Tahapan Pengharaman Riba
A. Surat Al-Imran : 130
1. Teks
dan Terjemahan Ayat
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا
مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya
: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat
ganda dan bertakwalah pada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”[1]
لَا تَأْكُلُوا
Janganlah
kamu memakan
|
آَمَنُوا
Yang
beriman
|
الَّذِينَ
Orang-orang
|
يَا أَيُّهَا
Hai
|
اللَّهَ
Kepada
Allah
|
وَاتَّقُوا
Dan
bertaqwalah
|
أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً
Berlipat
ganda
|
الرِّبَا
Riba
|
تُفْلِحُونَ
Mendapat
keberuntungan
|
لَعَلَّكُمْ
Semoga
kamu
|
2. Tafsir al-Mufradat
Adh‘afan Mudha’afah
: dua kali lipat. Lipatan satu adalah satu sebab, bila ditambahkan padanya maka
menjadi dua. Bila engkau melipatkan sesuatu, berarti engkau memberikan padanya
satu kali, baik sekali atau lebih banyak lagi. Dan pengertian berlipat ganda
ini modalnya saja, seperti yang lazim terjadi sekarang.Yaitu seseorang meminjam
seratus rupiah dan harus mengembalikan tiga ratus rupiah.
Wa’t-Taqu’l-Laha :
jadikanlah taqwa itu sebagai tameng bagi diri kamu dari siksa-Nya.[2]
3. Asbab an-Nuzul
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa terdapat
orang-orang yang berjual beli dengan kredit (dengan bayaran berjangka waktu). Apabila
telah tiba waktu pembayaran dan tidak mampu membayar, bertambahlah bunganya,
dan ditambahkan pula waktu pembayarannya. Maka turunlah ayat tersebut di atas
sebagai larangan atas perbuatan itu.(Diriwayatkan oleh al Faryabi yang
bersumber dari mujahid).
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa di jaman
Jahiliyah, Tsaqif berhutang kepada Bani Nadzir. Ketika telah tiba waktu
membayar, Tsaqif berkata “Kami bayar bunganya dan kami undur waktu
pembayarannya”. Maka turunlah ayat tersebut sebagai larangan atas perbuatan
itu. (Diriwayatkan oleh al Faryabi yang bersumber dari ‘’Atha).[3]
4. Kandungan
Ayat
Ayat di atas dimulai dengan panggilan kepada
orang-orang yang beriman, disusul dengan larangan memakan riba. Dimulainya
demikian, memberi isyarat bahwa bukanlah sifat dan kelakuan orang yang beriman
memakan yakni mencari dan menggunakan uang yang diperolehnya dari praktek riba.
Riba atau kelebihan yang dilarang oleh ayat di atas,
adalah yang sifatnya adh’afanmudha’afah.Kata adh’afan adalah
bentuk jama’ dari dhi’f yang berarti “serupa”, sehingga yang satu
menjadi dua. Dhi’fain adalah bentuk dual, sehingga jika anda mempunyai
dua maka menjadi empat, adh’afan adalah berlipat ganda. Memang demikian
itulah kebiasaan orang Jahiliyah. Jika seseorang tidak mampu membayar utangnya,
ia ditawari atau menawarkan penangguhan pembayaran, dan sebagai imbalan
penangguhan itu, ia-pada saatnya-ketika membayar hutangnya, membayar dengan
berlipat ganda.[4]
Secara
global, macam-macam riba ada dua yaitu :
a. Riba Nasi’ah yaitu memberikan
sejumlah hutang yang akan dibayar dalam jangka waktu tertentu dengan syarat membayar
tambahan (bunga), sebagai ganti waktu pemakaian hutang tersebut. Ini adalah
riba yang terkenal pada masa Jahiliyah. Jadi, manakala masa pembayaran
ditangguhkan, makin bertambah jumlah hutangnya.[5]
Melakukan mu’amalah
seperti ini, berarti melakukan dosa besar. Bahkan, di dalam hadits Nabi
dinyatakan “Semoga Allah melaknat pemakan riba, wakilnya, penulisnya, dan
saksinya.”
b. Riba Fadhal, misalnya, seseorang
yang menjual sebuah perhiasan emas berbentuk gelang dengan harga yang melebihi
timbangannya. Dan sebagai barternya,adalah uang dinar (uang emas). Atau,
seseorang menjual satu kilo kurma yang baik dengan jelek. Sekalipun kedua belah
pihak saling merelakan lantaran kedua belah pihak saling membutuhkan satu sama
lain.
Riba
jenis ini tidak termasuk yang dilarang oleh Al-Qur’an, tetapi pelarangannya
datang (ditetapkan) oleh sunnah Rasul.
Ibnu Umar meriwayatkan
sabda Nabi saw. yang mengatakan :
لَاتَبِيعُواالذًّهَبَ
بِالذَّهَبِ اَلاَّ مِثْلاً بِمثْلٍ، وَلاَ تَبِيْعٌوا اْلوَرَقَ بِاْلوَرَقِ اِلاَّ
مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ، وَلاَ تَشْفُوْا بَعْضَهُ عَلَيْ بَعْضٍ اِنِّي
اَخْشَي عَلَيْكُمْ الرِّمَاءَ _الرِّبَا_
“Janganlah kalian menjual emas dengan emas kecuali masing-masing
sama timbangannya. Dan janganlah kalian menjual perak dengan perak kecuali
timbangan masing-masing sama dan jenisnya sama, dan janganlah kalian melebihkan
salah satunya karena aku khawatir kalian melakukan ar-Rama’ (Riba)”.[6]
Sesungguhnya, barang yang diharamkan
dalam Islam itu terdiri dari dua kelompok :
a. Jenis
yang diharamkan dzatnya karena di dalamnya mengandung bahaya. Hal seperti ini
tidak diperbolehkan kecuali dalam keadaan darurat, seperti makan bangkai dan
meminum khamr. Sedang mengenai riba yang berlaku sekarang, adalah riba
nashi’ah, secara ittifaq diharamkan. Untuk itu, bila seorang muslim
terpaksa membutuhkan utang, kemudian tidak ada orang yang bersedia memberi
pinjaman kecuali dengan cara riba, maka yang berdosa adalah yang melakukan
riba, bukan orang yang menerimanya, karena baginya dalam keadaan darurat.
b. Jenis
yang diharamkan oleh sebab factor lain, yaitu seperti riba fadhal, karena
hal ini mungkin bisa menyebabkan terlibat dalam riba nashi’ah, tetapi
jenis ini dibolehkan, karena darurat dalam kebutuhan.[7]
Bertakwalah kalian kepada Allah kepada
hal-hal yang dilarang, diantaranya adalah riba, dan janganlah hati kalian keras
terhadap hamba-hambaNya yang membutuhkan dan sengsara, sehingga kalian
membebankan hutang yang tak kuat mereka tanggung, dan kalian memeras hajat
serta kebutuhan mereka.
Mudah-mudahan, bila kalian mau berlaku
baik terhadap mereka, hal itu akan menjadi penyebab kebahagiaan kalian di
dunia. Sebab, kasih sayang dan pertolongan yang baik itu akan menumbuhkan
kecintaan dalam hati orang yang ditolong, sedang kecintaan itu adalah dasar
dari kebahagiaan di dunia dan akhirat.[8]
B. Q.S. Al-Baqarah Ayat 278-279
1. Teks
dan Terjemahan Ayat
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا
إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (278) فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ
اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا
تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ (279)
Artinya : “Hai orang-orang beriman, bertakwalah pada
Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika
kamu tidak melaksanakan (apa yang diperintahkan ini) maka ketahuilah, bahwa
akan terjadi perang dahsyat dari Allah dan RosulNya dan jika kamu bertaubat
maka bagi kamu pokok harta kamu, kamu tidak dianiaya dan tidak (pula)
dianiaya”.
اللَّهَ
Allah
|
اتَّقُوا
Bertakwalah
|
آَمَنُوا
(mereka) beriman
|
الَّذِينَ
Orang-orang yang
|
يَا أَيُّهَا
Wahai
|
مُؤْمِنِينَ
Orang-orang yang beriman
|
إِنْ كُنْتُمْ
Jika kamu adalah
|
مِنَ الرِّبَا
Dari riba
|
مَا بَقِيَ
Apa yang tersisa
|
وَذَرُوا
Dan tinggalkanlah
|
بِحَرْبٍ
Dengan adanya perang
|
فَأْذَنُوا
Maka ketahuilah pernyataan
|
تَفْعَلُوا
Kamu kerjakan
|
فَإِنْ لَمْ
Maka jika tidak
|
(278)
|
رُءُوسُ
Modal (pokok)
|
فَلَكُمْ
Maka
bagimu
|
وَإِنْ تُبْتُمْ
Dan jika kamu bertaubat
|
وَرَسُولِهِ
Dan RasulNya
|
مِنَ اللَّهِ
Dari Allah
|
(279)
|
وَلَا تُظْلَمُونَ
Dan kamu tidak dianiaya
|
لَا تَظْلِمُونَ
Kamu tidak menganiaya
|
أَمْوَالِكُمْ
Hartamu
|
2. Tafsir
al-Mufradat
Ittaqu
‘l-Lah : peliharalah diri kalian dari siksa-Nya.
Dzaru
: tinggalkanlah oleh kalian
Fa’dzanu
: katahuilah
Bi
Harbin mina ‘l-Lah : mendapatkan murka-Nya.
Bi
Harbin min Rosulih : mendapatkan murka RosulNya.
Orang-orang yang diberi utang dengan mengambil lebih banyak dari yang
seharusnya.
La
tuzhlamuna : jangan sampai kalian terkena dzalim dengan
dikuranginya modal milikmu.[9]
3. Asbab an Nuzul
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa turunnya ayat
tersebut berkenaan dengan pengaduan Bani Mughirah kepada gubernur Makkah
setelah Fathu Makkah, yaitu ‘Attab bin As-yad tentang hutang-tentangnya yang
ber-riba sebelum ada hukum pengahpusan riba, kepada Bani ‘Amr bin ‘Auf dari
suku Tsaqif. Bani Mughirah berkata kepada ‘Attab bin As-yad: “Kami adalah
manusia yang paling menderita akibat dihapusnya riba. Kami ditagih membayar
riba oleh orang lain, sedang kami tidak mau menerima riba karena mentaati hukum
penghapusan riba.” Maka berkata Banu ‘Amr : “Kami minta penyelesaian atas
tagihan riba kami.” Maka Gubernur ‘Attab menulis surat kepada Rasulullah saw.
yang dijawab oleh Nabi saw. sesuai ayat di atas. (Diriwayatkan oleh Abu Ya’la
di dalam musnadnya dan dari al-Kalbi dari Abi Shaleh, yang bersumber dari Ibnu
Abbas).[10]
4. Kandungan
Ayat.
Dalam QS. Al-Baqarah ayat 278 ini Allah SWT
menghubungkan perintah meninggalkan riba dengan perintah bertakwa. Dengan
hubungan itu seakan-akan Allah SWT mengatakan : ”Jika kamu benar-benar beriman
tinggalkanlah riba itu. Jika kamu tidak menghentikannya berarti kamu telah
berdusta kepada Allah SWT dalam pengakuan imanmu. Mustahillah seseorang uang
mengakui beriman dan bertakwa melakukan riba, karena perbuatan-perbuatan itu
mungkin ada pada diri seseorang pada saat atau waktu yang sama.
Ayat ini senada dengan sabda Rasulullah saw :
لَايَزْنِى
الزَّا نِى حِيْنَ يَزْنِى وَهُوَ
مُؤْمِنٌ
Artinya : “Tidak berzina orang yang dalam keadaan
dia beriman.”
Maksudnya seseorang yang betul-betul beriman tidak
akan melakukan zina, begitu pula seseorang yang betul-betul beriman tidak akan
melakukan riba.
Dalam QS. Al-Baqarah 279 merupakan penegasan yang
terakhir dari Allah kepada pemakan riba. Nadanya pun sudah bersifat ancaman
keras dan dihadapkan kepada orang yang telah mengetahui hukum riba, tetapi
mereka masih terus melakukannya. Ini berarti bahwa mereka yang tidak
mengindahkan perintah-perintah Allah, mereka disamakan dengan orang yang
memerangi agama Allah. Orang yang memerangi agama Allah akan diperangi Allah
dan RasulNya.[11]
“Diperangi Allah”, maksudnya : bahwa Allah akan menimpakan adzab
yang pedih di dunia dan akhirat.
“Diperangi rasul-Nya”, maksudnya : bahwa para rasul
telah memerangi pemakan riba di zamannya. Orang pemakan riba dihukum murtad dan
menentang hukum Allah, maka dari itu mereka boleh diperangi.
Namun apabila pemakan riba itu menghentikan
perbuatannya, dengan mengikuti perintah-perintah Allah dan menghentikan
larangan-larangan Nya, maka mereka boleh menerima atau mengambil kembali pokok
modal mereka, tanpa dikurangi sedikitpun.[12]
_____________________
_____________________
[1] Hamka, Tafsir Al Azhar
vol. IV (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), 110.
[2] Musthafa Al-Maraghi, Terjemahan Tafsir Al Maraghi vol. IV (Semarang: Penerbit Toha Putra,
1998), 105.
[3] Qamarudin Shaleh, A. Dahlan, M.D. Dahlan, Asbabun Nuzul, Latar
Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur’an (Bandung: CV Diponegoro,
1992), 110.
[4] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan
Keserasian Al-Qur’an vol. 2 (Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2000), 203.
[5] Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi (Semarang:
Penerbit Toha Putra,1998), 109.
[6]Ibid, 110.
[7]Ibid, 111.
[8]Ibid, 112.
[9] Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi vol. 3 (Semarang: CV Toha Putra, 1986),
97.
[10] Qamaruddin Shaleh, 89.
[11] Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an dan
Tafsirnya vol. I (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1990), 481.
[12] Ibid, 482.
0 komentar:
Post a Comment