Proses Terjadinya Tradisi Taqlid

Artikel terkait : Proses Terjadinya Tradisi Taqlid


Pada periode Abbasiyah muncul tidak hanya aliran-aliran hukum tetapi juga merupakan akhir periode pembentukan hukum Islam. Seluruh hukum Islam telah dikembangkan dengan mendetail, prinsip kebenaran ijma’ dari ulama’ yang cenderung kepada mempersempit dan memantapkan ajaran yang telah ada. Selain itu madzhab-madzhab fiqh sudah terbukukan dengan baik sehingga para fuqaha tidak lagi mencari hukum pada Al-Qur’an dan As-Sunnah.  Pada pertengahan abad  ke-4 H/X M tatkala para ulama’ dari semua aliran merasa bahwa segala persoalan-persoalan penting  telah dibahas dan diselesaikan secara cermat, maka berkembanglah pendapat bahwa sejak itu sampai ke masa-masa selanjutnya tidak ada seorangpun yang dipandang benar-benar  mempunyai syarat untuk berijtihad dalam bidang hukum. Semua kegiatan harus terbatas pada menjelaskan, mengamalkan, dan khususnya menginterpretasikan hukum sebagaimana yang telah ditetapkan. Keadaan seperti ini dinamakan dengan “Tertutupnya Pintu Ijtihad”. Mereka hanya puas dengan jalan Taqlid dalam menetapkan suatu hukum.[1]
Yang dimaksud dengan Taqlid adalah totalitas penerimaan hukum syari’at dari seorang imam tertentu dan anggapan bahwa ketetapan itu mutlak harus diikuti oleh seseorang muqallid (orang yang bertaqlid).[2] Semangat kembali kepada sumber-sumber pokok tasyri’ dalam rangka menggali hukum dari teks Al-Qur’an dan sunnah sudah pudar dan mandek. Mereka sudah puas dengan berpegang kepada fiqh imam-imam mujtahid terdahulu yakni Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad bin Hambal. Puncak ketergantungan mereka kepada madzhab imam mujtahid , terlihat pada perkataan Abu Hasan Al-Kharakhy, seorang ulama’ pengikut madzhab Hanafi : “Tiap-tiap ayat Al-Qur’an yang bertentangan dengan apa yang dipegangi oleh sahabat kami, maka harus ditakwil atau dimansukh (dihapus/dibatalkan)”. [3]
Dalam mendeskripsikan kondisi tasyri’ di periode ini, Al Hajwi berkata : ”Tradisi taqlid telah menguasai para ulama’. Mereka sudah cukup puas hanya dengan bertaqlid. Dan kondisi ini terusberkembang, sebaliknya ijtihad kian hari semakin menghilang. Puncaknya terjadi pada pertengahan abad ke IV hijriah. Karena pada saat itu mayoritas para ulama’telah merasa puas dengan taqlid dengan mendasari fiqh mereka pada fiqh Abu Hanifah, Syafi’i, Malik, dan Ibn Hanbal. Kontribusi pemikiran imam-imam tersebut dinilai meyamai nash Al-Qur’an dan Sunnah yang tidak berani mereka tentang”.[4]
Senada dengan Al Hajwi, Faruq Abu Zaid mengatakan : “Kondisi rapuh yang menimpa dunia Islam semenjak pertengahan abad ke IV H sampai runtuhnya kekuasaan Bani Abbasiyah di Baghdad membawa dampak yang hebat bagi rapuhnya fiqh. Akibatnya tertutuplah pintu ijtihad dan terbelenggunya pemikiran. Berkembanglah kemudian semangat taqlid di kalangan pakar fiqh. Dalam menyikapi permasalahan dan fenomena masyarakat, mereka tidak lagi melakukan istinbath al-ahkam secara langsung dari sumber hukum Al-Qur’an dan Sunnah. Mereka lebih suka mengikat diri dengan pemikiran-pemikiran dan pendapat-pendapat para pendahulunya”.[5]



[1] Schacht, Joseph, 1985, Pengantar Hukum Islam, Jakarta, Departemen Agama, hal.93-94
[2] FPII, 2006, Sejarah Tasyri’ Islam, Lirboyo, hal 323
[3] Khallaf, Abdul Wahab, 2002, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, hal 113
[4] Ahmad ali ilya, Tarikh Tasyri’ wal Fiqh Islam, (Riyadh: Dar Eshbelia, 2001), 273
[5] Lihat: Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqh Islam, (Surabaya, Risalah Gusti, Cet II, 1996) 128

Artikel arinprasticha Lainnya :

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 arinprasticha | Design by Bamz