Sebab-sebab Munculnya Tradisi Taqlid
Tumbuh dan
berkembangnya mentalitas taqlid pada periode ini disebabkan beberapa faktor baik internal maupun eksternal. Tidak
satupun faktor yang
dianggap sebagai penyebab utama dan tidak semua faktor itu dapat diidentifikasikan. Dibawah ini beberapa poin darii sebagian faktor-faktor tersebut.
a. Fanatisme Bermadzhab ( Ta’ashub )
Dalam hal ini para
pengikut madzhab merespon dan menyikapi madzhab yang dianutnya secara
berlebihan, sampai-sampai ada yang berani mendahulukan pendapat imam madzhab
daripada redaksi nash yang jelas.[1]
b. Instabilitas Sosial dan Politik
Kondisi
Negara dan pemerintahan diawal periode ini sudah mulai terpecah belah. berarti juga penurunan dibidang tasyri.
Pada gilirannya disintegrasi juga menjadi fariabel kusus perangsang tumbuh
suburnya fanatic madzhab. Misalnya mesir mengikut madzhab syafi’I dan syi’ah,
spanyol menganut pada madzab maliki sedangkan turki dan india memlih madzhab hanafi. Fanatisme ini menjalar pada
instansi pemerintahan. Akibatnya para ulama’
yang ingin menjabat sebagai qodli atau hakim harus mengikuti madzhab
resmi yang dianut Negara.
c. Terpecah-Pecahnya Daulah Islamiyah ke dalam Beberapa
Kerajaan yang antara Satu dengan lainnya Saling Bermusuhan
Hal ini menyebabkan
mereka sibuk berperang, saling memfitnah, memasang berbagai perangkap dan tipu
daya untuk meraih kemenangan dan kekuasaan. Situasi dan kondisi seperti ini
melahirkan masa krisis umum sehingga semangat keilmuan dan kesenian menjadi
lemah dan terhenti.
d. Terpecahnya Imam-Imam Mujtahid menjadi Beberapa Madzhab
yang Mempunyai Corak Sendiri-Sendiri.
Setiap Imam
mempunyai pengikut dan kader sendiri-sendiri yang berusaha mencurahkan segenap segenap
perhatiannya dalam rangka membela dan memenangkan madzhabnya masing-masing.
Misalnya, adakalanya dalam rangka membela dan memperkuat madzhabnya masing-masing
dengan cara mengemukakan argumentasi untuk menguatkan kebenaran madzhabnya
sambil mengedapankan kekeliruan madzhab lain yang dinilai bertentangan dengan
madzhabnya. Kondisi inilah yang membuat para ulama’ madzhab sibuk dan
membelokkan mereka dari dasar-dasar pokok tasyri’ yaitu Al-Qur’an dan Sunnah.
e. Umat Islam mengabaikan sistem kekuasaan perundang-undangan,
sementara disisi lain mereka juga tidak mampu merumuskan peraturan yang bisa
menjamin agar seseorang tidak ikut berijtihad kecuali yang memang ahli
dibidangnya.
Dengan demikian
terjadilah krisis pembentukan hukum dan ijtihad, dimana praktik ijtihad dilakukan
oleh orang-orang yang tidak mempunyai keahlian. Sehingga muncullah fatwa hukum yang
bertentangan di pengadilan terhadap suatu kasus yang sama. Situasi dan kondisi
seperti ini membuat para ulama’ merasa khawatir sehingga mereka mengambil sikap
kebijakan hukum dengan cara menyatakan menutup pintu ijtihad dan mengikat para
mufti ( ahli fatwa) dan hakim supaya tetap saja mengikuti ketetapan-ketetapan
hukum para imam mujtahid terdahulu.
f. Para ulama’ dilanda krisis moral yang menghambat mereka
sehingga tidak bisa sampaii kepada level orang-orang yang melakukan ijtihad.
Dikalangan ,mereka
terjadi saling menghasut dan egois mementingkan dirii sendiri. Kalau salah
seorang di antara mereka berusaha mengetuk pintu ijtihad yang berarti akan
membuka pintu kemasyhuran bagi dirinya dan merendahkan kedudukan rekan-rekan
lainnya. Kalau ia berani berfatwa mengenai suatu masalah menurut pendapatnya,
maka para ulama’ lainnya meremehkan pendapatnya dan merusak fatwanya dengan
berbagai macam cara.[2]
0 komentar:
Post a Comment