Status Hukum Gratifikasi
Pada
masa sekarang ini, gratifikasi berkaitan atau sama dengan hadiah yang diberikan
kepada pejabat publik yang merupakan harta yang diberikan pihak yang
berkepentingan (shahib
al-mashlahah), bukan sebagai imbalan karena urusannya
terselesaikan, tetapi karena pejabat publik itulah orang yang secara langsung
menyelesaikan urusannya, atau dengan bantuannya urusan tersebut terselesaikan.
Apakah hadiah diberikan karena keinginan untuk menyelesaikan urusan tertentu,
setelah urusan selesai, atau pada saatnya ketika dibutuhkan, pada konteks ini
hadiah kepada pejabat publik tersebut statusnya sama dengan suap (risywah). Dengan
kata lain, jika hadiah datang karena jabatan, hukumnya haram. Namun, jika
hadiah datang bukan karena jabatan, tetapi karena hubungan kekerabatan atau
pertemanan yang lazim saling memberi hadiah, gratifikasi seperti ini hukumnya
halal. Inilah yang dinyatakan baik oleh al-Sarakhsi maupun mayoritas ulama.
Dalam
fikih ada penegasan, apabila status gratifikasi haram, dilaporkan atau tidak
kepada negara, statusnya tetap haram. Ketentuan fikih ini agaknya berbeda
dengan yang dinyatakan dalam UU No 20 Tahun 2001. Menurut UU ini, setiap
gratifikasi yang diperoleh pegawai negeri atau penyelenggara negara adalah
suap, tetapi ketentuan yang sama tidak berlaku jika penerima melaporkan
gratifikasi itu ke KPK paling lambat 30 hari kerja terhitung sejak tanggal
gratifikasi diterima. Ketentuan UU ini tampaknya kalah tegas dibanding
pemikiran fikih sehingga dikhawatirkan justru terkesan melegalkan praktik suap
dan hadiah yang diharamkan.
Dalam
fikih terdapat metode yang dinamakan sadd
al-dzari’ah, yaitu upaya preventif agar tidak terjadi sesuatu yang
menimbulkan dampak negatif. Hukum Islam tidak hanya mengatur perilaku manusia
yang sudah dilakukan, tetapi juga yang belum dilakukan. Hal ini selajur dengan
salah satu tujuan hukum Islam, yakni mewujudkan kemaslahatan dan menghindari
kerusakan (mafsadah).
Penekanannya pada ”akibat dari perbuatan” tanpa harus melihat motif dan niat si
pelaku. Jika akibat atau dampak yang terjadi dari suatu perbuatan adalah
sesuatu yang dilarang atau mafsadah,
perbuatan itu jelas harus dicegah. Artinya, jika suatu perbuatan yang belum
dilakukan diduga keras akan menimbulkan kerusakan (mafsadah),
dilaranglah hal-hal yang mengarahkan pada perbuatan itu.[1]
[1] http://nasional.kompas.com/read/2013/02/15/06131937/Fikih.Gratifikasi, diakses
tanggal 4-4-2014.
0 komentar:
Post a Comment