Asas-Asas Peradilan Agama
A. Pengertian Peradilan
Peradilan berasal dari kata “adil” dari bahasa Arab
yang sudah diserap menjadi bahasa Indonesia yang artinya proses mengadili atau
suatu upaya untuk mencari keadilan atau penyelelesaian sengketa hokum di
hadapan badan peradilan menurut peraturan yang berlaku. Peradilan merupakan
suatu pengertian umum.dalam bahasa Arab disebut al Qadla’artinya proses
mengadili dan proses mencari keadilan.[1]
Peradilan merupakan pengertian yang khusus yaitu
suatu lembaga tempat mengadili atau menyelesaikan sengketa hokum dalam rangka
kekuasaan kehakiman yang mempunyai kekuasaan absolut dan relative sesuai
peraturan perundang-undangan dalam bahasa arab disebut mahkamah.
B. Tujuan Peradilan Agama
Tujuan
Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama adalah sebagai berikut :
1. Mempertegas
kedudukan dan kekuasaan Peradilan Agama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman.
2. Melaksanakan
undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan
kehakiman.
3. Mewujudkan
keseragaman kekuasaan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama di Indonesia.
4. Mensejajarkan
Peradilan Agama dengan peradilan lain.
C. Asas-asas Peradilan Agama
1. Asas umum Peradilan Agama
a. Asas
Kebebasan
Asas kemerdekaan kekuasaan
kehakiman, merupakan asas yang paling sentral dalam kehidupan peradilan. Dalam
UU No. 14 Tahun 1970 dicantumkan dalam Bab I, Ketentuan Umum sebagaimana dirumuskan
dalam Pasal 1 yang berbunyi : “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasan Negara
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hokum dan
keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia”.
Salah satu prinsip penting Negara
hokum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka,
bebas dari pengaruh kekuasan lainnya, untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hokum dan keadilan. Dalam hal ini agar hokum dapat ditegakkan berdasarkan
pancasila, akan tetapi kebebasan kehakiman bukanlah kebebasan yang membabi buta
akan tetapi terbatas dan relative.diantaranya:
1) Bebas dari campur
tangan pihak kekuasaan Negara lainnya.
Peradilan dan hakim
dalam melaksanakan fungsi kekuasaan kehakiman tidak boleh dicampuri oleh badan
kekuasaan pemerintahan yang lain. Pihak eksekutif, legislative atau badan
kekuasaan yang lain yang manapun tidak boleh mencampuri jalannya peradilan.
2) Bebas dari paksaan,
direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak extra judicial.
Maksudnya, hakim
dalam melaksanakan fungsi peradilan tidak boleh dipaksa mengambil keputusan
yang dikehendaki pihak yang memaksa.
3) Kebebasan
melaksanakan wewenang judicial (peradilan).
Dalam hal ini
kebebasan hakim tidak bersifat absolut, tetapi terbatas pada:
a) Menerapkan hokum
yang bersumber dari peraturan perundang-undangan secara benar dalam
menyelesaikan perkara
b) Menafsirkan hokum
yang tepat melalui cara-cara pendekatan penafsiran yang dibenarkan
(interpretasi, bahasa, analogi, dan sosiologi sistematik)
c) Kebebasan untuk
mencari dan menemukan hokum, baik melalui yurisprudensi, doktrin hokum, hokum
tidak tertulis (adat) maupun melalui pendekatan realisme, yaitu mencari dan
menemukan hokum yang terdapat pada nilai ekonomi, moral, agama, dan
kepatutan. [2]
b. Asas
Pelaksana Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan kehakiman semula diatur dalam UU N0.14
tahun 1970 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman yang kini dinyatakan tidak
berlaku. Selanjutnya kekuasaan kehakiman diatur dalam UU No.4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 1 dinyatakan Kekuasaan Kehakiman
adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hokum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya
Negara hokum Republik Indonesia.
Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dilaksanakan
oleh sebuah Mahkamah agung dan badan-badan peradilan yang berada di bawahnya
dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi.[3]
c. Asas
Ketuhanan
Peradilan Agama dalam menerapkan
hukumnya selalu berpedoman pada sumber hokum agama Islam, sehingga pembuatan
putusan ataupun penetapan harus dimulai dengan kalimat Basmalah yang diikuti
dengan kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
d. Asas
Legalitas dan Persamaan (Equality)
Asas ini diatur dalam pasal 58 ayat
(1) UU No.7 tahun 1989 dan pasal 5 ayat (1) UU No. 4 tahun 2004, yaitu
pengadilan mengadili menurut hokum dan tidak membeda-bedakan orang.
Asas legalitas yang terdapat dalam
rumusan pasal ini mengandung pengertian rule of law, yaitu
pengadilan berfungsi dan berwenang menegakkan hokum harus berlandaskan hokum,
tidak bertindak di luar hokum. Sedangkan
asas persamaan (equality) yang dimaksud adalah persamaan hak yang
meliputi :
a) Persamaan
hak dan derajat dalam proses pemeriksaan persidangan pengadilan.
b) Hak
perlindungan yang sama oleh hokum.
c) Mendapat
hak perlakuan yang sama di bawah hokum.[4]
e. Asas
Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan
Asas ini diatur dalam pasal 57 ayat (3) UU No. 7
tahun 1989 yang berbunyi “Prinsip-prinsip pokok peradilan yang telah
ditetapkan dalam UU No. 14 tahun 1970, antara lain sidang terbuka untuk umum,
setiap keputusan dimuali dengan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa, peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan dan
ketentuan-ketentuan lain, dalam undang-undang ini ditegaskan dan dicantumkan
kembali.” Dan pasal 4 ayat (2) UU No. 4 tahun 2004 yang berbunyi “Ketentuan
ini dimaksudkan untuk memenuhi harapan pencari keadilan.”
Sudikno
Martokusumo berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “sederhana” yang jelas mudah
dipahami dan tidak berbelit-belit. Kata “cepat” menunjukkan jalannya peradilan,
terlalu banyak formalitas merupakan hambatan bagi jalannya persidangan.
Sedangkan “biaya ringan” maksudnya adalah biaya perkara diusahakan seringan
mungkin dapat dipikul oleh rakyat pencari keadilan.
Tujuan
asas ini adalah agar suatu proses pemeriksaan dipengadilan, relatif tidak
memakan waktu lama sampai bertahun-tahun sesuai kedederhanaan hokum acara itu
sendiri, hakim tidak mempersulit proses persidangan yang berbelit-belit dan
sering mundur dalam jadwal persidangan.
Jadi,
yang dituntut dari hakim dalam mengimplemetasikan asas ini adalah;
1. Sikap
moderat artinya dalam pemeriksaan tidak cenderung tergesa-gesa dan tidak pula
sengaja dilambat-lambatkan.
2. Tidak
boleh mengurangi ketepatan pemeriksaan dan penilaian menurut hokum dan
keadilan.[5]
f. Asas Aktif Memberi Bantuan
Rumusan pasal 58 ayat (2) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 jo.
Pasal 5 ayat (2) undang-undang No. 14 Tahun 1970 yang berbunyi : “Pengadilan
membantu para pencari keadilan dan
berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk
tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Berdasarkan
pasal tersebut, dalam pemeriksaan perkara dipengadilan hakim aktif dalam
memberikan bantuan kepada para pihak yang berperkara. Pemberian bantuan
tersebut terbatas pada bantuan atau memberi nasehat mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan masalah “formil” atau mengenai tata cara beracara di
Pengadilan. Hakim tidak dapat memberikan bantuan atau nasehat kepada para pihak
sepanjang mengenai masalah materil atau pokok perkara.
Tujuan asas ini adalah supaya pemeriksaan perkara
dipersidangan berjalan lancar, terarah dan tidak menyimpang dari tata tertib
beracara dipersidangan yang telah diatur dalam undang-undang. Sangat
disayangkan apabila karena ada kesalahan dalam masalah formil akhirnya perkara
yang diperiksa akhirnya tertunda.[6]
2. Asas khusus Peradilan Agama
a. Asas
Personalitas Keislaman
Asas ini diatur dalam pasal 2, Penjelasan Umum angka
2 alenia ke 3 dan pasal 49 ayat (1) UU No. 7 tahun 1989. Dari uraian pasal
tersebut dapat dijumpai beberapa penegasan yang membarengi asas yang dimaksud :
1) Pihak-pihak
yang bersengketa harus sama-sama pemeluk agama Islam.
2) Perkara
perdata yang disengketakan terbatas mengenai perkara di bidang perkawinan,
kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shadakah.
3) Hubungan
hokum yang melandasi keperdataan tertentu tersebut berdasarkan hokum Islam,
oleh karena itu cara penyelesaian berdasarkan hokum Islam.
Berdasarkan Surat Mahkamah Agung tertanggal 31
Agustus 1983 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi Agama Ujung Pandang
menegaskan bahwa yang dipergunakan sebagai ukuran yang menentukan kompeten atau
tidaknya pengadilan Agama dalam memeriksa dan mengadili perkara antara
orang-orang yang beragama Islam atau non Islam dalam sengketa perkawinan
khususnya dalam hal perceraian, hokum yang berlaku pada saat pernikahan itu
dilangsungkan. Jika pernikahan dilangsungkan berdasarkan hokum Islam (di KUA)
maka sengkerta perkawinan menjadi kompetensi Peradilan Agama, sekalipun salah
satu pihak tidak beragama Islam lagi. Namun, jika tidak berdasarkan hokum Islam
maka sengketa perkawinan tersebut bukan kompetensi Peradilan Agama.[7]
b. Asas
Ishlah (Perdamaian)
Asas ini terdapat pada pasal 65 dan pasal 82 UU No.
7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang dinyatakan bahwa selama perkara belum
diputus, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan pada
semua tingkat peradilan. Asas ini juga tercantum dalam pasal 39 UU No. 1 tahun
1974 tentang Perkawinan, pasal 31 PP No.9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan
undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan pasal 143 ayat (1) dan
(2), serta dalam QS. Al Hujurat (49) : 10.
Dengan adanya perdamaian berdasarkan kesadaran para
pihak yang berperkara, tidak ada pihak yang dimenangkan atau dikalahkan. Kedua
belah pihak sama-sama menang dan sama-sama kalah dan mereka dapat pulih kembali
dan suasana rukun dan persaudaraan. Peranan hakim dalam mendamaikan para pihak
yang berperkara terbatas pada anjuran, nasihat, penjelasan, dan memberi bantuan
dalam perumusan sepanjang itu diminta oleh kedua belah pihak. [8]
c. Asas
Persidangan Terbuka untuk Umum
Asas persidangan untuk umum diatur dalam pasal 59 UU
No. 7 ayat (1), (2), (3) tahun 1989 tentang peradilan agama dan pasal 19 ayat
(1) dan (2) UU No. 4 tahun 2004 tentang kekuasan kehakiman. Undang-undang
menghendaki agar jalannya sidang tidak hanya diketahui oleh para pihak yang
berperkara, tetapi oleh public atau umum. Asas ini bertujuan agar persidangan
berjalan secara fair, menghindari adanya pemeriksaan yang sewenang-wenang atau
menyimpang dan agar proses persidangan menjadi media edukasi dan prepensi,
informasi bagi masyarakat umum. Asas ini juga bertujuan untuk melindungi
hak-hak asasi manusia dalam sidang peradilan serta untuk lebih menjamin
objektifitas peradilan, tidak memihak
salah satu pihak dan putusannya dapat dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat.
Pada prinsipnya semua sidang pemeriksaan pengadilan
terbuka untuk umum kecuali undang-undang menentukan lain atau jika hakim dengan
alasan-alasan penting yang dicatat dalam berita acara sidang memerintahkan
bahwa pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagian akan dilakukan dengan sidang
tertutup. Hal ini sesuai dengan doktrin
hokum yang mengajarkan Lexspecialis Derogat Lexgeneralis (ketentuan khusus
menyampingkan ketentuan umum). Keadaan inilah yang diatur dalam pasal 82 ayat
(2) UU No. 7 tahun 1989 jo. Pasal 33 PP No. 9 tahun 1975. Pasal ini
menyampingkan ketentuan asas umum yang diatur pasal 59 UU No. 7 tahun 1989 jo.
Dan pasal 19 ayat (1) dan (2) UU No. 4 tahun 2004 yang berbunyi sebagai
berikut:
1) Sidang
pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali undang-undang menentukan
lain.
2) Tidak
terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan putusan
batal demi hukum.
Diantara
sidang tertutup dalam peradilan
agama misalnya perkara perceraian. Dan
yang dimaksud persidangan tertutup untuk umum adalah pemeriksaan suatu perkara
dimulai sampai sebelum acara pembacaan putusan. Menurut pasal 60 UU No.7 tahun
1989 dan pasal 20 UU No. 4 tahun 2004 dijelaskan bahwa penetapan dan putusan
pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hokum apabila diucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum.[9]
[1]
Musthofa, Kepaniteraan
Peradilan Agama (Jakarta: Kencana, 2005). 5.
[2] Yahya Harahap, Kedudukan
Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989 (Jakarta: Sinar
Grafika, 2007), 59-61
[3] Afandi Mansur, Peradilan
Agama Strategi dan Taktik Membela Perkara di Pengadilan Agama (Malang:
Setara Press, 2009), 28.
[4] Yahya Harahap, Kedudukan
Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989 , 85-86.
[5]
Mardani, Hukum Acara
Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah (Jakarta: Sinar GRafika,
2009), 44.
[6] Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan
Agama di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 32-33.
[7] Mardani, Hukum Acara Perdata
Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah, 38.
[8]
Ibid, 41.
[9] Ibid, 41-42.
0 komentar:
Post a Comment