Q. S. Al- Baqarah Ayat 275 *SANKSI RIBA
Riba merupakan dosa besar bagi siapa saja yang melakukannya. sudah dijelaskan berdasarkan dalil yang jelas tentang bagaimana diharamkannya riba. Riba merupakan permasalahan muamalah yang sangat sulit dihindarkan dari setiap kegiatan muamalah. Apalagi jika sudah berhubungan dengan uang, maka hal-hal kecil yang menyertai setiap kelebihannya, terkadang bisa terhitung sebagai riba. Kemudian, bagaimanakah mereka yang masih saja menerapkan sistem riba jika telah jelas keharamannya???
Berikut akan sedikit diuraikan dalam tafsir Q. S. Al- Baqarah Ayat 275 berikut.
image from: pelajaranilmu.blogspot.co.id
Tarjamah Q.
S. Al- Baqarah Ayat 275
“Orang-orang yang memakan riba tidak dapat
berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila.
Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba.
Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barang siapa
mendapatkan peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu
menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barang siapa
mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.[1]
Tafsir al Mufradat
Raba berarti zada, bertambah. Menurut syara’, riba berarti kelebihan
dari nilai tukar yang disyaratkan kepada salah seorang dari dua orang yang
bertransaksi. Riba di dalam Islam hukumnya haram dan termasuk dosa besar.
Menurut al Qurtubi, di dalam Al Qur’an (an Nisa’:161) juga disebutkan lafal riba,
tetapi bukan dalam arti syar’i sebagai riba yang diharamkan atas umat Muhammad,
tetapi maksudnya harta haram yang dilarang bagi orang Yahudi di masa lalu.
Sebagian besar jenis jual beli yang dilarang adalah karena di dalamnya terdapat
sifat riba. Riba ada dua macam, yaitu riba nasi’ah dan riba fadl. Riba nasi’ah
adalah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan, dan riba
fadl adalah penukaran satu barang dengan barang sejenis, tetapi jumlahnya lebih
banyak.
Munasabah
Pada
ayat-ayat yang lalu diterangkan cara-cara membelanjakan dan menggunakan harta
yang dihalalkan Allah, seperti bersedekah, memberi nafkah kepada karib-kerabat,
menafkahkan harta di jalan Allah serta pahala yang aka diperoleh orang-orang
yang melaksanakannya. Ayat-ayat berikutnya menerangkan larangan Allah SWT memakan
riba, yakni memakan harta manusia dengan cara tidak sah, diterangkan pula
akibat yang akan dialami pemakan riba, baik di dunia maupun di akhirat nanti.[2]
Kandungan
Ayat
“Orang-orang
yang memakan riba itu tidak dapat berdiri, kecuali seperti berdirinya orang
yang gila kesurupan”.
Hal
ini dikatakan kepada orang yang menggunakan harta benda orang lain, memakannya
dan menelannya, yaitu dia menggunakan betul-betul, maka tak ada jalan tuk
menarik kembali sebagaimana tidak ada jalan menarik kembali makanan yang telah dimasukkan
ke dalam perutnya.
Maksudnya,
keadaan kaum periba ini adalah seperti orang-orang yang mengamuk karena
berkelahi atau gila. Karena mereka ketika tergoda oleh cintanya kepada harta,
diperbudak oleh keindahannya, serakah untuk mengumpukannya, dijadikan tujuan
pokoknya, dan mereka tinggalkan sumber-sumber usaha lain, maka jiwa mereka
menyimpang dari titik kemajuan yang dijalani oleh kebanyakan orang.
Jumhur
Mufassir mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata “berdiri” pada ayat ini
ialah bangkit dari kubur pada hari kiamat. Jadi Allah memberikan tanda untuk
kaum periba bahwa pada hari kiamat nanti mereka akan dibangkitkan dari kubur
laksana orang-orang yang berkelahi. Hal ini mereka riwayatkan dari Ibnu Abbas
dan Ibnu Mas’ud. Tabrani meriwayatkan dari Auf bin Malik sebuah hadits yang
menyatakan:
“Hendaklah
engkau jauhi dosa yang tidak diampunkan yaitu korupsi. Barang siapa korupsi
sesuatu, maka akan ditunjukkan pada hari kiamat, dan riba. Barang siapa yang
memakan riba akan dibangkitkan dalam keadaan gila yang sedang kesurupan pada
hari kiamat”.[3]
Maka
di dalam ayat ini diperlihatkan pribadi orang yang hidupnya dari makna riba
itu. Hidupnya susah selalu, walaupun bunga uangnya dari riba telah
berjuta-juta. Dia tidak merasakan kenikmatan di dalam jiwa lantaran tempat
berdirinya ialah menghisap darah orang lain.[4]
Mereka
(pemakan riba) ketika itu memandang riba adalah halal sebagai layaknya jual
beli. Orang boleh menjual sesuatu yang semula harganya serupiah menjadi dua
rupiah, tentu hal yang sama berlaku dalam transaksi peminjaman uang (kredit).
Padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba, karena dalam jual
beli ada pertukaran dan pergantian, ada barang yang mungkin harganya bertambah
pada masa mendatang. Tambahan harta itu adalah imbangan (jasa) dari kemanfaatan
yang diperoleh dari harga barang tersebut.
Allah
mengaharamkan riba karena di dalam riba tidak ada pertukaran dan tambahan pembayaran, bukan karena
imbangan (kompensasi), tetapi karena penundaan waktu pembayaran. Dalam jual beli
ada hal-hal yang menghendaki kehalalannya, sedangkan dalam riba terdapat
mafsadat (kerusakan) yang menghendaki keharamannya.[5]
“Maka
baginya apa yang telah diambilnya dahulu(sebelum datang larangan), dan
urusannya kembali kepada Allah”.
Maksudnya,
barangsiapa yang sudah menerima larangan memakan riba, kemudian dia
menghentikannya tatkala syari’at sampai padanya, maka baginya hasil muamalah
terdahulu. Hal ini berdasarkan firman Allah, “Allah memaafkan apa yan telah
kamu lakukan dahulu.” Dan sebagaimana Nabi bersabda pada hari penaklukkan Mekah
(426): “Segala bentuk riba pada masa jahiliyah diletakkan di bawah kedua kakiku
ini, dan riba yang pertama kali aku letakkan ialah riba dari al-Abbas”.
Nabi
tidak menyuruh mereka mengembalikan kelebihan yang mereka peroleh pada saat
jahiliyah, namun dia memaafkan apa yang telah dilakukan tempo dulu.[6]
Allah
menyebut larangan tentang riba itu dengan cara mau’izah (pengajaran),
maksudnya larangan memakan riba adalah larangan yang bertujuan untuk kebaikan
manusia itu sendiri, agar hidup bahagia di dunia dan di akhirat, hidup dalam
lingkungan rasa cinta dan kasih sesama manusia dan hidup penuh ketentraman dan
kedamaian. Barang siapa memahami larangan Allah tersebut dan mematuhi larangan
tersebut hendaklah ia menghentikan perbuatan riba dengan segera. Mereka tidak
dihukum Allah terhadap perbuatan yang mereka lakukan sebelum ayat ini
diturunkan. Mereka tidak diwajibkan mengembalikan riba pada waktu ayat ini
diturunkan. Mereka boleh mengambil pokok pinjaman mereka saja, tanpa bunga yang
mereka setujui sebelumnya.[7]
“Dan
barang siapa mengulanginya, maka mereka itulah penghuni neraka. Mereka akan
kekal selamanya di dalamnya”.
Barang
siapa yang memakan riba sesudah diharamkannya, berarti mereka tidaklah
menghiraukan nasihat tersebut. Padahal Allah tidak melarang mereka melakukan
sesuatu, kecuali karena membahayakan mereka. Karena itu mereka menjadi ahli
neraka yang kekal dan abadi. Kekal di sini maksudnya tinggal lama.[8]
Mereka
kekal di dalamnya, dipahami oleh sebagian ulama adalah jika
mereka mempersamakan riba dengan jual beli dari segi kehalalannya. Siapa yang
menghalalkan riba, maka dia tidak percaya Allah, dan yang tidak percaya
kepadaNya maka dia kekal di neraka. Jika mempraktikkan riba tanpa
menghalalkannya, diapun disiksa di neraka, tetapi tidak kekal di dalamnya.[9]
Rasulullah
SAW bersabda, “Barang siapa yang tidak meninggalkan mukhabarah, maka
maklumkanlah perang kepadanya dengan Allah dan RasulNya”. Hadits ini diriwayatkan
oleh Hakim dalam mustadrak-nya. Menurutnya, hadis ini shahih menurut
kriteria Muslim, meskipun Muslim tidak meriwayatkannya. Mukhabarah ialah
menyewa tanah dengan imbalan sebagian hasil buminya. Muzabanah ialah
menjual kurma basah yang masih ada di pohonnya dengan kurma kering yang sudah
ada di atas tanah. Muhaqalah ialah membeli biji yang masih melekat pada
bulirnya di ladang dengan biji yang sudah ada di atas tanah.[10]
Imam
Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Akan
datang suatu masa di mana manusia banyak memakan riba”. Abu Hurairah berkata,
“Rasulullah ditanya, ‘Apakah seluruh manusia?’ Beliau menjawab, ‘Orang yang
tidak memakannya pun akan terkena debunya.” Hadis ini diriwayatkan oleh Abu
Dawud, Nasa’i, dan Ibnu Majah. Oleh karena itu, diharamkannya segala sarana
yang dapat menimbulkan setiap keharaman. Dan dari Ali dan Ibnu Mas’ud dikatakan
dari Rasulullah SAW:
La’analla>hu a>kala ar riba>
wa mu>kilahu wa sha>hidayhi wa ka>tibahu idha> ‘alimu> bihi>
“Allah
melaknat pemakan riba, yang mewakili riba, dua saksinya, dan orang-orang yang
menuliskannya.”[11]
[1]
Departemen Agama RI, Al Quran dan Tafsirnya (Jakarta: Lembaga Percetakan
Departemen Agama RI, 2009), 47.
[2]
Ibid., 421.
[3]
Ahmad Mustafa Al Maraghi, Tafsir Al Maraghi Vol. III, Terj. M. Thalib
(Bandung: CV. Rosda, 1987), 76-77.
[4]
Hamka, Tafsir al Azhar Vol. III (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), 95.
[5]
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qurabul Majid an Nuur (Semarang:
Pustaka Riski Putra, 2000), 489.
[6]
Muhammad Nasib ar Rifa’i, Tafsir Ibnu Katsir Vol. I , Terj. Shihabuddin,
( Jakarta: Gema Insani Press, 1999), 453.
[7]Departemen
Agama RI, Al Quran dan Tafsirnya, 425.
[8]Al
Maraghi, Tafsir Al Maraghi, 79.
[9] M.
Quraish Shihab, Tafsir al Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an (Jakarta,
Lentera Hati, 2002), 555.
[10]
Ar Rifa’i, Tafsir Ibnu Katsir,
[11] Ibid.,
456.
0 komentar:
Post a Comment