana-mana
penyelundupan hukum dengan terjadinya poligami liar.
Shibhul iddah
adalah seolah-olah laki-laki (suami) mempunyai masa iddah pada dirinya,
di mana ia harus menunggu iddah istrinya habis (berakhir) barulah
kemudian ia dapat melaksanakan perkawinan lagi dengan wanita lain. Misalnya,
apabila seorang suami mentalaq istrinya sedang ia mempunyai istri empat orang,
sudah tentu apabila istri yang ditalak tersebut belum habis masa iddahnya,
bearti suami tersebut masih tetap boleh merujuki istrinya, sebab ia masih
berstatus beristri empat orang, maka suami tersebut baru dapat menikah lagi
dengan wanita yang lain apabila iddah istri yang ditalaq itu telah
berakhir masa iddahnya.
[1] Amin Syarifuddin,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta:
Kencana, 2006), 320.
[2] Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2010), 324.
[3] Abdur Rohman Ghazali, Fikih Munakahat (Bogor: Prenada Media, 2003),
305-306.
[4] Ibid., 321.
[5] Ibid., 309-400.s
assalamuaaikum.
ReplyDeletesaya mau tanya perihal suami mempunyai masa iddah. apakah masa berkabung seorang suami itu diharuskan?. apa dasar hukum dalam hukum positif beserta hukum Islamnya?
wa'alaikumsalam warahmatullah
Deleteklu wajib.ny tidak..tujuan berkabung bagi suami mnurut fikih adalah untuk pengosongan rahim..klu secara adabny untuk menghormati istri yang baru dicerai ketika sedang menjalani masa iddah
kalau menanggapi surat edaran bimbaga islam EDARAN NO: D.IV/E.d/17/1979 DIRJEN BIMBAGA ISLAM MASALAH POLIGAMI DALAM MASA ‘IDDAH apakah surat edaran yang berisikan keharusan ijin poligami ketika seorang suami dalam akan melangsungkan pernikahan dalam masa iddahnya isteri yang setelah talak raj'i. menurut anda bagaimana soal surat edaran tersebut kok masih ada dilingkungan KUA ada yang menerapkan surat edaran tersebut dan ada yang tidak, mungkin sejarah, tujuan, terus implikasi dari surat edaran tersebut. mohon penjelasannya mbak. suwun
DeleteDalam Surat Edaran Point 1 dijelaskan bahwa “Bagi seorang suami yang telah menceraikan isterinya dengan talak raj'i dan mau menikah lagi dengan wanita lain sebelum habis masa iddah bekas isterinya, maka dia harus mengajukan izin poligami ke Pengadilan Agama.”
DeleteDilihat dari pengertian talak raj’i sendiri merupakan talak yang dijatuhkan oleh seorang suami kepada istri yang terhitung sebagai talak satu atau dua. Kemudian setelah dijatuhkan talak tersebut, istri wajib melakukan masa iddah. Selama dalam masa iddah, jika suami ingin memperbaiki hubungan pernikahannya, maka suami boleh menyatakan rujuk kepada istri. Jadi status perkawinannya belum terputus sepenuhnya, dan masih bisa menyatakan rujuk selama masa iddah masih berlangsung.
Sehingga jika suami ingin menikah lagi, sudah seharusnya mengajukan izin poligami.
Ketika sebuah aturan dibuat, adalah untuk memberikan hasanah kepada semua pihak. Poligami memang dibolehkan dalam Islam. Tetapi Allah telah menjelaskan di dalam surat an Nisa’ ayat 129 “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. [An-Nisa: 3].
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa dibolehkannya poligami ketika seorang laki-laki mampu berbuat adil terhadap istri-istrinya. Akan tetapi ketika masih dalam masa iddah istri yang tengah ditalak raj’i, bukankah sudah seharusnya saling menghormati dan memediasi diri masing-masing, karena pada masa talak raj’i seorang suami masih mempunyai kesempatan melakukan rujuk selama masa iddah istri.
Wallahu a’lam..itu yang bisa saya sampaikan.
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete