Bai’ al Wafa’ (Perspektif Para Ulama')

Artikel terkait : Bai’ al Wafa’ (Perspektif Para Ulama')


Secara etimologi, al’ bai’ berarti jual beli, dan al wafa’ berarti pelunasan/penutupan utang. Bai’ al wafa’ adalah salah satu bentuk akad (transaksi) yang muncul di Asia Tenggara (Bukhari dan Balkh) pada pertengahan abad ke-5 Hijriah dan merambat ke Timur Tengah.
         Secara terminologi Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, bai’ al wafa’ atau jual beli dengan hak membeli kembali adalah jual beli yang dilangsungkan dengan syarat bahwa barang dijual tersebut dapat dibeli kembali oleh penjual apabila tenggang waktu yang disepakati telah tiba.
image from : auritsniyalfirdaus.blogspot.co.id

Menurut Dr. Nasrun Haroen dan Mustafa Ahmad az-Zarqa yaitu tokoh fiqih dari Suriah, mendefenisikan bai’ al wafa’ dengan  jual beli yang dilangsungkan dua pihak yang dibarengi dengan syarat bahwa barang yang dijual tersebut dapat dibeli kembali oleh penjual apabila tenggang waktu yang ditentukan telah tiba.
Bai’ al wafa’ tidak sama dengan rahn (jaminan utang), karena rahn dalam islam hanya merupakan jaminan utang, sementara barang yang dijadikan jaminan tidak dapat dimanfaatkan oleh pemberi utang. Apabila pemberi utang memanfaatkan barang jaminan tersebut, maka hasil yang dimakannya atau dimanfaatkannya itu termasuk dalam kategori riba. Hal ini sejalan pula dengan sebuah hadist Rasulullah SAW :”Setiap utang yang dibarengi dengan pemanfaatan (untuk pemberi utang ) adalah riba.” (HR. al-Bukhari)
Perbedaan mendasar antara bai’ al wafa’ dan rahn (gadai) adalah :
1.    Dalam akad rahn pembeli tidak sepenuhnya memilki barang yang dibeli (karena harus dikembalikan kepada penjual), sedangakan dalam bai’ al wafa’ barang itu sepenuhnya menjadi pemilik pembeli selama tenggang waktu yang disepakati.
2.  Dalam ar-rahn, jika harta yang digadaikan (al-marhun) rusak selama ditangan pembeli, maka kerusakan itu menjadi tanggung jawab pemegang barang, sedagkan dalam  bai’ al wafa’ apabila kerusakan itu bersifat total baru menjadi tanggung jawab pembeli, tetapi apabila kerusakannya tidak parah, maka hal itu tidak merusak akad.
3.    Dalam ar-rahn segala biaya yang diperlukan untuk pemeliharaan barang menjadi tanggung jawab pemilik barang, sedangkan dalam bai’ al wafa’ biaya pemeliharaan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pembeli, karena barang itu telah menjadi pemiliknya selama tenggang waktu yang telah disepakati.
4.    Kedua belah pihak tidak boleh memindahtangankan barang itu ke pihak ketiga.
Ketika uang sejumlah pembelian semula dikembalikan penjual kepada pembeli setelah tenggang waktu jatuh tempo, pembeli wajib memberikan barang itu kepada penjual.
          Adapun persamaan antara keduanya adalah sebagai berikut :
1.     Kedua belah pihak tidak dapat memindahtangankan barang tersebut ke pihak ketiga.
2.     Ketika uang sejumlah pembelian semula dikembalikan penjual kepada pembeli setelah tanggang waktu jatuh tempo, pembeli wajib memberikan barang tersebut kepada penjual.
Menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, dari gambaran bai’ al wafa’ di atas terlihat bahwa akadnya terdiri atas tiga bentuk, yaitu :
1.     Pada saat akad terjadi itu merupakan jual beli.
2.    Ketika harta itu telah berada di tangan pembeli, akad ini berbentuk ijarah (pinjam-meminjam/sewa-menyewa), karena barang tersebut harus dikembalikan sekalipun pemegang harta itu berhak memanfaatkan dan menikmati hasil barang tersebut selama waktu yang disepakati.
3.     Di akhir akad, bai’ al wafa’ ini seperti gadai, karena dengan jatuhnya tempo yang disepakati kedua belah pihak, penjual harus mengembalikan uang pembeli sejumlah harga yang diserahkan pada awal akad, dan pembeli harus mengembalikan barang yang dibelinya itu kepada pejual secara utuh. Dari sini terlihat bahwa bai’ al wafa’ diciptakan dalam rangka menghindari riba, sekaligus sarana tolong menolong antara pemilik modal dan orang yang membutuhkan uang dalam jangka waktu tertentu.
Oleh sebab itu, ulama Mazhab Hanafi menganggap bai’ al wafa’ adalah sah dan tidak termasuk dalam larangan Rasulullah SAW yang melarang jual beli yan dibarengi dengan syarat. Karena sekalipun disyaratkan bahwa harta itu harus dikembalikan kepada pemilik semula, namun pengembaliannya itupun melalui akad jual beli. Di samping itu, inti dari jual beli ini adalah dalam rangka menghidarkan masyarakat melakukan suatu transaksi ynag mengandung riba. Kemudian dalam prosese pemanfaatan objek akad (barang yang dijual), statusnya tidak sama dengan rahn, karena barang tersebut benar-benar telah dijual kepada pembeli. Seseorang yang telah membeli suatu barang berhak sepenuhnya memanfaatkan barang tersebut. Hanya saja, barang itu harus dijual kembali kepada penjual semula seharga penjualan pertama. Menurut mereka, inipun bukan suatu cacat dalam jual beli.
Dalam kitab Raddul Muhtar karya Ibnu Abidin (salah satu pengikut Mazhab Hanafi), beliau berpendapat bahwa hukum jual beli al wafa’ diperbolehkan, dengan alasan untuk menghindarkan masyarakat dari riba dalam pinjam-meminjam.
Hal itu dikarenakan, di antara orang kaya ketika itu tidak mau,meminjamkan uangnya tanpa ada imbalan yang mereka terima. Sementara, banyak para peminjam uang tidak mampu melunasi utangnya akibat imbalan yang harus mereka bayarkan bersamaan dengan sejumlah uang yang mereka pinjam. Hal ini membuat kesulitan bagi masyarakat yang memerlukan.
Keadaan ini membawa mereka untuk menciptakan sebuah akad tersendiri, sehingga keperluan masyarakat terpenuhi dan keinginan orang-orang kaya pun terayomi. Jalan keluar yang mereka ciptakan itu adalah bai’ al wafa’.
Ibnu Abidin mengatakan, ketika kedua orang membatalkan perjanjian sebelum akad, ataupun mengira bahwa perjanjian tersebut dianggap tidak lazim, maka jual beli tersebut disebut dengan bai’ fasid. Namun, ketika perjanjian dibuat dilaksanakan setelah akad, maka perjanjian dihukumi boleh. Bahkan ketika perjanjian tersebut ingin diteruskan, maka kedua belah pihak wajib untuk menyempurnakannya. Hal itu disebabkan dalam suatu perjanjian. terkadang terdapat ketetapan akan kebutuhan masyarakat yang mendesak.
Berbeda dengan ulama Hanafiyah, Ibnu Tamiyah memandang jual beli ini tidak sah. Ia mengatakan, jual beli yang dipraktikkan oleh sebagian masyarakat tampak seperti jual beli amanah, apabila uang dikembalikan maka barang dikembalikan. Maka jual beli ini adalah jual beli bathil menurut para Imam, baik dengan persyaratan yang disebutkan dalam waktu akad maupun melalui kesepakatan sebelum akad. Demikian disampaikan oleh Ibnu Taimiyah adalah kitab Majmu’ Al-Fatwa. Mereka melihat jual beli al wafa’ dari segi bahwa ia termasuk gadai (rahn), tetapi mereka tidak melihatnya sebagai bagian dari kategori transaksi kontemporer yang diperbolehkan oleh sebagian fuqaha terdahulu.
Para ulama lainnya tidak melegalisasi bentuk jual beli ini. Alasannya;
1.             Dalam suatu akad beli tidak dibenarkan adanya tenggang waktu, karena jual beli adalah akad yang mengakibatkan perpindahan hak milik secara sempurna dari penjual kepada pembeli.
2.         Dalam jual beli tidak boleh ada syarat bahwa barang yang dijual itu harus dikembalikan oleh pembeli kepada penjual semula, apabila ia telah siap mengembalikan uang seharga penjualan semula.
3.             Bentuk jual beli ini tidak pernah ada di zaman Rasulullah SAW maupun sahabat.
4.        Jual beli ini merupakan hilah yang tidak sejalan dengan maksud-maksud syara’ persyariatan jual beli.
5.        Jual beli ini menyerupai bentuk akad rahn, kerena dilihat dari sisi bahwa harta yang menjadi jaminan harus kembali lagi kepada pemilik harta.
Sementara, Sayid Sabiq dalam bukunya yang berjudul “Fiqih Sunnah” mengatakan, bahwa bai’ al wafa’ hukumnya sama dengan hukum penggadaian.


Artikel arinprasticha Lainnya :

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 arinprasticha | Design by Bamz