Gratifikasi Perspektif Fikih
Masa sekarang ini gratifikasi sering disebut sebagai uang suap atau
dalam bahasa Arab dinamakan rishwah yang diartikan
sebagai “sesuatu yang diberikan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan
atau sesuatu yang diberikan dalam rangka membenarkan yang batil/salah atau
menyalahkan yang benar.[1] Dalam syariat islam,
perkara suap-menyuap ini ini sangat ditentang dan diancam dengan ancaman yang
mengerikan, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassallam , beliau bersabda :
لعنة الله على الراشي والمرتشي
“Allah melaknat orang yang memberi suap, &
yang menerima suap” (HR. Ahmad & selainnya dari Abdullah bin Amr’
Rhadiyallahu ‘anhuma , Dishohihkan Al-Albani dlm Shohihul Jami’ 5114 & dlm
kitab-kitab
beliau lainnya)”[2]
Perbuatan risywah disepakati oleh para
ulama’ adalah haram, khususnya risywah yang terdapat unsur membenarkan
yang salah dan menyalahkan yang harusnya benar. Akan tetapi para ulama’ menganggap
halal sebuah bentuk suap yang dilakukan dalam rangka menuntut atau
memperjuangkan hak yang mestinya diterima oleh pihak pemberi suap atau dalam
rangka menolak kedzaliman, kemadaratan, dan ketidakadilan.
Akan
tetapi dalam bentuk seperti inipun, suap tetap tidak baik tetap dilakukan
apalagi dalam suasana bangsa Indonesia yang sedang berusaha keras memberantas
korupsi, kolusi, dan nepotisme, jelas justru akan sangat rentan. Sebab orang
pati akan berupaya mencari celah dan alasan agar bisa mendapat hak atau supaya
selamat dari ketidakadilan dan kedzaliman. Sehingga akhirnya ia melakukan
penyuapan kepada pejabat atau kepada pihak yang berwenang.[3]
Kembali
ke hukum syariatnya, benarkah pemberian kepada pagawai adalah sesuatu yang
diperbolehkan untuk diterima ??
Telah
datang hadits dari Rasulullah Shalallahu
Alaihi Wassallam yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim :
حَدِيْثُ أَبِيْ حُمَيْدِ السَّاعِدِيِّ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِسْتَعْمَلَ عَامِلاً فَجَاءَهُ الْعَامِلُ
حِيْنَ فَرَغَ مِنْ عَمَلِهِ فَقَالَ: يَارَسُوْلَ اللهِ هـذَا لَكُمْ وهـذَا
أُهْدِيَ لِيْ. فَقَالَ لَهُ: أَفَلاَ قَعَدْتَ فِى بَيْتِ أَبِيْكَ هُوَ أَهْلُهُ،
ثُمَّ قَالَ: أَمَّا بَعْدُ، فَمَا بَالُ الْعَامِلِ نَسْتَعْمِلُهُ
فَيَأْتِـيْنَا فَيَقُوْلُ: هـذَا مِنْ عَمَلِكُمْ وَهـذَا أُهْدِيَ لِيْ أَفَلاَ
قَعَدَ فِيْ بَيْتِ أَبِيْهِ وَأُمِّهِ فَنَظَرَ هَلْ يُهْدَى لَهُ أَمْ لاَ؟ فَوَ
الَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَيَغُلُّ أَحَدُكُمْ مِنْهَا شَيْـأً إِلاَّ
جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى عُنُقِهِ إِنْ كَانَ بَعِيْرًا
جَاءَ بِهِ لَهُ رُغَاءٌ وَإِنْ كَانَتْ بَقَرَةً جَاءَ بِهَا خُوْارٌ وَإِنْ
كَانَتْ شَاةً جَاءَ بِهَا تَيْعَرُ فَقَدْ بَلَّغْتُ فَقَالَ أَبُوْ حُمَيْدٍ:
ثُمَّ رَفَعَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَهُ حَتَّى
إِنَّا لَنَنْظُرُ إِلَى عُفْرَةِ إِبْطَيْهِوَأُمِّكَ فَنَظَرْتَ
أَيُهْدَى لَكَ أَمْ لاَ ؟ ثُمَّ قَامَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَشِيَّةً بَعْدَ الصَّلاَةِ فَتَشَهَّدَ وَأَثْنَى عَلَى اللهِ بِمَا
Abu
Humaidi Assa’idy Radiyallahu ‘anhu . berkata, “Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wassallam . mengangkat seorang pegawai untuk menerima sedekah/zakat
kemudian sesudah selesai, ia datang kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam .
dan berkata, “Ini untukmu dan yang ini untuk hadiah yang diberikan orang
padaku.” Maka Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam . bersabda kepadanya,
“Mengapakah engkau tidak duduk saja di rumah ayah atau ibumu apakah diberi
hadiah atau tidak (oleh orang)?” Kemudian sesudah shalat, Nabi Shalallahu
‘alaihi wassallam . berdiri, setelah tasyahud dan memuji Allah selayaknya, lalu
bersabda. “Amma ba’du, mengapakah seorang pegawai yang diserahi amal, kemudian
ia datang lalu berkata, “Ini hasil untuk kamu dan ini aku berikan hadiah,
mengapa ia tidak duduk saja di rumah ayah atau ibunya untuk menunggu apakah ia
diberi hadiah atau tidak?. Demi Allah yang jiwa Muhammad di tangan-Nya tiada
seorang yang menyembunyikan sesuatu (korupsi), melainkan ia akan menghadap di
hari kiamat memikul di atas lehernya. Jika berupa unta bersuara, atau lembu
yang menguak atau kambing yang mengembik, maka sungguh aku telah menyampaikan.”
Abu Humaidi berkata, “kemudian Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam ., mengangkat
kedua tangannya sehingga aku dapat melihat putih kedua ketiaknya.”[4]
Dan
sebagai tambahan untuk penguat hati yang masih ragu, sebuah hadits Rasulullah
Shalallahu Alaihi Wassallam tentang hadiah bagi para pegawai, beliau bersabda :
هدايا العمال غلول
“Hadiah
untuk pegawai adalah khianat” (HR. Ahmad & Baihaqi dari Abu Humaidi
Assa’idy Rhadiyallahu ‘anhu , di shohihkan Al-Albani dalam Shohihul
Jami’ No. 7021)
Maka
bagi orang-orang yang beriman, hendaknya taat & tunduk dengan apa-apa yang
telah diperintahkan oleh Allah & RasulNya, jangan lagi mencari
pembenaran-pembenaran untuk mengikuti hawa nafsunya. Allah berfirman :
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ
إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ
أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
“Dan
tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin & tak (pula) bagi perempuan yang
mukmin, apabila Allah & Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan
ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. & Barang siapa
mendurhakai Allah & Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang
nyata.” (QS. Al-Ahzab : 36).
[1]
Muhammad Nurul
Irfan, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Dalam Perspektif Fikih Jinayah, (Jakarta:
Badan Litbang dan Diklat Departemen RI, 2009), 106.
[2] http://www.blogsoto.com/hukum-suap-menyuap-dan-gratifikasi-dalam-syariat-islam-muamalah-20.htm , diakses
tanggal 4-4-2014.
[3] Muhammad Nurul
Irfan, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Dalam Perspektif Fikih Jinayah, 112.
[4]http://www.darussalaf.or.id/fiqih/hukum-suap-menyuap-dan-gratifikasi-dalam-syariat-islam/
diakses tanggal 4-4-2014.
0 komentar:
Post a Comment