AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN

Artikel terkait : AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA PERCERAIAN

image from: www.alkhoirot.net

Suatu perkawinan dapat putus dan berakhir karena beberapa hal, yaitu:

             Talak

Talak diambil dari kata ithlaq yang menurut bahasa artinya melepaskan atau meninggalkan. Sedangkan menurut istilah syara’ adalah melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri.[1] Macam-macam talak di antaranya:
# Ditinjau dari segi waktu dijatuhkannya talak itu, maka talak dibagi menjadi tiga, yaitu:
1.     Talak Sunni, yaitu talak yang dijatuhkan sesuai dengan tuntutan sunnah. Dikatakan talak sunni jika memenuhi empat syarat, yaitu:
a.         Istri yang ditalak sudah pernah digauli.
b.        Istri dapat segera melakukan iddah suci setelah ditalak.
c.         Talak itu dijatuhkan ketika istri dalam keadaan suci.
d.        Suami tidak pernah menggauli istri selama masa suci di mana talak itu dijatuhkan.
2.  Talak bid’i, yaitu talak yang dijatuhkan tidak sesuai atau bertentangan dengan tuntunan sunnah, tidak memenuhi syarat-syarat talak sunni. Yang termasuk talak bid’i adalah:
a.    Talak yang dijatuhkan kepada istri pada waktu haid ( menstruasi ).
b.   Talak yang dijatuhkan terhadap istri dalam keadaan suci tetapi pernah digauli oleh suaminya dalam keadaan suci tersebut.
3.     Talak la sunni wa la bid’i, yaitu talak yang tidak termasuk kategori talak sunni dan tidak pula termasuk talak bid’i i, yaitu:
a.       Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah digauli.
b.     Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah haid, atau istri yang telah lepas haid.
c.      Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang hamil.[2]
# Ditinjau dari segi tegas atau tidaknya kata-kata yang dipergunakan sebagai ucapan talak, maka talak dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
1.    Talak sharih, yaitu talak dengan mempergunakan kata-kata yang jelas dan tegas , dapat dipahami sebagai pernyataan talak atau cerai seketika diucapkan, tidak mungkin dipahami lagi.
2.    Talak kinayah, yaitu talak dengan mempergunakan kata-kata sindiran, atau samar-samar. Tentang kedudukannya tergantung niat suami.
# Ditinjau dari segi ada atau tidak adanya kemungkinan bekas suami merujuk kembali bekas istri, maka talak dibagi menjadi dua macam, sebagai berikut:
1.    Talak raj’i, yaitu talak yang dijatuhkan suami terhadap istrinya yang telah pernah digauli bukan karena memperoleh ganti harta dari istri. Talak raj’i hanya terjadi pada talak pertama dan kedua saja. Setelah terjadi talak raj’i maka istri wajib beriddah, hanya bila kemudian suami hendak kembali kepada bekas istri sebelum berakhir masa iddah, maka hal itu dapat dilakukan dengan menyatakan rujuk, tetapi jika dalam masa iddah tersebut bekas suami tidak menyatakan rujuk terhadap bekas istrinya, maka dengan berakhirnya masa iddah itu kedudukan talak menjadi talak ba’in, kemudian jika sudah berakhirnya masa iddah itu suami ingin kembali kepada bekas istrinya maka wajib dilakukan dengan akad nikah baru dan dengan mahar yang baru pula. Berdasarkan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 229[3] yang artinya ;
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.
2.    Talak ba’in, yaitu talak yang tidak memberi hak merujuk bagi bekas suami terhadap bekas istri. Untuk mengembalikan bekas istri ke dalam ikatan perkawinan dengan bekas suami harus melalui akad nikah baru, lengkap dengan rukun dan syarat-syaratnya. Talak ba’in ada dua macam yaitu:
a.       Talak ba’in sughra ialah talak ba’in yang menghilangkan pemilikan bekas suami terhadap istri tetapi tidak menghilangkan kehalalan bekas suami untuk kawin kembali dengan bekas istri. Artinya, bekas suami boleh mengadakan akad nikah baru dengan bekas istri, baik dalam masa iddahnya maupun sesudah berakhir masa iddahnya. Termasuk dalam talak ba’in sughra ialah:
1.      Talak sebelum berkumpul
2.      Talak dengan pergantian harta atau yang disebut khulu’.
3.  Talak karena ‘aib (cacat badan), karena salah seorang dipenjara, talak karena penganiayaan, atau yang semacamnya.
b.    Talak ba’in kubro, yaitu talak yang menghilangkan pemilikan bekas suami terhadap bekas istri serta menghilangkan kehalalan bekas suami untuk kawin kembali dengan bekas istrinya, kecuali setelah bekas istri itu kawin dengan laki-laki lain, telah berkumpul dengan suami kedua itu, serta telah bercerai secara wajar dan telah selesai menjalankan iddahnya. Berdasarkan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 230[4] yang artinya:
Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.
# Ditinjau dari segi cara suami menyampaikan talak kepada istrinya, talak ada beberapa macam, yaitu sebagai berikut:
a.     Talak dengan ucapan, yaitu talak yang disampaikan oleh suami dengan ucapan di hadapan istrinya dan istri mendengar secara langsung ucapan suaminya itu.
b.    Talak dengan tulisan, yaitu talak yang disampaikan oleh suami secara tertulis lalu disampaikan kepada istrinya, kemudian istri membacanya dan memahami isi dan maksudnya.
c.     Talak dengan isyarat, yaitu talak yang dilakukan dalam bentuk isyarat oleh suami yang tuna wicara.
d.    Talak dengan utusan, yaitu talak yang disampaikan oleh suami kepada istrinya melalui perantaraan orang lain sebagai utusan untuk menyampaikan maksud suami itu kepada istrinya yang tidak berada di hadapan suami bahwa suami mentalak istrinya.[5]

      Khulu’
Menurut para fuqaha, khulu’ kadang dimaksudkan maksud yang umum, yakni perceraian dengan disertai sejumlah harta sebagai iwadh yang diberikan oleh istri kepada suami untuk menebus diri agar terlepas dari ikatan perkawinan, baik dengan kata khulu’, mubarra’ah, maupun talak. Kadang dimaksudkan makna yang khusus, yaitu talak atas dasar ‘iwadh sebagai tebusan dari istri dengan kata-kata khulu’ (pelepasan).[6] Jumhur ulama telah sepakat bahwa suami yang menjatuhkan khulu’ tidak dapat merujuk manta istrinya pada masa iddah.[7]
Dasar hukum disyariatkannya khulu’ ialah firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 229 yang artinya:
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.

      Zhihar
Menurut bahasa Arab, kata zhihar terambil dari kata zhahrun yang bermakna punggung. Dalam kaitannya dengan hubungan suami istrinya, zhihar adalah ucapan suami kepada istrinya yang berisi menyerupakan punggung istri dengan punggung ibu suami, seperti ucapan kepada istrinya, “engkau bagiku adalah sebagai punggung ibuku”.
Ucapan zhihar di masa jahiliah dipergunakan oleh suami yang bermaksud mengharamkan menyetubuhi istri dan berakibat menjadi haramnya istri itu bagi suami dan laki-laki selainnya, untuk selama-lamanya.
Sebagai dasar hukum adanya pengaturan zhihar ialah firman Allah surat al-Mujadilah ayat 2-4 dan surat al-Ahzab ayat 4 yang artinya sebagai berikut:
Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih. (al-Mujadilah ayat 2-4)
Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar[1198] itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).” (al-Ahzab ayat 4)
Hukum Islam menjadikan ucapan zhihar itu berakibat hukum, di mana suami menjadi haram menggauli istrinya yang dizhihar sampai suami melaksanakan kaffarah zhihar.[8]

Illa’
Kata illa’ menurut  bahasa adalah masdar dari kata ala-ya’li-alaan sewazan dengan a’thayu i’thitha’an, yang artinya sumpah.
Menurut istilah hukum Islam, ílla’ ialah sumpah suami dengan menyebut nama Allah atau sifatNya yang tertuju kepada istrinya untuk tidak mendekati istrinya itu, baik secara mutlak maupun dibatasi dengan ucapan selamanya, atau dibatasi empat bulan atau lebih.
Dasar hukum pengaturan illa’ ialah firman Allah dalam surat al Baqarah ayat 226-227 yang artinya :
Kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya  diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(226) Dan jika mereka ber'azam (bertetap hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.(227)”.

      Li’an
Kata li’an diambil dari kata al-la’nu, yang artinya jauh dan laknat atau kutukan. Disebut demikian karena suami yang saling berli’an itu berakibat saling dijauhkan oleh hukum dan diharamkan berkumpul sebagai suami istri untuk selama-lamanya, atau karena yang bersumpah li’an itu dalam kesaksiannya yang kelima menyatakan bersedia menerima laknat (kutuk) Allah jika pernyataannya tidak benar.
Menurut istilah hukum Islam, li’an ialah sumpah yang diucapkan oleh suami ketika ia menuduh istrinya berbuat zina dengan empat kali kesaksian bahwa ia termasuk orang yang benar dalam tuduhannya, kemudian pada kesaksian sumpah yang kelima desertai persyaratan bahwa ia bersedia menerima laknat Allah jika ia berdusta dalam tuduhannya itu.
Dasar hukum pengaturan li’an  bagi suami yang menuduh istrinya berbuat zina ialah firman Allah surat an-Nur ayat 6-7 yang artinya sebagai berikut:
“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. (6) Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. (7).”

Demikian sedikit uraian tentang sebab putusnya perkawinan dalam Islam. Semoga bisa sedikit menambah pengetahuan serta wawasan kita tentang perbuatan-perbuatan yang bisa menjadi sebab batalnya hubungan dalam ikatan pernikahan. Perceraian memang dibolehkan dalam Islam. Tapi juga merupakan salah satu hal yang dibenci oleh Allah. Ketika telah menjalin keluarga dalam ikatan hukum yang sah, sudah semestinya dijaga dengan sebaik-baiknya, bagaimana keluarga tersebut bisa bediri kokoh dan selalu harmonis dalam lindungan Allah SWT. Sakinah, mawaddah, wa rahmah. J




[1] Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah Vol. 2 ( Beirut: Dar al Fikr, 1983 ), 206.
[2] Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat (Jakarta: Prenada Media, 2003), 194.
[3] Ibid,. 197.
[4] Ibid,. 199.
[5] Ibid,. 200.
[6] Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh 2 (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), 192.
[7] H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat , Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), 316.
[8] Ibid,. 196.


Artikel arinprasticha Lainnya :

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 arinprasticha | Design by Bamz