MUZARA’AH, MUKHABARAH, DAN MUSYAQQAH

Artikel terkait : MUZARA’AH, MUKHABARAH, DAN MUSYAQQAH

Fiqh Muamalah -Dalam sistem cocok tanam yaitu di bidang pertanian dan/atau perkebunan, dalam fiqh muamalah juga terdapat aturan yang menjelaskannya. Di bawah ini akan sedikit dibahas tentang sistem dan jenis kegiatan kerjasama di bidang pertanian dan/atau perkebunan sesuai dengan konsep fiqh muamalah.
image from; ksei-iqtishoduna.blogspot.co.id

MUZARA’AH DAN MUKHABARAH

A. Pengertian Muzara’ah dan Mukhabarah

            Muzara’ah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung pemilik tanah.
            Mukhabarah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakan.
           Munculnya pengertian muzara’ah dan mukhabarah dengan ta’rif yang berbeda tersebut karena adanya ulama yang membedakan antara arti muzara’ah dan mukhabarah, yaitu Imam Rafi’I berdasar dhahir nash Imam Syafi’i. Sedangkan ulama yang menyamakan ta’rif muzara’ah dan mukhabarah diantaranya Nawawi, Qadhi Abu Thayyib, Imam Jauhari, Al Bandaniji. Mengartikan sama dengan memberi ketentuan: usaha mengerjakan tanah (orang lain) yang hasilnya dibagi.  

B. Dasar Hukum Muzara’ah Dan Mukhabarah

عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيْجِ قَالَ كُنَّااَكْثَرَاْلاَنْصَارِ حَقْلاً فَكُنَّا نُكْرِىاْلاَرْضَ عَلَى اَنَّ لَنَا هَذِهِ فَرُبَمَا أَخْرَجَتْ هَذِهِ وَلَمْ تُخْرِجْ هَذِهِ فَنَهَانَاعَنْ ذَلِ

Artinya :
”Berkata Rafi’ bin Khadij: “Diantara Anshar yang paling banyak mempunyai tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagian tanah untuk mereka yang mengerjakannya, kadang sebagian tanah   itu berhasil baik dan yang lain tidak berhasil, maka oleh karenanya Raulullah SAW. Melarang paroan dengan cara demikian” (H.R. Bukhari)

عَنْ اِبْنِ عُمَرَاَنَّ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ بِشَرْطِ مَايَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ اَوْزَرْعٍ (رواه مسلم

Artinya:
Dari Ibnu Umar: “Sesungguhna Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah – buahan maupun  dari hasil pertahun (palawija)” (H.R Muslim)

C. Pendapat Ulama’  Terhadap Hukum Muzara’ah Dan Mukhabarah

Dua Hadits di atas yang dijadikan pijakan ulama untuk menuaikan kebolehan dan katidak bolehan melakukan muzara’ah dan mukhabarah. Setengah ulama melarang paroan tanah ataupun ladang beralasan pada Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari tersebut di atas.
     Ulama yang lain berpendapat tidak ada larangan untuk melakukan muzara’ah ataupun mukhabarah. Pendapat ini dikuatkan oleh Nawawi, Ibnu Mundzir, dan Khatabbi, mereka mengambil alasan Hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di atas.
      Adapun Hadits yang melarang tadi maksudnya hanya apabila ditentukan penghasilan dari sebagian tanah, mesti kepunyaan salah seorang di antara mereka. Karena memang kejadian di masa dahulu, mereka memarohkan tanah dengan syarat dia akan mengambil penghasilan dari sebagian tanah yang lebih subur keadaan inilah yang dilarang oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam Hadits yang melarang itu, karena pekerjaan demikian bukanlah dengan cara adil dan insaf. Juga pendapat ini dikuatkan orang banyak.
Imam  Hanafi dan  Jafar tidak mengakui keberadaan muzara’ah dan menganggapnya fasid. Begitu pula imam syafi’i, tapi sebagian ulama syafi’iyah mengakuinya dan mengaitkannya dengan musyaqqah (pengelolaan kebun) dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan, tetapi mereka, tidak membolehkan mukhabarah sebab tidak ada landasan yang membolehkannya. 

D. Zakat Muzara’ah dan Mukhabarah

Zakat hasil paroan sawah atau ladang ini diwajibkan atas orang yang punya benih, jadi pada muzara’ah, zakatnya wajib atas petani yang bekerja, karena pada hakekatnya dialah yang bertanam, yang punya tanah seolah – olah mengambil sewa tanahnya, sedangkan penghasilan sewaan tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Sedangkan pada mukhabarah, zakat diwajibkan atas yang punya tanah karena pada hakekatnya dialah yang bertanam, petani hanya mengambil upah bekerja. Penghasilan yang didapat dari upah tidak wajib dibayar zakatnya. Kalau benih dari keduanya, maka zakat wajib atas keduanya, diambil dari jumlah pendapatan sebelum dibagi.
Dari sini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa mukhabarah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakan.
        Dengan adanya praktik mukhabarah sangat menguntungkan kedua belah pihak. Baik pihak pemilik sawah atau ladang maupun pihak penggarap tanah. Pemilik tanah lahannya dapat digarap, sedangkan petani dapat meningkatkan tarap hidupnya.

E. Syarat dan Rukun Muzara’ah dan Mukhabarah

Syarat-syarat muzara’ah dan mukhabarah:
1. Syarat aqid
    a. Mumayyiz
    b. Islam
2. Syarat tanaman
    a.  Diserahkan kepada pekerja
3. Syarat dengan garapan
    a. Jelas
    b. Ada penyerahan tanah
    c. Memungkinkan untuk dikerjakan
4. Syarat tanaman yang dihasilkan
    a. Jelas ketika akad
    b. Ditetapkan ukuran antara keduanya
    c. Diharuskan kerja sama antar kedua orang yang berakad
    d. Hasil dari tanaman harus menyeluruh diantara para aqid
5. Tujuan akad
    a. Untuk memanfaatkan pekerja atau memanfaatkan tanah
6. Syarat-syarat alat bercocok tanam
    a. Dibolehkan menggunakan alat tradisional atau modern.

Rukun Muzara’ah dan Mukhabarah
Rukun muzara’ah dan mukhabarah adalah ijab dan qabul yang menunjukkan keridlaan di antara para aqid.

F. Penghabisan Muzara’ah dan Mukhabarah

Beberapa hal yang menyebabkan muzara’ah habis:
    a. Habisnya masa muzara’ah dan mukhabarah
    b. Salah satu aqid meninggal
    c. Adanya udzur syar’i

MUSYAQQOH

Pengertian Musyaqqah

            Musyaqqah berasal dari kata al-saqa, yakni seseorang yang bekerja mengurus pohon anggur, kurma, tamar, atau lainnya supaya mendatangkan kemaslahatan dan mendapatkan bagian tertentu dari hasil yang diurus sebagai imbalannya.
            Musyaqqah secara istilah adalah mempekerjakan manusia untuk mengurus pohon dengan menyiram dan memeliharanya serta hasil yang direzekikan Allah SWT. dari pohon itu untuk mereka berdua (pendapat Syekh Syihab ad-Din al-Qalyubi dan Syekh Umarah).

Dasar Hukum Musyaqqah

اعطى خيبر بشطر مايحرج من ثمراو زرع وفى رواية : دفع إلى اليهود خيبر وارضها على انيعملوها .من اموالهم وان لرسول الله صلى الله عليه وسلم شرطها

Artinya:
“Memberikan tanah khaibar dengan separoh dari penghasilan, baik buah-buahan  maupun pertanian (tanaman).” Pada riwayat lain dinyatakan bahwa Rasul menyerahkan tanah khaibar itu kepada Yahudi, untuk diolah dan modal dari  hartanya, penghasilan separohnya untuk Nabi.

Pandangan Ulama’ tentang Pengertian Musyaqqah

1. Abdurahman al-Jaziri, al-musyaqqah ialah : “aqad untuk pemeliharaan pohon kurma, tanaman ( pertanian ) dan yang lainya dengan syarat-syarat tertentu”.
2. Malikiyah, bahwa al-musyaqqah ialah : “sesuatu yang tumbuh”. Menurut  Malikiyah, tentang sesuatu yang tumbuh di tanah di bagi menjadi lima macam :
   a) Pohon-pohon tersebut berakar kuat (tetap) dan pohon tersebut berbuah, buah itu di petik serta pohon tersebut tetap ada dengan waktu yang lama, seperti pohon anggur dan zaitun;
    b) Pohon-pohon tersebut berakar tetap tetapi tidak berubah, seperti pohon kayu keras, karet dan jati;
  c) Pohon-pohon yang tidak berakar kuat tetapi berbuah dan dapat di petik, seperti padi dan qatsha’ah;
   d) Pohon yang tidak berakar kuat dan tidak ada buahnya yang dapat di petik, tetapi memiliki kembang
yang bermanfaat seperti bunga mawar;
   e) Pohon-pohon yang diambil hijau dan basahnya sebagai suatu manfaat, bukan buahnya, seperti tanaman hias yang ditanam dihalaman rumah dan di tempat lainya;
3. Menurut Syafi’iyah yang di maksud dengan al-musyaqqah ialah :
“Memberikan pekerjaan orang yang memiliki pohon tamar dan anggur kepada orang lain untuk kesenangan keduanya dengan menyiram, memelihara dan menjaganya dan bagi pekerja memperoleh bagian tertentu dari buah yang di hasilkan pohon-pohon tersebut”.

Syarat dan Rukun Musyaqqah

Rukun Musyaqqah;
*Dua orang yang akad
Al-aqidani  disyaratkan harus baligh dan berakal.
*Obyek musyaqqah
Adalah pohon-pohon yang berbuah.
* Buah
Disyaratkan buah ketika akad untuk kedua pihak.
Pekerjaan
 Shighat
Syarat-syarat Musyaqqah:
   1. Ahli dalam akad
   2. Menjelaskan bagian penggarap
   3. Membebaskan pemilik dari pohon
   4. Hasil dari pohon dibagi antara dua orang yang melangsungkan akad
   5. Sampai batas akhir, yakni menyeluruh sampai akhir

Hukum Musyaqah Shahih dan Fasid.

  1.
Hukum musyaqqah  shahih.
Sesuatu yang tidak berhubungan denngan buah tidak wajib dikerjakan dan tidak boleh disyaratkan.
* Sesuatu yang berkaitan dengan buah yang membekas ditanah, tidak wajib dibenahi oleh penggarap.
* Sesuatu yang berkaitan dengan buah, tetapi tidak tetap adalah kewajiban penggarap, seperti menyiram atau menyediakan alat garapan, dan lain-lain.
2.    hukum musyaqah  fasid.
a.       Pemilik tidak boleh memaksa pekerja .
b.      Semua hasil adalah hak pemilik kebun.
c.       Jika musyaqah rusak, penenggarap berhak mendapatkan upah.

Habis Waktu Musyaqah

1. Habis waktu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
2. Meninggalnya salah seorang yang akad
3. Membatalkan, baik dengan capan secara jelas atau adanya udzur
  Di antara Uzdur Yang Dapat Membatalkan Musyaqqah:
Ø  Penggarap dikenal sebagai pencuri yang dikhawatirkan akan mencuri buah-buahan yang digarapnya.
Ø  Penggarap sakit sehingga tidak dapat bekerja.

Perbedaan antara Muzara’ah dan Musyaqqah

Ulama’ Hanafiyah  berpendapat bahwa musyaqqah, sama dengan muzara’ah,  kecuali dalam empat perkara:
Seseorang yang menyepakati akad tidak  memenuhi akad, dalam musyaqah ia harus dipaksa, tetapi dalam muzara’ah ia tidak boleh dipaksa.
Jika waktu musyaqqah habis, akad diteruskan sampai berbuah tampa pemberian upah, sedangkan dalam muzara’ah, jika waktu habis, pekerjaan diteruskan dengan pemberian upah.
* Waktu dalam musyaqah ditetapkan berdasarkan istihsan, sebab dapat diketahui dengan tepat, sedangkan waktu dalam muzara’ah terkadang tidak tertentu.
* Jika pohon diminta oleh selain pemilik tanah, penggarap diberi upah. Sedangkan dalam muzara’ah jika diminta sebelum menghasilkan sesuatu penggarap tidak mendapat apa-apa.
* Ulama Syafi’iyah membedakan antara muzara’ah dan mukhabarah. Mukhabarah adalah mengelola tanah di atas sesuatu yang dihasilkannya dan benihnya  berasal dari pengelola. Adapun muzara’ah, sama seperti mukhabarah, hanya saja benihnya  berasal dari pemilik  tanah.


Footnote
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah.153
Rahmad Syafei, Fiqh Muamalah. 206
Ibid., 208
Ibid., 212
Ibid., 214
Ibid., 216
Ibid., 219

Artikel arinprasticha Lainnya :

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 arinprasticha | Design by Bamz