Anjak Piutang (factoring)
A.
Pengertian
Anjak Piutang (Factoring)
Perusahaan anjak piutang atau yang
lebih dikenal dengan nama factoring adalah perusahaan yang kegiatannya
adalah melakukan penagihan atau pembelian, atau pengambilalihan atau
pengelolaan hutang piutang suatu perusahaan dengan imbalan atau pembayaran
tertentu milik perusahaan.
Kemudian pengertian anjak piutang
menurut Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251/KMK.013/1998 Tanggal 20 Desember
1998 adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk
pembelian dan atau pengalihan serta pengurusan piutang atau tagihan jangka
pendek suatu perusahaan dari transaksi perdagangan dalam atau luar negeri.[1]
Menurut keputusan Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Departemen Keuangan (Bapepam-LK) Nomor:
PER-03/BL/2007, pengertian Anjak Piutang (factoring) adalah kegiatan
pengalihan piutang dagang jangka pendek suatu perusahaan berikut pegurusan atas
piutang tersebut sesuai dengan prinsip syari’ah (Pasal 1 angka 1). Anjak
Piutang merupakan pengalihan utang yang dilakukan berdasarkan akad Wakalah
bil Ujrah kepada pihak lain (al-wakil) dalam hal-hal yang boleh
diwakilkan dengan pemberian keuntungan (ujrah) (Pasal 8 ayat 3).[2]
B.
Para
Pihak dalam Factoring
Dari definisi di atas dapat
diuraikan, bahwa para pihak yang terlibat dalam perjanjian anjak piutang (factoring)
adalah sebagai berikut:
a.
Perusahaan
Factoring (factoring company) merupakan badan usaha yang
melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk pembelian dan atau pengalihan serta
pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek dari suatu perusahaan.
b.
Pihak
penjual piutang (klien) adalah berupa perusahaan yang menjual atau
mengalihkan piutang atau tagihannya kepada perusahaan factoring.
c.
Nasabah
(customer), merupakan pihak yang berhutang kepada klien, sehingga
piutang tersebut oleh klien akan dijual atau dialihkan kepada factoring.
Kemudian objek kegiatan dalam
kegiatan factoring adalah berupa pengalihan piutang. Bentuk piutang
tersebut merupakan tagihan jangka pendek berasal dari transaksi perdagangan
yang dilakukan secara tidak tunai. Menurur Munir Fuadi, piutang dalam
perjanjian factoring pada umumnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a.
Piutang
terdiri dari seluruh tagihan berdasarkan pada faktur-faktur dari perusahaan
yang belum jatuh tempo.
b.
Piutang
yang timbul dari surat-surat berharga yang belum jatuh tempo.
c.
Piutang
yang timbul dari proses pengiriman barang.
C.
Kegiatan
Anjak Piutang (Factoring)
Kegiatan
perusahaan anjak piutang di Indonesia diatur berdasarkan Surat Keputusan
Menetri Keuangan Nomor 1251/KMK.013/1998 tanggal 20 Desember 1998, yaitu diantaranya:
1.
Pengembilalihan
tagihan suatu perusahaan dengan fee tertentu.
2.
Pembelian
piutang perusahaan dalam suatu transaksi perdagangan dengan harga yang sesuai
dengan kesepakatan.
3.
Mengelola
usaha penjualan kredit suatu perusahaan, artinya perusahaan anjak piutang dapat
mengelola kegiatan administrasi kredit suatu perusahaan sesuai kesepakatan.[3]
Terkait
dengan anjak piutang (factoring) sebagai lembaga pembiayaan yang
menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah, Peraturan Bapepam-LK
No: PER-4/BL/2007 tentang akad-akad yang digunakan dalam Kegiatan Perusahaan
Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syari’ah, menetapkan bahwa:
1.
Hak
dan kewajiban perusahaan pembiayaan (wakil / factor) adalah sebagai
berikut (Pasal 17):
a.
Menagih
piutang pengalih piutang (muwakkil) kepada pihak yang berhutang (muwakkal
‘alaih).
b.
Dapat
memperoleh upah (ujrah) atas jasa pengalihan piutang (muwakkil)
dalam hal diperjanjikan.
c.
Meminta
jaminan dari pengalih piutang (muwakkil) (with recourse) atau
tidak meminta jaminan dari pengalih piutang (muwakkil) (without
recourse).
d.
Membayar
atau melunasi hutang pihak yang berhutang (muwakkal ‘alaih) kepada
pengalih piutang (muwakkil).
2.
Hak
dan kewajiban pengalih utang (muwakkil / clien) antara lain (Pasal 18):
a.
Memperoleh
pelunasan piutang dari perusahaan pembiayaan selaku wakil.
b.
Membayar
upah (ujrah) atas jasa pemindahan piutang sesuai yang diperjanjikan.
c.
Dapat
menyediakan jaminan kepada perusahaan pembiayaan selaku wakil dalam hal
diperjanjikan.
d.
Memberitahukan
kepada pihak yang berhutang (muwakkal ‘alaih) mengenai transaksi
pemindahan piutang kepada perusahaan pembiayaan selaku wakil.
3.
Hak
dan kewajiban pihak yang berhutang (muwakkal ‘alaih / customer) antara
lain (Pasal 19):
a.
Memperoleh
informasi yang jelas mengenai transaksi pemindahan hutangnya dari pengalih
piutang (muwakkil) kepada perusahaan pembiayaan selaku wakil.
b.
Membayar
atau melunasi hutang kepada perusahaan pembiayaan selaku wakil.
Piutang (muwakkal ‘alaih)
yang menjadi objek factoring dengan akad wakalah bil ujrah adalah
piutang jangka pendek yang jatuh temponya kurang dari satu tahun yang memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a.
Piutang
pengalih piutang (muwakkil) yang dipindahkan kepada perusahaan
pembiayaan selaku wakil harus dipastikan oleh para pihak sebelum jatuh tempo
dan tidak dalam ketegori piutang macet.
b.
Piutang
yang dialihkan bukan berasal dari transaksi yang diharamkan syari’at Islam.
c.
Piutang
pengalih piutang (muwakkil) harus dibuktikan dengan dokumen tagihan dan
dipastikan keasliannya oleh para pihak (Pasal 20).
Perjanjian
dengan akad wakalah bil ujrah antara perusahaan pembiayaan selaku wakil,
pengalih piutang (muwakkil), dan pihak yang berhutang (muwakkal
‘alaih) wajib ditetapkan secara tertulis. Dalam wakalah bil ujrah kurang
lebih memuat hal-hal sebagai berikut:
a.
Identitas
perusahaan pembiayaan selaku wakil, pengalih piutang (muwakkil),
dan pihak yang berhutang (muwakkal ‘alaih).
b.
Nilai,
jumlah dan waktu jatuh tempo piutang (muwakkal bih).
c.
Ketentuan
mengenai upah (ujrah) (jika ada).
d.
Ketentuan
jaminan yang diperoleh perusahaan pembiayaan (wakil) (jika ada).
e.
Ketentuan
mengenai cara-cara pembayaran hutang atau piutang oleh perusahaan pembiayaan
selaku wakil. Pengalih piutang (muwakkil) dan pihak yang berhutang (muwakkal
‘alaih).
f.
Hak
dan tanggung jawab masing-masing pihak (Pasal : 21).
D.
Ketentuan
Syariah terhadap Anjak Piutang (Factoring)
Salah
satu kegiatan usaha yang diperlukan masyarakat adalah kegiatan pembelian
piutang dagang jangka pendek yang biasa disebut anjak piutang. Karena itu agar
transaksi anjak piutang dapat dilakukan dengan prinsip syari’ah, Dewan Syari’ah
Nasional Majelis Ulama’ Indonesia (DSN-MUI) memandang perlu menetapkan fatwa
tentang anjak piutang syari’ah untuk dijadikan pedoman. Menurut fatwa No.
67/DSN-MUI/III/2008, ketentuan akad anjak piutang dapat disimpulkan sebagai
berikut:
·
Akad
yang dapat digunakan dalam anjak piutang secara syari’ah adalah wakalah bil
ujrah.
·
Pihak
yang berpiutang mewakilkan kepada pihak lain untuk melakukan pengurusan
dokumen-dokumen penjualan kemudian menagih piutang kepada pihak lain yang
ditunjuk oleh pihak yang berhutang.
·
Pihak
yang ditunjuk menjadi wakil dari yang berpiutang untuk melakukan penagihan (collection)
kepada pihak yang berutang atau pihak lain yang ditunjuk oleh pihak yang berutang
untuk membayar.
·
Pihak
yang ditunjuk menjadi wakil dapat memberikan dana talangan (qard) kepada
pihak yang berpiutang sebesar nilai piutang.
·
Atas
jasanya untuk melakukan penagihan piutang tersebut, pihak yang ditunjuk menjadi
wakil dapat memperoleh ujrah/fee.
·
Besar
ujrah harus disepakati pada saat akad dan dinyatakan dalam bentuk
nominal, bukan dalam bentuk prosentase yang dihitung dari pokok piutang.
·
Pembayaran
ujrah dapat diambil dari dana talangan atau sesuai kesepakatan dalam
akad.
·
Antara
akad wakalah bil ujrah dan akad qard, tidak boleh adanya
keterkaitan (ta’alluq). [4]
[1]
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2001), hal 270-271.
[2]
Burhanuddin, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syari’ah, (Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2010), hal193-194.
[3]
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, hal 272.
[4] Burhanuddin,
Hukum Bisnis Syari’ah, (Yogyakarta: UII Press, 2011), hal 186-189.
0 komentar:
Post a Comment