Pemikiran Ekonomi Islam > Fase Pertama
Kontribusi kaum Muslim sangat
besar terhadap kelangsungan dan
perkembangan pemikiran ekonomi dan peradaban dunia. Berkaitan dengan
hal ini, Shiddiqi menguraikan perkembangan pemikiran ekonomi Islam ke dalam
tiga fase
Merupakan fase abad awal sampai dengan abad
ke-5 H atau abad ke-11 M yang dikenal sebagai fase dasar-dasar ekonomi Islam
yang dirintis para fuqaha, diikuti para sufi dan para filosuf.
a.
Zaid bin Ali (80-120 H/699-738M)
Zaid bin
Ali berpandangan bahwa penjualan barang secara
kredit dengan harga yang lebih tinggi daripada harga tunai merupakan salah satu
bentuk transaksi yang sah dan dapat dibenarkan selama transaksi tersebut
dilandasi oleh prinsip saling ridla antar kedua belah pihak. Keuntungan yang
diperoleh pedagang yang menjual secara kredit
merupakan sebuah bentuk kompensasi atas kemudahan yang diperoleh seseorang
dalam membeli suatu barang tanpa harus membayar secara tunai.
b.
Abu Hanifa (80-150 H/699-767 M).
Kesibukan Abu Hanifah
terutama dalam kegiatan perdagangan, ia terkenal sangat jujur. Abu Hanifah menyumbangkan
beberapa konsep ekonomi. Salah satunya adalah salam, yaitu memuat barang
yang akan dikirimkan kemudian pembayarannya dilakukan secara tunai ada waktu
kontrak disepakati. Salah satu kebijakan
Abu Hanifah adalah menghilangkan ambiguitas dan perselisihan dalam masalah
transaksi. Hal ini merupakan salah satu
tujuan syari’ah dalam hubungannya dengan jual-beli. Contohnya, murabaha,
yaitu penundaan dengan suatu persentase penaikan harga yang disepakati terhadap
harga pembelian. Selain
itu beliau tidak memperbolehkan pembagian hasil
panen (muzara’ah) dalam kasus
tanah yang tidak menghasilkan apapun. Hal ini dilakukan untuk melindungi
para penggarap yang umumnya orang lemah.
c.
Abu Yusuf (113-182 H/ 731-798 M)
Landasan pemikirannya adalah
mewujudkan al-maslahah al-‘ammah.[1]
Kekuatan utama pemikiran Abu Yusuf adalah dalam masalah keuangan public. Dengan
daya observasi dan analisisnya yang tinggi, Abu Yusuf menguraikan masalah
keuangan dan menunjukkan beberapa kebijakan yang harus diadopsi untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
Ia menolak tegas pajak
pertanian dan menekankan pentingnya pengawasan yang ketat terhadap
para pemungut pajak untuk menghindari korupsi
dan tindak penindasan. Selain itu menurut Abu Yusuf tentang pengadaan
barang-barang public muncul dalam teori konvensional tentang keuangan public.
Teori konvensional mengilustrasikan bahwa barang-barang sosial yang bersifat
umum harus disediakan secara umum oleh Negara dan dibiayai oleh kebijakan
anggaran. Akan tetapi, jika manfaat barang-barang public tersebut diinternalisasi dan dikonsumsi
secara berlawanan yang mungkin dapat menghalangi pihak lain dalam memanfaatkan
proyek tersebut, biaya akan dikenakan secara langsung.
d.
Muhammad bin Hasan As Syaibani (132-189H/750-804M)
As Syaibani
mengklasifikasikan jenis pekerjaan ke dalam empat hal, yakni ijarah
(sewa-menyewa), tijarah (perdagangan), zira’ah (pertanian), dan shina’ah
(industri). Cukup menarik untuk dicatat bahwa ia menilai pertanian sebagai
lapangan pekerjaan yang terbaik , padahal masyarakat Arab pada saat itu lebih
tertarik untuk berdagang dan berniaga.
e.
Ibnu Maskawaih (330-421 H/940-1030 M)
Salah satu pandangan Ibnu Maskawaih yang
terkait dengan aktifitas ekonomi adalah tentang pertukaran dan peranan uang. Ia menyatakan bahwa manusia adalah
makhluk sosial dan tidak bisa hdup sendiri. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,
manusia harus bekerja sama dan saling membantu dengan sesamanya. Oleh karena
itu, mereka akan saling mengambil dan
memberi. Konsekwensinya mereka
akan menuntut suatu kompensasi yang pantas.
0 komentar:
Post a Comment