Q. S. Al- Baqarah Ayat 275 *SANKSI RIBA

Artikel terkait : Q. S. Al- Baqarah Ayat 275 *SANKSI RIBA

Riba merupakan dosa besar bagi siapa saja yang melakukannya. sudah dijelaskan berdasarkan dalil yang jelas tentang bagaimana diharamkannya riba. Riba merupakan permasalahan muamalah yang sangat sulit dihindarkan dari setiap kegiatan muamalah. Apalagi jika sudah berhubungan dengan uang, maka hal-hal kecil yang menyertai setiap kelebihannya, terkadang bisa terhitung sebagai riba. Kemudian, bagaimanakah mereka yang masih saja menerapkan sistem riba jika telah jelas keharamannya??? 
Berikut akan sedikit diuraikan dalam tafsir Q. S. Al- Baqarah Ayat 275 berikut.
Tarjamah Q. S. Al- Baqarah Ayat 275
š   
“Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barang siapa mendapatkan peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti,  maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barang siapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.[1]

Tafsir al Mufradat
Raba berarti zada, bertambah. Menurut syara’, riba berarti kelebihan dari nilai tukar yang disyaratkan kepada salah seorang dari dua orang yang bertransaksi. Riba di dalam Islam hukumnya haram dan termasuk dosa besar. Menurut al Qurtubi, di dalam Al Qur’an (an Nisa’:161) juga disebutkan lafal riba, tetapi bukan dalam arti syar’i sebagai riba yang diharamkan atas umat Muhammad, tetapi maksudnya harta haram yang dilarang bagi orang Yahudi di masa lalu. Sebagian besar jenis jual beli yang dilarang adalah karena di dalamnya terdapat sifat riba. Riba ada dua macam, yaitu riba nasi’ah dan riba fadl. Riba nasi’ah adalah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan, dan riba fadl adalah penukaran satu barang dengan barang sejenis, tetapi jumlahnya lebih banyak.

Munasabah
Pada ayat-ayat yang lalu diterangkan cara-cara membelanjakan dan menggunakan harta yang dihalalkan Allah, seperti bersedekah, memberi nafkah kepada karib-kerabat, menafkahkan harta di jalan Allah serta pahala yang aka diperoleh orang-orang yang melaksanakannya. Ayat-ayat berikutnya menerangkan larangan Allah SWT memakan riba, yakni memakan harta manusia dengan cara tidak sah, diterangkan pula akibat yang akan dialami pemakan riba, baik di dunia maupun di akhirat nanti.[2]

Kandungan Ayat
“Orang-orang yang memakan riba itu tidak dapat berdiri, kecuali seperti berdirinya orang yang gila kesurupan”.
Hal ini dikatakan kepada orang yang menggunakan harta benda orang lain, memakannya dan menelannya, yaitu dia menggunakan betul-betul, maka tak ada jalan tuk menarik kembali sebagaimana tidak ada jalan menarik kembali makanan yang telah dimasukkan ke dalam perutnya.
Maksudnya, keadaan kaum periba ini adalah seperti orang-orang yang mengamuk karena berkelahi atau gila. Karena mereka ketika tergoda oleh cintanya kepada harta, diperbudak oleh keindahannya, serakah untuk mengumpukannya, dijadikan tujuan pokoknya, dan mereka tinggalkan sumber-sumber usaha lain, maka jiwa mereka menyimpang dari titik kemajuan yang dijalani oleh kebanyakan orang.
Jumhur Mufassir mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata “berdiri” pada ayat ini ialah bangkit dari kubur pada hari kiamat. Jadi Allah memberikan tanda untuk kaum periba bahwa pada hari kiamat nanti mereka akan dibangkitkan dari kubur laksana orang-orang yang berkelahi. Hal ini mereka riwayatkan dari Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud. Tabrani meriwayatkan dari Auf bin Malik sebuah hadits yang menyatakan:
Hendaklah engkau jauhi dosa yang tidak diampunkan yaitu korupsi. Barang siapa korupsi sesuatu, maka akan ditunjukkan pada hari kiamat, dan riba. Barang siapa yang memakan riba akan dibangkitkan dalam keadaan gila yang sedang kesurupan pada hari kiamat”.[3]
Maka di dalam ayat ini diperlihatkan pribadi orang yang hidupnya dari makna riba itu. Hidupnya susah selalu, walaupun bunga uangnya dari riba telah berjuta-juta. Dia tidak merasakan kenikmatan di dalam jiwa lantaran tempat berdirinya ialah menghisap darah orang lain.[4]
Mereka (pemakan riba) ketika itu memandang riba adalah halal sebagai layaknya jual beli. Orang boleh menjual sesuatu yang semula harganya serupiah menjadi dua rupiah, tentu hal yang sama berlaku dalam transaksi peminjaman uang (kredit).
Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba, karena dalam jual beli ada pertukaran dan pergantian, ada barang yang mungkin harganya bertambah pada masa mendatang. Tambahan harta itu adalah imbangan (jasa) dari kemanfaatan yang diperoleh dari harga barang tersebut.
Allah mengaharamkan riba karena di dalam riba tidak ada pertukaran  dan tambahan pembayaran, bukan karena imbangan (kompensasi), tetapi karena penundaan waktu pembayaran. Dalam jual beli ada hal-hal yang menghendaki kehalalannya, sedangkan dalam riba terdapat mafsadat (kerusakan) yang menghendaki keharamannya.[5]
“Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu(sebelum datang larangan), dan urusannya kembali kepada Allah”.
Maksudnya, barangsiapa yang sudah menerima larangan memakan riba, kemudian dia menghentikannya tatkala syari’at sampai padanya, maka baginya hasil muamalah terdahulu. Hal ini berdasarkan firman Allah, “Allah memaafkan apa yan telah kamu lakukan dahulu.” Dan sebagaimana Nabi bersabda pada hari penaklukkan Mekah (426): “Segala bentuk riba pada masa jahiliyah diletakkan di bawah kedua kakiku ini, dan riba yang pertama kali aku letakkan ialah riba dari al-Abbas”.
Nabi tidak menyuruh mereka mengembalikan kelebihan yang mereka peroleh pada saat jahiliyah, namun dia memaafkan apa yang telah dilakukan tempo dulu.[6]
Allah menyebut larangan tentang riba itu dengan cara mau’izah (pengajaran), maksudnya larangan memakan riba adalah larangan yang bertujuan untuk kebaikan manusia itu sendiri, agar hidup bahagia di dunia dan di akhirat, hidup dalam lingkungan rasa cinta dan kasih sesama manusia dan hidup penuh ketentraman dan kedamaian. Barang siapa memahami larangan Allah tersebut dan mematuhi larangan tersebut hendaklah ia menghentikan perbuatan riba dengan segera. Mereka tidak dihukum Allah terhadap perbuatan yang mereka lakukan sebelum ayat ini diturunkan. Mereka tidak diwajibkan mengembalikan riba pada waktu ayat ini diturunkan. Mereka boleh mengambil pokok pinjaman mereka saja, tanpa bunga yang mereka setujui sebelumnya.[7]
“Dan barang siapa mengulanginya, maka mereka itulah penghuni neraka. Mereka akan kekal selamanya di dalamnya”.
Barang siapa yang memakan riba sesudah diharamkannya, berarti mereka tidaklah menghiraukan nasihat tersebut. Padahal Allah tidak melarang mereka melakukan sesuatu, kecuali karena membahayakan mereka. Karena itu mereka menjadi ahli neraka yang kekal dan abadi. Kekal di sini maksudnya tinggal lama.[8]
Mereka kekal di dalamnya, dipahami oleh sebagian ulama adalah jika mereka mempersamakan riba dengan jual beli dari segi kehalalannya. Siapa yang menghalalkan riba, maka dia tidak percaya Allah, dan yang tidak percaya kepadaNya maka dia kekal di neraka. Jika mempraktikkan riba tanpa menghalalkannya, diapun disiksa di neraka, tetapi tidak kekal di dalamnya.[9]
Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang tidak meninggalkan mukhabarah, maka maklumkanlah perang kepadanya dengan Allah dan RasulNya”. Hadits ini diriwayatkan oleh Hakim dalam mustadrak-nya. Menurutnya, hadis ini shahih menurut kriteria Muslim, meskipun Muslim tidak meriwayatkannya. Mukhabarah ialah menyewa tanah dengan imbalan sebagian hasil buminya. Muzabanah ialah menjual kurma basah yang masih ada di pohonnya dengan kurma kering yang sudah ada di atas tanah. Muhaqalah ialah membeli biji yang masih melekat pada bulirnya di ladang dengan biji yang sudah ada di atas tanah.[10]
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Akan datang suatu masa di mana manusia banyak memakan riba”. Abu Hurairah berkata, “Rasulullah ditanya, ‘Apakah seluruh manusia?’ Beliau menjawab, ‘Orang yang tidak memakannya pun akan terkena debunya.” Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, Nasa’i, dan Ibnu Majah. Oleh karena itu, diharamkannya segala sarana yang dapat menimbulkan setiap keharaman. Dan dari Ali dan Ibnu Mas’ud dikatakan dari Rasulullah SAW:
La’analla>hu a>kala ar riba> wa mu>kilahu wa sha>hidayhi wa ka>tibahu idha> ‘alimu> bihi>
“Allah melaknat pemakan riba, yang mewakili riba, dua saksinya, dan orang-orang yang menuliskannya.”[11]




[1] Departemen Agama RI, Al Quran dan Tafsirnya (Jakarta: Lembaga Percetakan Departemen Agama RI, 2009), 47.
[2] Ibid., 421.
[3] Ahmad Mustafa Al Maraghi, Tafsir Al Maraghi Vol. III, Terj. M. Thalib (Bandung: CV. Rosda, 1987), 76-77.
[4] Hamka, Tafsir al Azhar Vol. III (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), 95.
[5] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qurabul Majid an Nuur (Semarang: Pustaka Riski Putra, 2000), 489.
[6] Muhammad Nasib ar Rifa’i, Tafsir Ibnu Katsir Vol. I , Terj. Shihabuddin, ( Jakarta: Gema Insani Press, 1999), 453.
[7]Departemen Agama RI, Al Quran dan Tafsirnya, 425.
[8]Al Maraghi, Tafsir Al Maraghi, 79.
[9] M. Quraish Shihab, Tafsir al Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an (Jakarta, Lentera Hati, 2002), 555.
[10] Ar Rifa’i, Tafsir Ibnu Katsir,
[11] Ibid., 456.

Artikel arinprasticha Lainnya :

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 arinprasticha | Design by Bamz