Fenomena Gratifikasi

Artikel terkait : Fenomena Gratifikasi


A.      Pengertian Gratifikasi
Menurut UU Nomor 20 Tahun 2001 Pasal 12B ayat (1) yang dimaksud dengan gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian biaya tambahan (fee), uang, barang, rabat (diskon), komisi pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.[1]
Terkait dengan gratifikasi perlu adanya pembedaan. Ada gratifikasi yang diberikan oleh pemberinya karena terkait dengan jabatan penerimanya, baik untuk menyelesaikan urusan pada saat itu maupun pada masa yang akan datang. Statusnya sama dengan suap. Ada juga gratifikasi yang diberikan oleh pemberinya sama sekali tidak terkait dengan jabatan penerimanya tetapi karena hubungan kekerabatan atau pertemanan yang lazim saling memberi hadiah.

B.     Gratifikasi Perspektif Fikih
Masa sekarang ini gratifikasi sering disebut sebagai uang suap atau dalam bahasa Arab dinamakan rishwah yang diartikan sebagai “sesuatu yang diberikan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan atau sesuatu yang diberikan dalam rangka membenarkan yang batil/salah atau menyalahkan yang benar.[2] Dalam syariat islam, perkara suap-menyuap ini ini sangat ditentang dan diancam dengan ancaman yang mengerikan, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam , beliau bersabda :
لعنة الله على الراشي والمرتشي
“Allah melaknat orang yang memberi suap, & yang menerima suap” (HR. Ahmad & selainnya dari Abdullah bin Amr’ Rhadiyallahu ‘anhuma , Dishohihkan Al-Albani dlm Shohihul Jami’ 5114 & dlm kitab-kitab beliau lainnya)”[3]
Perbuatan risywah disepakati oleh para ulama’ adalah haram, khususnya risywah yang terdapat unsur membenarkan yang salah dan menyalahkan yang harusnya benar. Akan tetapi para ulama’ menganggap halal sebuah bentuk suap yang dilakukan dalam rangka menuntut atau memperjuangkan hak yang mestinya diterima oleh pihak pemberi suap atau dalam rangka menolak kedzaliman, kemadaratan, dan ketidakadilan.
Akan tetapi dalam bentuk seperti inipun, suap tetap tidak baik tetap dilakukan apalagi dalam suasana bangsa Indonesia yang sedang berusaha keras memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme, jelas justru akan sangat rentan. Sebab orang pati akan berupaya mencari celah dan alasan agar bisa mendapat hak atau supaya selamat dari ketidakadilan dan kedzaliman. Sehingga akhirnya ia melakukan penyuapan kepada pejabat atau kepada pihak yang berwenang.[4] 
Kembali ke hukum syariatnya, benarkah pemberian kepada pagawai adalah sesuatu yang diperbolehkan untuk diterima ??
Telah datang hadits dari Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim :
حَدِيْثُ أَبِيْ حُمَيْدِ السَّاعِدِيِّ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِسْتَعْمَلَ عَامِلاً فَجَاءَهُ الْعَامِلُ حِيْنَ فَرَغَ مِنْ عَمَلِهِ فَقَالَ: يَارَسُوْلَ اللهِ هـذَا لَكُمْ وهـذَا أُهْدِيَ لِيْ. فَقَالَ لَهُ: أَفَلاَ قَعَدْتَ فِى بَيْتِ أَبِيْكَ هُوَ أَهْلُهُ، ثُمَّ قَالَ: أَمَّا بَعْدُ، فَمَا بَالُ الْعَامِلِ نَسْتَعْمِلُهُ فَيَأْتِـيْنَا فَيَقُوْلُ: هـذَا مِنْ عَمَلِكُمْ وَهـذَا أُهْدِيَ لِيْ أَفَلاَ قَعَدَ فِيْ بَيْتِ أَبِيْهِ وَأُمِّهِ فَنَظَرَ هَلْ يُهْدَى لَهُ أَمْ لاَ؟ فَوَ الَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَيَغُلُّ أَحَدُكُمْ مِنْهَا شَيْـأً إِلاَّ جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى عُنُقِهِ إِنْ كَانَ بَعِيْرًا جَاءَ بِهِ لَهُ رُغَاءٌ وَإِنْ كَانَتْ بَقَرَةً جَاءَ بِهَا خُوْارٌ وَإِنْ كَانَتْ شَاةً جَاءَ بِهَا تَيْعَرُ فَقَدْ بَلَّغْتُ فَقَالَ أَبُوْ حُمَيْدٍ: ثُمَّ رَفَعَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَهُ حَتَّى إِنَّا لَنَنْظُرُ إِلَى عُفْرَةِ إِبْطَيْهِوَأُمِّكَ  فَنَظَرْتَ أَيُهْدَى لَكَ أَمْ لاَ ؟ ثُمَّ قَامَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشِيَّةً بَعْدَ الصَّلاَةِ فَتَشَهَّدَ وَأَثْنَى عَلَى اللهِ بِمَا
 Abu Humaidi Assa’idy  Radiyallahu ‘anhu . berkata, “Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam . mengangkat seorang pegawai untuk menerima sedekah/zakat kemudian sesudah selesai, ia datang kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam . dan berkata, “Ini untukmu dan yang ini untuk hadiah yang diberikan orang padaku.” Maka Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam . bersabda kepadanya, “Mengapakah engkau tidak duduk saja di rumah ayah atau ibumu apakah diberi hadiah atau tidak (oleh orang)?” Kemudian sesudah shalat, Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam . berdiri, setelah tasyahud dan memuji Allah selayaknya, lalu bersabda. “Amma ba’du, mengapakah seorang pegawai yang diserahi amal, kemudian ia datang lalu berkata, “Ini hasil untuk kamu dan ini aku berikan hadiah, mengapa ia tidak duduk saja di rumah ayah atau ibunya untuk menunggu apakah ia diberi hadiah atau tidak?. Demi Allah yang jiwa Muhammad di tangan-Nya tiada seorang yang menyembunyikan sesuatu (korupsi), melainkan ia akan menghadap di hari kiamat memikul di atas lehernya. Jika berupa unta bersuara, atau lembu yang menguak atau kambing yang mengembik, maka sungguh aku telah menyampaikan.” Abu Humaidi berkata, “kemudian Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam ., mengangkat kedua tangannya sehingga aku dapat melihat putih kedua ketiaknya.”[5]
Dan sebagai tambahan untuk penguat hati yang masih ragu, sebuah hadits Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam tentang hadiah bagi para pegawai, beliau  bersabda :
هدايا العمال غلول
“Hadiah untuk pegawai adalah khianat” (HR. Ahmad & Baihaqi dari Abu Humaidi Assa’idy  Rhadiyallahu ‘anhu , di shohihkan Al-Albani dalam Shohihul Jami’ No. 7021)
Maka bagi orang-orang yang beriman, hendaknya taat & tunduk dengan apa-apa yang telah diperintahkan oleh Allah & RasulNya, jangan lagi mencari pembenaran-pembenaran untuk mengikuti hawa nafsunya. Allah berfirman :
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin & tak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah & Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. & Barang siapa mendurhakai Allah & Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab : 36).
C.     Status Hukum Gratifikasi
Pada masa sekarang ini, gratifikasi berkaitan atau sama dengan hadiah yang diberikan kepada pejabat publik yang merupakan harta yang diberikan pihak yang berkepentingan (shahib al-mashlahah), bukan sebagai imbalan karena urusannya terselesaikan, tetapi karena pejabat publik itulah orang yang secara langsung menyelesaikan urusannya, atau dengan bantuannya urusan tersebut terselesaikan. Apakah hadiah diberikan karena keinginan untuk menyelesaikan urusan tertentu, setelah urusan selesai, atau pada saatnya ketika dibutuhkan, pada konteks ini hadiah kepada pejabat publik tersebut statusnya sama dengan suap (risywah). Dengan kata lain, jika hadiah datang karena jabatan, hukumnya haram. Namun, jika hadiah datang bukan karena jabatan, tetapi karena hubungan kekerabatan atau pertemanan yang lazim saling memberi hadiah, gratifikasi seperti ini hukumnya halal. Inilah yang dinyatakan baik oleh al-Sarakhsi maupun mayoritas ulama.
Dalam fikih ada penegasan, apabila status gratifikasi haram, dilaporkan atau tidak kepada negara, statusnya tetap haram. Ketentuan fikih ini agaknya berbeda dengan yang dinyatakan dalam UU No 20 Tahun 2001. Menurut UU ini, setiap gratifikasi yang diperoleh pegawai negeri atau penyelenggara negara adalah suap, tetapi ketentuan yang sama tidak berlaku jika penerima melaporkan gratifikasi itu ke KPK paling lambat 30 hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi diterima. Ketentuan UU ini tampaknya kalah tegas dibanding pemikiran fikih sehingga dikhawatirkan justru terkesan melegalkan praktik suap dan hadiah yang diharamkan.
Dalam fikih terdapat metode yang dinamakan sadd al-dzari’ah, yaitu upaya preventif agar tidak terjadi sesuatu yang menimbulkan dampak negatif. Hukum Islam tidak hanya mengatur perilaku manusia yang sudah dilakukan, tetapi juga yang belum dilakukan. Hal ini selajur dengan salah satu tujuan hukum Islam, yakni mewujudkan kemaslahatan dan menghindari kerusakan (mafsadah). Penekanannya pada ”akibat dari perbuatan” tanpa harus melihat motif dan niat si pelaku. Jika akibat atau dampak yang terjadi dari suatu perbuatan adalah sesuatu yang dilarang atau mafsadah, perbuatan itu jelas harus dicegah. Artinya, jika suatu perbuatan yang belum dilakukan diduga keras akan menimbulkan kerusakan (mafsadah), dilaranglah hal-hal yang mengarahkan pada perbuatan itu.[6]


[1] Tim New Merah Putih, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, (Yogyakarta: Percetakan Galang Press, 2008), 155.
[2] Muhammad Nurul Irfan, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Dalam Perspektif Fikih Jinayah, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen RI, 2009), 106.
[4] Muhammad Nurul Irfan, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Dalam Perspektif Fikih Jinayah, 112.

Artikel arinprasticha Lainnya :

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 arinprasticha | Design by Bamz