PEMBAGIAN WARIS SECARA DAMAI
Warisan merupakan harta yang
ditinggalkan oleh seseorang yang telah meninggal kepada keluarganya. Di dalam
Islam, konsep pembagian harta waris telah di atur dalam sebuah bidang ilmu yang
disebut al-faraidh, yang mana ketentuan-ketentuan bagian harta terhadap
ahli waris telah ditentukan besarnya/ takarannya yang berdasarkan pada konsep
keadilan dalam Islam.
Akan tetapi, terhadap besaran/
takaran jumlah bagian harta yang diterima, kadangkala menimbulkan rasa tidak
keadilan terhadap pihak ahli waris. Sehingga akibat daripada hal tersebut, bisa
menimbulkan permasalahan terhadap antar ahli waris dan keluarga.
Untuk mengatasi persoalan seperti
ini, maka disiplin ilmu hukum Islam tentang pembagian harta waris, menyatakan
warisan bisa dibagi dengan cara damai bersama seluruh pihak ahli waris yang
bersangkutan. Adapun bagaimana penjelansannya, akan diuraikan sebagai berikut.
Pembagian Waris secara Damai Perspektif Fiqh
Al-takharruj pada
prinsipnya merupakan salah satu bentuk pembagian harta warisan secara damai
berdasarkan musyawarah antara para ahli waris. Al-takharruj adalah
pengunduran diri seorang ahli waris dari hak yang dimilikinya, dan hanya
meminta imbalan berupa sejumlah uang atau barang tertentu dari salah seorang
ahli waris lainnya.
Al-takharruj merupakan perjanjian yang diadakan antara para ahli waris untuk
mengundurkan diri atau membatalkan diri dari hak warisnya dengan suatu
pernyataan resmi (kuat) dan dilakukan dengan ikhlas, sukarela dan tanpa
paksaan.
Jadi, al-takharruj adalah
suatu perjanjian damai antar para ahli waris atas keluarnya atau mundurnya
salah seorang ahli waris atau sebagian ahli waris untuk tidak menerima hak
bagiannya dari harta warisan peninggalan pewaris dengan syarat mendapat imbalan
tertentu berupa sejumlah uang atau barang dari ahli waris lain.
Pembagian Waris Secara Damai menurut Kompilasi Hukum Islam
Pada Kompilasi Hukum Islam pasal 183, pembagian warisan dapat
diselesaikan dengan cara perdamaian setelah masing-masing ahli waris menyadari
bagiannya. Pasal 183 tersebut berbunyi:
“Para ahli waris apat bersepakat melakukan perdamaian dalam
pembagian harta warisan setelah masing-masing menyadari bagiannya.”
Pasal tersebut
menampung kebiasaan dalam masyarakat yang sering membagi harta warisan atas
dasar kesepakatan atau perdamaian. Boleh jadi, praktik semacam ini banyak
dilakukan sebagian masyarakat yang lebih menempatkan kerukunan keluarga sebagai
sesuatu yang diutamakan.
Teknis pelaksanaannya dapat dibagi
menurut ketentuan hukum kewarisan terlebih dahulu, setelah di antara mereka
berdamai dan membagi harta warisan tersebut berdasarkan keperluan atau kondisi
masing-masing ahli waris.
Praktik Pembagian Waris secara Damai
Pembagian warisan
merupakan perwujudan dari budaya “Badamai” dalam adat Banjar. Dalam pembagian
harta waris adat Badamai ini diwujudkan
dari pola pembagian waris secara faraidh dan ishlah.
a. a.
Faraidh
- ishlah
Dalam pola ini
akan dilakukan pembagian menurut faraid atau hukum waris Islam, setelah
itu dilakukan pembagian dengan cara musyawarah mufakat atau ishlah.
Dengan pola
ini, “Tuan Guru” memperhitungkan siapa saja yang mendapat warisan, dan berapa
besar bagian masing-masing ahli waris tersebut. Setelah Tuan Guru menentukan
siapa yang menjadi ahli waris atau penerima waris lainnya, berdasarkan wasiat
atau hibah wasiat, dari mereka sudah mengetahui besarnya bagian harta warisan
yang akan diterima, kemudian mereka menyatakan untuk menerimanya. Setelah itu
mereka ishlah sepakat untuk memberikan harta wasiat yang merupakan
bagian kepada ahli waris lainnya.
Dalam kerangka ishlah
inilah seorang ahli waris yang seharusnya mendapat bagian waris sesuai
ketentuan syari’at islam, akhirnya mendapat harta waris sesuai kesepakatan.
Dengan cara ishlah
tersebut mereka sudah merasa telah melaksanakan ketentuan norma yang ditetapkan
agama, karena pembagian menurut faraid (Hukum Waris Islam) telah mereka
lakukan, walaupun kemudian atas kerelaan masing-masing, membagi kembali bagian
waris tersebut sesuai kesepakatan.
Berdasarkan
pada ishlah ini kemashlahatan keluarga ahli warisnya menjadi
pertimbangan utama. Artinya seorang ahli waris yang menurut faraid
mendapat bagian lebih besar, akan sama kehidupan ekonominya, dan pada akhirnya
akan sukses mendapat bagian harta waris lebih sedikit atau bahkan tidak
mendapat bagian sama sekali.
b. Ishlah
Pola ini
dilakukan hanya dengan cara musyawarah mufakat atau tanpa melalui proses
perhitungan faraid terlebih dahulu. Dalam masalah ini ahli waris
bermusyawarah menentukan besarnya bagian masing-masing. Pertimbangan besarnya
bagian masing-masing adalah kondisi objektif ahli waris dan penerima waris
lainnya. Oleh karena itu bagian yang diterima oleh masing-masing ahli waris
sangat bervariatif tidak memakai prosentasi dan ukuran tertentu.
Proses
pembagian waris pada pola ishlah, terlihat adanya kekhawatiran ahli
waris tidak melaksanakan syari’at agama Islam, sebab rasa keberagaman mereka
menjadi taruhan utama dalam kehidupannya. Dalam melaksanakan pembagian waris
yang menggunakan faraid-ishlah mereka merasa sudah melaksanakan syari’at
agama, walaupun kemudian mereka memilih untuk melakukan ishlah agar
pembagian tersebut dapat menyentuh aspek kemashlahatan keluarga. Sedang
pembagian waris yang hanya dengan menggunakan cara ishlah, mereka
beranggap lembaga “Ishlah” ini juga dibenarkan oleh syari’at Islam. Karena
masalah warisan adalah masalah muamalah yang pelaksanaannya diserahkan kepada
umat.
Praktik
pembagian waris dengan pola ishlah ini telah diakomodir dalam pasal 183
Kompilasi Hukum Islam yaitu “para ahli waris dapat bersepakat melakukan
perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari
bagiannya.”
Pembagian Harta Warisan secara Sama-Sama (Kolektif)
Pembagian harta
peninggalan adalah merupakan suatu perbuatan dari pada ahli waris bersama-sama.
Serta pembagian itu diselenggarakan dengan permufakatan atau atas kehendak bersama
dari pada ahli waris.
Apabila harta
peninggalan dibagi-bagi antara para ahli waris, maka pembagian itu biasanya
berjalan secara rukun, di dalam suasana ramah tamah dengan memperhatikan
keadaan istimewa dari tiap-tiap warisan. Pembagian atas dasar kerukunan.
Di dalam menjalankan kerukunan itu
semua pihak mengetahui haknya masing-masing menurut hukum, sehingga mereka
mengetahui juga apabila ada pembagian yang menyimpang serta seberapa jauh
penyimpangan tersebut dari peraturan-peraturan hukum. Atas persetujuan semua
pihak, tiap pembagian yang menyimpang dari peraturan hukum dapat
diselenggarakan dan pelaksanaannya mengikat semua pihak yang telah bersepakat
itu.
Pembagian harta peninggalan yang
dijalankan atas dasar kerukunan, biasanya terjadi dengan penuh pengetahuan,
bahwa semua anak, baik laki-laki maupun perempuan, pada dasarnya mempunyai hak
sama atas harta peninggalan orang tuanya.
Pembagian harta warisan secara
sama-sama terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 188 yang berbunyi: “Para
ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan
permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta warisan.
Bila ada di antara ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang
bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan
pembagian waris.”
SEMOGA BERMANFAAT :)
0 komentar:
Post a Comment