PROSES PERCERAIAN DALAM ISLAM

Artikel terkait : PROSES PERCERAIAN DALAM ISLAM


Proses Perceraian Menurut Fiqh
Meskipun dalam fiqh tidak ditemukan mengenai prosedur standart dalam memproses perceraian, tapi Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad saw. telah memberikan tuntunannya. Adapun tuntunan dari Kitabullah dan as-Sunnah adalah sebagai berikut:
1.         Nushuz
Menurut bahasa, nusyuz ialah membangkang. Menurut Slamet Abidin dan H. Aminuddin, nusyuz artinya durhaka. Secara istilah istri yang melakukan perbuatan yang menentang suami tanpa alasan yang diterima oleh syara’. Ia tidak menaati suaminya atau menolak diajak ke tempat tidurnya. Termasuk perbuatan nusyuz dalam kitab Fath al Mu’in disebutkan, jika istri enggan bahkan tidak mau memenuhi ajakan suami, sekalipun ia sedang sibuk mengerjakan sesuatu pekerjaan.
Beberapa perbuatan yang dilakukan istri yang termasuk nusyuz  antara lain:
a.       Istri tidak mau pindah mengikuti suami untuk menempati rumah yang disediakan sesuai dengan kemampuan suami, atau istri meninggalkan rumah tanpa seizin suami.
b.      Istri menolak ajakan suaminya untuk menetap di rumah yang telah disediakannya tanpa alasan yang pantas.
c.     Apabila istri bepergian tanpa suaminya atau mahramnya walaupun itu perjalanan wajib, seperti haji. Karena perjalanan perempuan tidak dengan suami atau mahramnya termasuk maksiat.
Apabila suami melihat bahwa istri akan berbuat hal-hal semacam itu, maka ia harus diberi nasihat dengan baik, kalau ternyata istri masih berbuat semacam itu dan meneruskan kedurhakaannya, maka suami boleh memukulnya dengan syarat tidak melukai atau meninggalkan bekas pada tubuhnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’ ayat 34 yang artinya: “....Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Berdasarkan ayat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa durhakanya sang istri (nusyuz) terdapat tiga tingkatan, yaitu:
a.         Apabila tampat tanda-tanda kedurhakaannya, suami berhak memberi nasihat kepadanya.
b.         Sesudah nyata kedurhakaannya, maka berhak berpisah tempat tidur dengannya.
c.  Kalaupun masih durhaka, suami berhak memukulnya, sebatas untuk memperingatkan kedurhakaannya. Adapun batasan memukul adalah tidak meninggalkan bekas luka di tubuh dan dilarang untuk memukul daerah muka.
2.         Syiqaq
Syiqaq berarti perselisihan atau retak. Menurut istilah fikih, syiqaq adalah perselisihan suami istri yang diselesaikan oleh seorang hakim dari pihak suami dan seorang hakim dari pihak istri.
dasar hukum syiqaq terdapat dalam surat an-Nisa’ ayat 35 yang artinya: “dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Ayat ini merupakan kelanjutan dari ayat 34 yang menerangkan cara-cara suami memberi pelajaran kepada istri yang melalaikan kewajibannya, apabila cara yang diterangkan ayat 34 telah dilakukan, namun perselisihan terus memuncak, maka suami hendaknya tidak tergesa-gesa menjatuhkan talak, melainkan mengangkat dua orang hakam yang bertindak sebagai juru damai.
3.         Hakamain
Hakam berarti juru damai. Jadi, hakamain adalah juru damai yang dikirim oleh dua belah pihak suami dan istri apabila terjadi perselisihan di antara keduanya. Dasar hukum hakamain  tercantum dalam surat an-Nisa’ ayat 35 yang artinya: “dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Para ahli fikih berbeda pendapat tentang arti hakam yang disebut pada ayat di atas. Menurut Imam Abu Hanifah, sebagian pengikut Imam Hambali, dan qaul qadim dari Imam Syafi’i, hakam ini berarti wakil atau sama halnya dengan wakil. Dengan demikian, hakam tidak boleh menjatuhkan talak kepada pihak istri sebelum menjatuhkan persetujuan dari pihak suami. Begitu pula hakam dari pihak istri, tidak boleh mengadakan khulu’  kepada pihak suami sebelum mendapat persetujuan dari pihak suami.
Menurut Imam Malik, sebagian pengikut Imam Hambali dan qaul jadid dari Imam Syafi’i, hakamain itu sebagai hakim sehingga boleh memberi keputusan sesuai dengan pendapat keduanya apakah mereka akan memberi keputusan perceraian atau memutuskan agar berdamai kembali. Dalam hal ini hakamain yang dimaksudkan adalah hakim atau pejabat pemerintah yang telah diberi wewenang untuk menangani perkara tersebut.

Proses Perceraian menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Pasal 129
            Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk itu.

Pasal 130
            Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan tersebut, dan terhadap keputusan tersebut dapat meminta upaya hukum banding dan kasasi.
Pasal 131
(1)    Pengadilan Agama yang bersangkutan mempelajari permohonan yang dimaksud Pasal 129, dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari memanggil  pemohon dan istrinya untu meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak.
(2)   Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menasehati kedua belah pihak dan ternyata cukup alasan untuk menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagi hidup rukun dalam rumah tangga. Pengadilan Agama menjatuhkan keputusannya tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talak.
(3)    Setelah keputusan mempunyai kekuatan hukum tetap, suami mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan Agama, dihadiri oleh istri atau kuasanya.
(4)     Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo 6 (enam) bulan terhitung sejak putusan Pengadilan Agama tentang izin ikrar talak baginya mempunyai kekuatan hukum tetap, maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur dan perkawinan tetap utuh.
(5) Setelah sidang penyaksian ikrar talak, Pengadilan Agama membuat penetapan tentang Terjadinya Talak rangkap empat yang merupakan bukti perceraian bagi bekas suami dan istri.
Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami untuk diadakan pencatatan. Helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan kepada suami-istri dan helai keempat disimpan oleh Pengadilan Agama.

Pasal 132
(1)   Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya mewilayahi tempat penggugat, kacuali istri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa seizin suami.
(2)  Dalam hal tergugat bertempat kediaman di luar negeri, Ketua Pengadilan Agama dapat memberitahukan gugatan tersebut kepada tergugat melaluiperwakilan Republik Indonesia setempat.

Pasal 133
(1)  Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam Pasal 116 huruf b ( salah satu pihak meninggalkan pihak lain dan tanpa selama dua tahun berturut-turut tanpa seizin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya ), dapat diajukan setelah lampau 2 (dua) tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan rumah.
(2)   Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama.

Pasal 134
  Gugatan perceraian karena alasan tersebut Pasal 116 huruf f (antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga), dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan Agama mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami-istri tersebut.

Pasal 135
            Gugatan perceraian karena alasan suami mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat sebagai dimaksud Pasal 116 huruf c, maka untuk mendapat putusan perceraian sebagai bukti, penggugat cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Pasak 136
(1) Selama berlangsungnya proses perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, Pengadilan Agama dapat mengizinkan suami-istri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah.
(2)  Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan Agama dapat:
a.         Menentukan nafkah yang harus ditanggung suami.
b.      Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami-istri atau barang-barang yang menjadi hak istri.

Pasal 137
          Gugatan perceraian gugur apabila suami atau istri meninggal dunia sebelum adanya putusan Pengadilan Agama.

Pasal 138
(1)  Setiap kali diadakan sidang Pengadilan Agama yang memeriksa gugatan perceraian, baik penggugat maupun tergugat, atau kuasa mereka akan dipanggil untuk menghadiri sidang tersebut.
(2)     Panggilan untuk menghadiri sidang sebagaimana tersebut ayat (1) dilakukan oleh petugas yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama.
(3)     Panggilan disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan. Apabila yang bersangkutan tidak dapat dijumpai, panggilan disampaikan melalu Lurah atau yang sederajat.
(4)     Panggilan sebagai yang tersebut dalam ayat (1) disampaikan dan dilakukan secara patut dan diterima oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum sidang dibuka.
(5)     Panggilan tergugat dilampiri dengan salinan surat gugatan.

Pasal 139
(1)     Apabila tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tergugat tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan pengumuman di Pengadilan Agama dan mengumumkannya melalui satu atau beberapa surat kabar atau mass media lain yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama.
(2)   Pengumuman melalui surat kabar atau surat-surat kabar atau mass media sebagaimana tersebut dalam ayat (1) dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua.
(3)   Tenggang waktu antar panggilan terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat 2 (dua) dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.
(4)     Dalam hal sudah dilakukan sebagaimana dilakukan dalam ayat (2) dan tergugat atau kuasanya tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak atau tidak beralasan.

Pasal 140
            Apabila tergugat berada dalam keadaan sebagaimana dimaksud Pasal 132 ayat (2) panggilan disampaikan melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat.

Pasal 141
(1)     Pemeriksaan, gugatan perceraian dilakukan oleh Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya berkas atau surat gugatan perceraian.
(2)   Dalam menetapkan waktu sidang gugatan perceraian perlu memperhatikan tentang waktu pemanggilan dan diterimanya panggilan tersebut oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka.
(3)   Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti tersebut Pasal 116 huruf b, sidang pemeriksaan gugatan perceraian ditetapkan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan terhitung sejak dimasukkannya gugatan perceraian pada Kepaniteraan Pengadilan Agama.

Pasal 142
(1)  Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami-istri datang sendiri atau mewakilkan kepada kuasanya.
(2)  Dalam hal suami dan istri mewakilkan untuk kepentingan pemeriksaan, Hakim dapat memerintahkan yang bersangkutan untuk hadir sendiri.

Pasal 143
(1)     Dalam pemeriksaan gugatan perceraian Hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak.
(2)   Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.
Pasal 144
            Apabila terjadi perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya perdamaian.

Pasal 145
        Apabila tidak dapat dicapai perdamaian pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.

Pasal 146
(1)     Putusan mengenai gugatan perceraian dilakukan dalam sidang terbuka.
(2)     Suatu perceraian dianggap terjad beserta akibat-akibatnya sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Pasal 147
(1)     Setelah perkara perceraian itu diputuskan, maka Panitera Pengadilan Agama manyampaikan salinan surat putusan tersebut kepada suami-istri atau kuasanya dengan menarik Kutipan Akta Nikah dari masing-masing yang bersangkutan.
(2)    Panitera Pengadilan Agama berkewajiban mengirimkan satu helai salina Putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap tanpa bermaterai kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal istri untuk diadakan pencatatan.
(3)     Panitera Pengadilan Agama mengirimkan Surat Keterangan kepada masing-masing suami-istri atau kuasanya bahwa putusan tersebut ayat (1) telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan merupakan bukti perceraian bagi suami dan bekas istri.
(4)     Panitera Pengadilan Agama membuat catatan dalam ruang yang tersedia pada Kutipan Akta Nikah yang bersangkutan bahwa mereka telah bercerai. Catatan tersebut berisi tempat terjadinya perceraian, tanggal perceraian, nomor dan tanggal surat keputusan serta tanda tangan Panitera.
(5)    Apabila Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal istri berbeda dengan Pegawai Pencatat Nikah tempat pernikahan mereka dilangsungkan, maka satu helai salinan putusan Pengadilan Agama sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikirimkan pula kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat perkawinan dilangsungkan dan bagi perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri salinan itu disampaikan kepada Pegawai Pencatat Nikah di Jakarta.
(6)     Kelalaian pengiriman salinan putusan tersebut dalam ayat (1) menjadi tanggungjawab Panitera yang bersangkutan, apabila yang demikian itu mengakibatkan kerugian bagi bekas suami atau bekas istri atau keduanya.

Pasal 148
(1)  Seorang istri yang mengajukan gugatan perceraian dengan jalan khuluk, menyampaikan permohonannya kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya disertai alasan atau alasan-alasannya.
(2)    Pengadilan Agama selambat-lambatnya satu bulan memanggil istri dan suaminya untuk didengar keterangannya masing-masing.
(3)     Dalam persidangan tersebut Pengadilan Agama memberikan penjelasan tentang akibat khuluk, dan memberikan nasihat-nasihatnya.
(4)   Setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya iwadh atau tebusan, maka Pengadilan Agama memberikan penetapan tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan Agama. Terhadap penetapan itu tidak dapat dilakukan upaya banding atau kasasi.
(5)     Penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (5).
(6)   Dalam hal tidak tercapai kesepakatan tentang besarnya tebusan atau iwadh, Pengadilan Agama memeriksa dan memutuskan sebagai perkara biasa.[1]  




[1] Departemen Agama, Bahan Penyuluhan Hukum UU No. 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama, UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, departemen Agama Republik Indonesia, 2003) 190-193.

Artikel arinprasticha Lainnya :

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 arinprasticha | Design by Bamz