Pendapat Para Ulama Mazhab tentang Akad Murabahah
Dalam keseharian kita, tidak lepas dari pemenuhan kebutuhan hidup melalui jual beli. di bawah ini, akan sedikit dibahas tentang salah satu macam akad jual beli syari'ah, yaitu murabahah. Dalam artikel ini akan dibahas mengenai pendapat ulama madhab mengenai akad murabahah. berikut uraiannya: ...
Pengertian
Murabahah
Secara bahasa murabahah berasal dari kata “ar-ribhu” yang
berarti an-namaa’ yang berarti tumbuh dan berkembang. Atau murabahah juga
berarti “al-irbaah” karena salah satu dari dua orang yang bertransaksi memberikan
keuntungan kepada yang lainnya.7 Sedangkan secara istilah, bai’ul murabahah (murabahah) adalah jual beli dengan harga awal disertai dengan
tambahan keuntungan.
Menurut ulama Malikiyah, murabahah adalah
jual beli di mana pemilik barang menyebutkan harga beli barang tersebut,
kemudian ia mengambil keuntungan dari pembeli secara sekaligus dengan
mengatakan, “Saya membelinya dengan harga sepuluh dinar dan Anda berikan
keuntungan kepadaku sebesar satu dinar
atau dua dinar.” Atau merincinya dengan mengatakan, “Anda berikan
keuntungan sebesar satu dirham
per satu dinar-nya. Atau bisa juga ditentukan dengan ukuran
tertentu maupun dengan menggunakan persentase.
Ulama Hanafiyah
mendefinisikannya dengan mengatakan, pemindahan
sesuatu yang dimiliki dengan akad awal dan harga awal disertai tambahan
keuntungan.
Menurut ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah, murabahah adalah
jual beli dengan harga pokok atau harga perolehan penjual ditambah keuntungan
satu dirham pada
setiap sepuluh dinar. Atau semisalnya, dengan syarat kedua belah pihak
yang bertransaksi mengetahui harga pokok.
Murabahah menurut
Azzuhaili adalah jual beli berdasarkan suka sama suka antara kedua belah pihak
yang bertransaksi.
Dasar
Hukum Akad Murabahah
Landasan
hukum akad murabahah ini adalah ayat-ayat
al-Qur’an yang secara umum membolehkan jual beli, di antaranya adalah firman
Allah dalam QS. al Baqarah: 275:
Artinya:
“..dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
Ayat
ini menunjukkan bolehnya melakukan transaksi jual beli dan murabahah merupakan salah satu bentuk dari
jual beli, sebagaimana firman Allah dalam QS. An-Nisaa:
29:
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka sama suka di antara kamu”.
Selain
itu sebagaimana sabda Rasulullah Saw: “Pendapatan yang paling
afdhal (utama) adalah
hasil karya tangan seseorang dan jual beli yang mabrur.” Demikian juga, hadis dari riwayat Ibnu Majah,
dari Syuaib:
Artinya:
”Tiga perkara yang di dalamnya terdapat keberkahan: menjual dengan pembayaran
secara tangguh, muqaradhah (nama lain dari mudharabah) dan mencampur gandum
dengan tepung untuk keperluan rumah dan tidak untuk dijual.”
Ketentuan-Ketentuan
Yang Harus Dipenuhi Dalam Akad Murabahah
Wahbah Az-zuhaili mengatakan bahwa di dalam
transaksi murabahah ini persyaratan yang harus dipenuhi antara lain
adalah:
1) Diketahuinya harga pokok. Dalam jual beli murabahah ini,
penjual diharuskan untuk memberitahukan secara jelas harga pokok atau harga
awal dari suatu barang yang akan dijual kepada pembeli untuk menghindari
terjadinya transaksi yang tidak jelas (gharar) di antara kedua belah pihak.
2) Diketahuinya keuntungan yang ditetapkan. Pihak penjual
ketika melakukan transaksi dengan pembeli diwajibkan untuk menjelaskan berapa
dan bagaimana keuntungan (marjin keuntungan) yang akan ditetapkan dari barang
yang dijual dan hal itu merupakan unsur terpenting yang mendukung terjadinya
transaksi yang saling rela (‘an
taradin) di antara kedua belah pihak.
Sementara itu, secara umum para ulama berbeda
pendapat tentang biaya yang dapat dibebankan pada harga jual beli barang terkait
dengan pengertian keuntungan yang disepakati mark-up dalam transaksi murabahah.
Pertama, Mazhab
Maliki membolehkan adanya biaya-biaya yang langsung dan tidak langsung yang
terkait dengan transaksi jual beli dengan ketentuan dapat memberikan nilai
tambah pada barang tersebut.
Kedua, Mazhab
Syafi’i membolehkan untuk membebankan biaya-biaya yang secara umum timbul dalam
suatu transaksi jual beli, kecuali biaya tenaga kerjanya sendiri karena
komponen ini sudah termasuk dalam keuntungannya. Begitu pula dengan biaya-biaya
yang tidak menambah nilai barang tidak boleh dimasukkan sebagai komponen biaya.
Ketiga, Mazhab
Hanbali mengatakan bahwa semua biaya yang langsung maupun tidak langsung dapat
dibebankan pada harga jual selama biaya-biaya itu harus dibayarkan kepada pihak
ketiga dan dapat menambah nilai barang yang dijual tersebut.
Keempat, Mazhab
Hanafi membolehkan untuk membebankan biaya-biaya yang secara umum dapat timbul
dalam suatu transaksi jual beli dan tidak boleh mengambil keuntungan
berdasarkan biaya-biaya yang semestinya ditanggung oleh si penjual.
0 komentar:
Post a Comment