Puasa Dan Kaffarah Bagi Yang Membatalkan
PEMBAHASAN
A. PELAKSANAAN
PUASA RAMADHAN
1. Hadits
tentang Perintah Melaksanakan Puasa
وَعَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ إِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَصُوْمُوْا، وَإِذَا
رَأَيْتُمُوْهُ فَاْفْطِرُوْا، فَإِنْ غُّمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْا لَه. متفق
عليه.[1]
Artinya : Dari Ibnu Umar berkata, “Saya
telah mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Jika kalian telah melihatnya [hilal] maka
berpuasalah, dan jika kalian ragu, maka perkirakanlah [genapkanlah tiga puluh hari].” (H.R. Bukhari dan Muslim).
2. Kosakata
Hadits
·
Ketika kalian melihat [hilal] :
إِذَا رَاْيْتُمُوْهُ
·
Maka berbukalah [berhari rayalah] :
فَاْفْطُرُوْا
·
Tentukanlah atau perkirakanlah :
فَاقْدُرُوْا
3. Takhrij
Hadits
إذا راْيتموه فصوموا،
صوم ( الهلال) لرؤيته، إذا راْيتم الهلال فصوموا
خ
صوم 5، 11**،، م صيام 4، 7، 8، 20-17،، ت صوم 5،، ن صيام 8، 9**،10، 11، 12**،
13**، 17، 37،، جه صيام 7 [ في الترجمة ]**،، ذي صوم 1**، 2،، حم 1،
221، 226، 258، 2، 259، 263، 281، 287، 415، 422، 430**، 438، 454، 456، 469، 497، 3،
329، 341، 4، 23**، 5، 42. [2]
Keterangan :
1.
Imam Bukhori dalam kitab Shaum nomor 5
dan 11.
2.
Imam Muslim dalam kitab Shiyam nomor
4, 7, 8, 17-20.
3.
Imam Tirmidzi dalam kitab Shaum nomor
5.
4.
Imam Nasa’I dalam kitab Shiyam nomor
8, 9**, 10, 11, 12**, 13**, 17, dan 37.
5.
Imam Ibnu Majah dalam kitab Shiyam nomor
7 {dalam tarjamah}.
6.
Imam Darimi kitab shaum nomor 1** dan 2.
7.
Imam Ahmad juz 1 nomor 221, 226, 258, juz 2 nomor 259,
263, 281, 287, 415, 422, 430**, 438, 454, 456, 469, 497, juz 3 nomor 329 dan
341, juz 4 nomor 22**, juz 5 nomor 42.
ـ بَابُ مَا جَاءَ اْنَّ الصَّوْمَ لِرُؤْيَةِ اْلهِلَالِ
وَالِإ فْطارله (ت:5)
حَدَثْنَا قُتَيْبَةَ،حَدَثْنَا اْبُو اْلأَحْوَصِ، عَنْ
سِمَاكِ بْنِ حَرْبٍ، عَنْ عَكْرَمَةَ، عَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ((
لَا تَصُوْمُوْا قَبْلَ رَمَضَانَ، صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَاْفْطِرُوْالِرُؤْيَتِهِ،
فَإِنْ حَالَتْ دُوْنَهُ غَبَايَةٌ فَاْكْمِلُوْا ثَلَاثِيْنَ يَوْمًا))
وَفِيْ اْلبَابِ عَنْ اْبِي هُرَيْرَةَ وَابْنِ عُمَرَ قَالَ
اْبُوْ عِيْسَيْ. حَدِيْثٌ ابنِ عَبَّاسٍ حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ. وَ قَدْ رَوِيَ
عَنْهُ مِنْ غَيْرِ وَجْهٍ. [3]
4.
Kandungan Hadits
Hadits yang
disampaikan oleh Ibnu Umar di atas menunjukkan wajibnya berpuasa pada bulan
Ramadhan karena melihat hilal, dan wajibnya berbuka [berhari raya] pada awal
bulan Syawal dengan melihat hilal pula.
Dalam hal ini
terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama’ dalam menafsirkan kalimat [
إذا راْيتموه
] yakni, jika salah seorang diantara kalian melihat hilal, maka dianggap
sebagai ru’yah dalam suatu negara dan berlaku untuk semua penduduk negara
tersebut. Ada juga yang berpendapat sebaliknya, bahwa hal itu tidak berlaku
untuk semua. Dalam masalah ini ada
beberapa pendapat yang masing-masing tidak didukung oleh dalil yang kuat, namun
pendapat yang paling bagus ialah ru’yah suatu negeri berlaku untuk negeri
tersebut beserta daerah-daerah yang berbatasan dengannya dan memiliki
sifat-sifat yang sama.
Adapun terkait
dengan ru’yah, jika seseorang melihat ru’yah sendirian, maka harus melaksanakan
konsekwensinya baik untuk berpuasa (awal ramadhan) maupun berbuka (hari raya),
demikianlah pendapat para Imam dan Aal, juga pendapat imam empat madzhab khususnya
dalam masalah keharusan orang tersebut untuk berpuasa, namun dalam masalah
berbuka (berhari raya) mereka berbeda pendapat. Asy Syafi’i berpendapat bahwa
orang tersebut harus berbuka (berhari raya), namun ia harus merahasiakannya,
sedangkan kebanyakan dari mereka mengatakan bahwa orang tersebut harus terus
berpuasa sebagai bentuk kahati-hatian.
Dari perbedaan ini yang benar adalah,
hendaklah orang tersebut berbuat berdasarkan keyakinannya baik untuk berpuasa
maupun untuk berbuka (berhari raya), dan sebaiknya ia merahasiakannya untuk
menjaga prasangka buruk kepadanya.
Di
dalam riwayat Muslim dari Ibnu Umar, “ Jika kalian terhalang oleh awan, maka
genapkanlah tiga puluh hari.” Dan di dalam riwayat Al-Bukhari dari Ibnu
Umar, “ Maka sempurnakanlah hitungannya tiga puluh hari.” Maknanya,
berbukalah [berhari rayalah] kalian pada hari ke 30, dan sempurnakanlah
hitungan bulan [Ramadhan] hingga 30 hari, dan inilah tafsiran yang paling
benar.[4]
Ketetapan
ini juga disampaikan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
ra. :
حَدَّثْنَا مُحَمَّد بْن زِيَاد قَالَ سَمِعْتُ اْبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ
ا للهُ عَنْهُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّي ا للهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-اْوْ قَالَ-قَالَ
اْبُواْلقَاسِم-صُوْمُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غَبِيَ عَلَيْكُمْ فَاْكْمِلُوْا عِدَّة
شَعْبَان ثَلَاثِيْنَ[5].
B.
KAFFARAT BAGI YANG MEMBATALKAN
PUASA
1.
Hadits yang Menjelaskan tentang Kaffarat karena Jima’
وَعَنْ اْبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: جَاءَ إِلَي النّبِيُّ
صَلَّي اللهُ عَليْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: هَلَكْتُ يَا رَسُوْلُ اللهِ. قَالَ: وَمَا
اْهْلَكَكَ؟ قَالَ: وَقَعْتُ عَلَي اِمْرَاْتِيْ فِيْ رَمَضَانَ. قَالَ: هَلْ تَجِدُ
مَا تُعْتِقُ رَقَبَةً؟ قَالَ: لَا. قَالَ: فَهَلْ تَسْتَطِيْعُ اْنْ تَصُوْمَ شَهْرَيْنِ
مُتَتَبِعَيْنِ؟ قَالَ: لَا. قَالَ: فَهَلْ تَجِدُ مَا تُطْعِمُ سِتَّيْنَ مِسْكِيْنًا؟
قَالَ: لَا. ثُمَّ جَلَسَ فَاْتِيَ النَّبِيُّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ
فِيْهِ تَمَرٌ، فَقَالَ: تَصَدَّقْ بِهَذَا، قَالَ: اْعَلَي اْفْقَرَ مِنَّا؟ فَمَا
بَيْنَ لَا بَتَيْهَا اْهْل بَيْتٍ اْحْرَجَ إِلَيْهِ مِنَّا، فَضَحِكَ النَّبِيُّ
صَلَي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّي بَدَتْ اَنْيَابُهُ. ثُمَّ قَالَ: اذْهَبْ
فَاْطْعِمْهُ اْهْلَكَ.رواه السبعة واللفظ لمسلم.[6]
Artinya:
Dari Abu Hurairah ra. berkata, “Seseorang datang kepada Nabi SAW, lalu berkata,
”Celaka diriku wahai Rasulullah. “ Beliau bertanya, “Apa yang membuatmu
celaka?” Ia menjawab, “ Aku telah berjima’ dengan istriku pada siang Ramadhan.”
Maka beliau bersabda, “Apakah engkau bisa membebaskan budak?” Ia menjawab,
“Tidak.” Beliau bersabda, “Apakah engkau mampu berpuasa selama dua bulan
berturut-turut?” Ia menjawab, “Tidak.” Beliau bersabda, “Apakah engkau memiliki
sesuatu untuk memberi makan enam puluh orang miskin?” Ia menjawab, “Tidak.”
Lalu orang itu duduk. Kemudian Rasulullah SAW memberinya sekeranjang kurma,
seraya bersabda, “Bersedekahlah dengan ini.” Ia berkata, “Apakah [diberikan]
kepada orang yang lebih fakir dariku? Sesungguhnya diantara dua tanah hitam ini
tidak ada orang yang lebih membutuhkan kurma tersebut daripada aku.” Maka Nabi SAW tersenyum hingga nampak gigi
taringnya, lalu bersabda, “Pergilah dan berilah makan keluargamu dengannya.”
(HR. Sab’ah dengan lafadz dari Muslim).
2.
Kosakata Hadits
·
Celaka atau siksa :
هَلَكْتُ من فعل هَلَكَ
· Membebaskan
budak :
تُعْتِقُ رَقَبَةً
· Dua bulan
berturut-turut :
شَهْرَيْنِ مُتَتَبِعَيْنِ
· Memberi makan :
تُطْعِمُ
· Kurma :
تَمَرٌ
· Gigi taringnya :
اْنْيَابُهُ
3.
Takhrij Hadits
وقعت علي
امراْتي، باْهلي في رمضان، واْنا صائم
Keterangan :
1. Shahih Bukhari bab Shiyam nomor 30, bab
Hibah nomor 11, bab Nafaqot nomor 13,
bab Kafarat nomor 2-4.
2. Shahih Muslim bab Shaum nomor 81.
3. Sunan Abu Dawud bab Shaum nomor 37.
4. Sunan Ibnu Majah bab Shiyam nomor 14.
5. Sunan Ahmad juz 2 nomor 241, juz 6 nomor
286.
بَابُ نَفَقَةُ المعسر عَلَي اَهْلِهِ، حَدَثْنَا اَحْمَد بْن يُوْنُس حَدَثُنَا
إِبْرَاهِيْم بْن سعد حَدَثْنَا ابن شِهَاب عَنْ حَمِيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
عَنِ اْبي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ اْتَي النَّبِي صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ رَجُلٌ فَقَالَ هَلَكْتُ قَالَ وَ لَمْ قَالَ وَقَعَتْ عَلَي اْهْلِيْ فِيْ
رَمَضَانَ قَالَ: فاْعتق رَقَبَةً، قَالَ لَيْسَ عِنْدِيْ قَالَ فَصُمْ شَهْرَيْنِ
مُتَتَابِعَيْنِ،قَالَ لاَاْسْتَطِيْعَ، فَاْطْعِمْ سِتِيْنَ مِسْكِيْنًا قَالَ لَا
اَحَدَ فَاْتِيَ النَّبِيُ صَلَي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيْهِ تَمَرٌ
فَقَالَ اْيْنُ السَّائِلُ؟ قَالَ هَا اْنَاذَا قَالَ تَصَدَّقْ بِهَذَا قَالَ عَلَي
اْحْوَج مِنَّا يَا رَسُوْلُ الله؟ فَوَالَّذِيْ بعثك بِا الْحَقِّ مَا بَيْنَ لَا
بتيها اَهْل بَيْتٍ اْحْوَج مِنَّا، فَضَحِكَ النَّبِيُ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
حَتَّي بَدَتْ اْنْيَابُهُ قَالَ: فَانْتُمْ إِذَنْ[8]
4.
Kandungan Hadits
Hadits ini
menunjukkan wajibnya kafarat bagi orang yang berjima’ dengan sengaja pada siang
hari di bulan Ramadhan. An Nawawi mengatakan bahwa hukum ini adalah ijma’
ulama’, baik orang tersebut kaya atau miskin. Salah satu pendapat Asy Syafi’i
mengatakan, bahwa jika orang tersebut dalam keadaan miskin maka kewajiban
tersebut berada dalam tanggungannya-hingga ia mampu-, sedangkan pendapat
keduanya adalah bahwa kewajiban tersebut lepas dari tanggungjawabnya, karena
dalam kisah tersebut Rasulullah tidak menjelaskan kalau orang tersebut masih
menanggung kafarat.
Zhahir hadits
ini mengisyaratkan bahwa kafarat tersebut dipilih secara berurutan, maka tidak
diperbolehkan memilih nomor kedua jika mampu melakukan nomor pertama, begitu
seterusnya, karena kafarat ini disebutkan berurutan di dalam riwayat Ash
Shahihain.[9]
Para ulama’
sepakat bahwa wajib membayar kafarat bagi orang yang bersetubuh dengan sengaja
dan ingat di siang hari bulan Ramadhan, akan tetaoi mereka berbeda pendapat
tentang orang yang lupa dan terpaksa.
Imam Abu
Hanifah berpendapat, “Bahwa ia wajib qadla’ dan tidak wajib membayar kafarat.” Sedang Imam Syafi’i
dan mayoritas para ulama’ berpendapat, “Bahwa orang yang bersetubuh karena lupa
maka ia tidak wajib qadla’ dan tidak wajib membayar kafarat.” Pendapat ini
riwayat Ahmad dan dipilih oleh sejumlah pengikutnya diantaranya Syaikh
Taqiyyudin, Ibnul Qayim dan lainnya.
Adapun pendapat
yang masyhur dari madzhab Ahmad dan diikuti oleh sahabatnya dan ahlu dzahir
yaitu wajib membayar kafarat dan adanya kebatalan puasa karena persetubuhan
yang sengaja dan lupa, yang tidak tahu dan terpaksa karena jima’ merupakan hal
yang paling berat dari yang membatalkan puasa karena di dalamnya terdapat
syahwat dan kelezatan yang meniadakan tujuan dari puasa dan menghadap Allah.
Allah SWT berfirman dalam hadits qudsi, ”Ia meninggalkan makanan dan
syahwatnya karena aku.” (HR. Muttafaq ‘Alaih).
Demikian ini adalah hukum yang berkaitan
dengan pihak suami, sedangkan pihak istri yang telah dijima’, berdasarkan hadits
di atas tidak wajib atasnya kafarat, karena dari peristiwa tersebut hanya wajib
satu kaffarat yang tidak wajib atas istri, inilah pendapat yang shahih dari dua
pendapat Asy Syafi’i dan didukung oleh Al Auza’i.[10]
KESIMPULAN
Dari pembahasan
di atas dapat diambil kesimpulan bahwa :
1.
Apabila seseorang telah melihat hilal, maka diwajibkan baginya
untuk berpuasa (Ramadhan), dan diwajibkan pula bagi seeorang untuk berbuka
(berhari raya) ketika telah melihat hilal. Untuk menanggapi sekian perbedaan
pendapat di kalangan para ulama’ dalam penentuan hilal untuk plaksanaan puasa
ataupun berhari raya, yang paling benar adalah hendaklah orang tersebut berbuat
sesuai dengan keyakinannya baik untuk bepuasa atau berbuka (berhari raya), dan
sebaiknya ia merahasiakannya untuk menjaga orang lain dari prasangka buruk
kepadanya.
Hal
ini berdasar pada riwayat Muslim dari ibn Umar,”Jika kalian terhalang oleh
awan, maka genapkanlah tiga puluh hari.” Dan dalam riwayat Al Bukhary dari
Ibnu Umar, “Maka sempurnakanlah hitungannya tiga puluh hari.”
2.
Apabila seseorang berjima’ dengan sengaja pada siang hari di bulan
Ramadhan, maka diwajibkan baginya untuk membayar kafarat yang dapat berupa :
membebaskan budak, berpuasa selama dua bulan berturut-turut, memberi makan enam
puluh orang miskin. Dari keterangan hadits yang menjelaskan tentang hal ini
mengisyaratkan bahwa kafarat tersebut dipilih secara berurutan.
Adapun bagi orang yang birjima’ di siang hari di bulan
Ramadhan karena lupa dan terpaksa, dari
kalangan ulama’ terdapat perbedaan pendapat. Menurut Imam Abu Hanifah, “Bahwa
ia wajib qadla’ dan tidak wajib membayar kafarat.” Menurut Imam Asy
Syafi’i, “Bahwa orang yang bersetubuh karena lupa maka ia tidak wajib qadla’
dan tidak wajib membayar kafarat.” Sedangkan menurut pendapat yang masyhur
dari madzhab Ahmad, “Bahwa ia wajib membayar kafarat dan adanya kebatalan
puasa karena jima’ baik dengan sengaja dan lupa, maupun yang tidak tahu dan
lupa. Karena di dalamnya terdapat syahwat dan kelezatan yang meniadakan tujuan
dari puasa dan menghadap Allah.”
DAFTAR
PUSTAKA
Ash
Shan’ani, Muhammad bin Ismail, Subulus Salam Syarah Bulughul Maram,
Jakarta, Darus Sunah Press, 2007.
Al
Bassam, Abdullah bin Abdurrahman, Syarah Bulughul Maram, Jakarta,
Pustaka Azzam, 2006.
Alawi
‘Abbas, Al Maliki dan An Nuuri, Sulaiman Hasan, Ibanatul Ahkam, Juz 2.
Imam
Bukhory, Shahih Bukhory, Juz 3.
Imam
Tirmidzi, Sunan At Tirmidzi, Juz 2.
Mu’jam
Al Mufaras.
[1] Muhammad ibn Isma’il As San’any, Subulus salam, Siyam no. 3,
juz 2, hal 151.
[2] Mu’jam Al Mufarras,
[3] Imam Tirmidzi, Sunan At Tirmidzi, Siyam, juz 2, no 5, hal 158
[4] Ash-shan’ani, Muhammad bin Ismail Al-Amir, Subulus Salam-Syarah
Bulughul Maram, Terj. Muhammad Isnan dkk, (Jakarta: Darus Sunah Press,
2007),110.
[6] Ibid, no. 25, hal 163.
[7] Ibid.
[8] Imam Bukhory, Shahih Bukhary,
Nafaqoot no. 13, juz 3, hal 289.
[9] Ibid.
[10] Al Bassam, Abdullah bin Abdurrahman, Syarah Bulughul Maram, Terj.
Thahirin Suparta dkk, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006) 561.
0 komentar:
Post a Comment