PERWALIAN ANAK

Artikel terkait : PERWALIAN ANAK


Anak merupakan pilar utama dalam pembangunan suatu bangsa, karena anak merupakan generasi penerus dari orang tuanya. Oleh karena itu, anak harus dilindungi, diawasi, dan diberi perlindungan dengan sebaik-baiknya agar anak tersebut bisa tumbuh dan berkembang dengan baik demi terciptanya suatu negara yang baik dan bermartabat apabila anak tersebut menjadi seorang pemimpin.
Untuk menumbuhkembangkan anak dengan baik, seorang anak memerlukan orang yang sanggup untuk mendidiknya dan memberi perlindungan terhadap anak agar dapat tumbuh dan berkembang dengan semestinya. Faktor utama yang harus dilindungi oleh orang yang mengasuh anak adalah faktor lingkungan, karena faktor lingkunganlah yang sangat menentukan baik atau tidaknya perkembangan anak. Anak akan baik apabila dijauhkan dari lingkungan yang buruk, dan begitu juga sebaliknya, anak akan tumbuh baik apabila hidup di lingkungan yang baik pula.
Di samping itu anak yang belum dewasa atau di bawah umur, belum mampu mengatur dirinya sendiri apalagi harta yang dimiliki. Oleh karena itu seorang anak sangat membutuhkan wali yang mampu mengurus diri anak tersebut serta segala sesuatu yang berhubungan dengannya baik harta, maupun pendidikannya. Namun apakah sebenarnya wali itu? Siapa saja yang berhak memperoleh perwalian? Serta apa saja yang menjadi tanggung jawab wali? Semua akan dibahas sebagai berikut.

Pengertian Perwalian Anak
Perwalian dalam arti umum yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan wali, yang mana arti wali di antaranya:
1.  Orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi kewajiban mengurus anak yatim serta hartanya sebelum anak itu dewasa.
2.  Pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki)
3.    Orang saleh (suci), penyebar agama.
4.    Kepala pemerintah, dan sebagainya.
Arti-arti tersebut disesuaikan pemakaiannya dengan konteks kalimat. Adapun yang dimaksud “Perwalian” di sini yaitu pemeliharaan dan pengawasan anak yatim dan hartanya. Menurut Muhammad Jawad Mughniyyah, pemeliharaan dan pengawasan itu bukan hanya untuk anak yatim saja, tetapi juga berlaku untuk orang gila, anak yang masih kecil, safih (idiot).
Sedangkan dalam Hukum Perdata, perwalian adalah pengawasan terhadap anak di bawah umur yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut sebagaimana diatur undang-undang.[1]
Perwalian merupakan kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua yang masih hidup namun tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Oleh karena itu, wali adalah orang yang diberikan kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum, berdasarkan firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 282 yang artinya “...jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah keadaannya atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur...”

Perbedaan Ulama tentang Perwalian Anak
Para ulama madhhab sepakat bahwa wali anak kecil adalah ayahnya, sedangkan ibunya tidak mempunyai perwalian, kecuali menurut pendapat sebagian ulama Syafi’iyyah.
Ulama juga berbeda pendapat tentang wali yang bukan ayah. Menurut Hambali dan Maliki, wali sedudah ayah adalah orang yang menerima wasiat dari ayah. Kalau ayah tidak mempunyai orang yang diwasiati, maka perwalian jatuh ke tangan hakim syar’i. Sedangkan kakek sama sekali tidak punya hak dan perwalian. Sebab kake menurut mereka tidak bisa menggantikan posisi ayah. Kalau posisi kakek dari pihak ayah sedah seperti itu, apalagi kakek dari pihak ibu.
Imam Hanafi mengatakan, “Para wali sesudah ayah adalah orang yang menerima wasiat dari ayah. Sesudah itu, kakek dari pihak ayah, lalu orang yang menerima wasiat darinya, dan kalau tidak ada, maka perwalian jatuh ke tangan hakim.”
Imam Syafi’i mengatakan, “Perwalian beralih dari ayah kepada kakek, dan dari kakek kepada orang yang menerima wasiat dari ayah. Seterusnya, perwalian beralih kepada penerima wasiat dari ayah, lalu kepada penerima wasiat dari kakek, dan sesudah itu kepada hakim.”
Imamiyyah mengatakan, “Perwalian, pertama-tama berada di tangan ayah dan kakek (dari pihak ayah) dalam derajad yang sama, di mana masing-masing mereka berdua berhak bertindak sebagai wali secara mandiri tanpa terikat oleh yang lain. Yang mana di antara keduanya yang lebih dulu bertindak sebagai wali maka dialah yang dinyatakan sebagai wali anak itu, sepanjang ia bisa melakukan kewajibannya sebagai wali. Akan tetapi, bila terjadi bersamaan, maka yang didahulukan adalah kakek, sedangkan bila tidak ada ayah dan kakek, perwalian jatuh ke tangan orang yang menerima wasiat dari ayah seorang di antara keduanya. Dalam hal ini kakek didahulukan dari penerima wasiat dari ayah. Bila tidak ada ayah, kakek, dan tidak pula terdapat penerima wasiat kedua orang tersebut, perwalian jatuh ke tangan hakim syar’i.”[2]

Syarat Wali
Ulama madhhab sepakat bahwa wali dan orang-orang yang menerima wasiat untuk menjadi wali, dipersyaratkan harus baligh, mengerti, dan seagama, bahkan di antara mereka yang mensyaratkan bahwa wali harus adil, sekalipun ayah dari kakek.
Para ulama madhhab sepakat bahwa tindakan hukum yang dilakukan wali atas harta orang yang berada di bawah perwaliannya dinyatakan sah selama hal itu mendatangkan tindakan hukum orang yang berada di bawah perwaliannya, sedangkan tindakan hukum yang menimbulkan madharat tidak dianggap sah.

Perwalian Anak dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Mengenai perwalian anak, juga dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam pada bab XV pasal 107 sampai dengan pasal 112.
Pasal 107
(1)    Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
(2)      Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaannya.
(3)    Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya, maka Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindak sebagai wali atas permohonan kerabat tersebut.
(4)      Wali sedapat-dapatnnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, jujur, adil, dan berkelakuan baik, atau badan hukum.

Pasal 108
Orang tua dapat mewasiatkan kepada seseorang atau badan hukum  untuk melakukan perwalian atas diri dan kekayaan anak atau anak-anaknya sesudah ia meninggal dunia.

Pasal 109
Pengadilan Agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atau badan hukum dan memindahkan kepada pihak lain atas permohonan kerabatnya bila wali tersebut pemabuk, penjudi, pemboros, gila dan atau melalaikan atau menyalah gunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi kepentingan orang yang berada di bawah perwalian.

Pasal 110
(1)   Wali berkewajiban mengurus diri dan harta orang yang berada di bawah perwaliannya dengan sebaik-baiknya dan berkewajiban memberikan bimbingan agama, pendidikan dan keterampilan lainnya untuk masa depan orang yang berada di bawah perwaliannya.
(2) Wali dilarang mengikatkan, membebani, dan mangasingkan orang yang berada di bawah perwaliannya, kecuali bila perbuatan tersebut menguntungkan bagi orang yang berada di bawah perwaliannya atau merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan.
(3)   Wali bertanggungjawab terhadap harta orang yang berada di bawah perwaliannya, dan mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya.
(4)   Dengan tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam Pasal 51 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, pertanggungjawaban wali tersebut ayat (3) harus dibuktikan dengan pembukuan yang ditutup tiap satu tahun sekali.

Pasal 111
(1)    Wali berkewajiban menyerahkan seluruh harta orang yang berada di bawah perwaliannya, bila yang bersangkutan telah mencapai umur 21 tahun atau kawin.
(2)   Apabila perwalian telah berakhir, maka Pengadilan Agama berwenang mengadili perselisihan antara wali dan orang yang berada di bawah perwaliannya tentang harta yang diserahkan kepadanya.
Pasal 112
Wali dapat mempergunakan harta orang yang berada di bawah perwaliannya sepanjang diperlukan untuk kepentingannya menurut kepatutan atau bil ma’ruf kalau wali itu fakir.[3]



[1] Beni Ahmad Saebani, Fiqih Munakahat 2 (Bandung: Pustaka Setia, 2001), 192.
[2] H. M. A tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), 207-209.
[3] Dadan Muttaqien, dkk, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata hukum Indonesia (Yogyakarta: UII Press, 1999), 279-280.



Artikel arinprasticha Lainnya :

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 arinprasticha | Design by Bamz