Meninggalnya suami ataupun orang
dekat yang dikasihi jelas menggoreskan luka dan duka di dalam hati. Karena
suasana hati yang berkabung, tak ada hasrat berhias diri, menyentuh wewangian,
ataupun berpakaian indah. Syariat Islam yang mulia pun tidak mengabaikan
keadaan ini. Maka dibolehkanlah ber-ihdad, bahkan wajib bagi seorang
istri bila suaminya meninggal dunia, disebabkan besarnya hak suami terhadapnya.
Berkabung, dalam bahasa Arabnya adalah al
hadaad ( الْحَدَادُ ). Maknanya, tidak
mengenakan perhiasan baik berupa pakaian yang menarik, minyak wangi atau
lainnya yang dapat menarik orang lain untuk menikahinya. Pendapat lain
menyatakan, al hadaad adalah sikap wanita yang tidak mengenakan segala
sesuatu yang dapat menarik orang lain untuk menikahinya seperti minyak wangi,
celak mata dan pakaian yang menarik dan tidak keluar rumah tanpa keperluan
mendesak, setelah kematian suaminya.
Ulama ahlu sunnah sepakat, kecuali Al Hasan Al Bashri,
Al Hakam bin Utaibah dan Asy Sya’bi, menyatakan bahwa hukum berkabung dari
kematian suami selama empat bulan sepuluh hari adalah wajib.
Allah
berfirman:
وَالَّذِين يُتَوَفَّوْنَ مِنكُم وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍوَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنّ فَلاَجُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْن فِي أَنفُسِهِنّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرُ
"Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu
dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan
dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis masa
'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat
terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu
perbuat" [Al Baqarah:234].
Zainab bintu Abi Salamah berkata, “Aku
masuk menemui Ummu Habibah, istri Nabi, saat datang berita kematian ayahnya Abu
Sufyan dari negeri Syam. Pada hari ketiga setelah meninggalnya sang ayah, Ummu
Habibah meminta minyak wangi lalu mengusapkannya pada kedua sisi wajahnya dan
kedua pergelangannya. “Demi Allah!”, katanya, “Aku sebenarnya tidak
berkeinginan terhadap wewangian. Hanya saja aku pernah mendengar Rasulullah bersabda di atas mimbar:
لاَ يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
تُحِدُّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثٍ إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ، أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ
وَعَشْرً
“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman
kepada Allah dan hari akhir untuk berihdad terhadap mayat lebih dari
tiga hari kecuali bila yang meninggal itu suaminya, maka ia berihdad
selama empat bulan sepuluh hari.”
Kata Al-Imam An-Nawawi , “Ini merupakan madzhab kami dan
madzhab ulama secara keseluruhan. Kecuali pendapat berbeda yang dihikayatkan dari
Yahya ibnu Abi Katsir dan Al-Auza’i yang menyatakan lamanya empat bulan sepuluh
malam dan si wanita telah halal (tidak lagi berihdad) pada hari yang ke sepuluh.
Sementara pendapat kami dan jumhur, si wanita tidak halal hingga ia masuk malam
yang ke sebelas.”15 (Al-Minhaj, 9/352)
Bila si istri dalam keadaan hamil, maka masa
iddah dan ihdadnya berakhir dengan melahirkan kandungannya, walaupun ia
melahirkan sesaat sebelum jenazah suaminya dimandikan. Iddahnya saat itu telah
berakhir dan halal baginya untuk menikah. Demikian pendapat jumhur ulama dari
kalangan salaf dan khalaf, dengan dalil ayat berikut ini:
“Dan istri-istri yang sedang hamil waktu iddah
mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (Ath-Thalaq: 4)
Hal-hal yang tidak diperbolehkan bagi seorang istri yang sedang ber-Ihdaad:
1. Tidak Boleh Bercelak secara Mutlak
Zainab
bintu Abu Salamah mengabarkan dari ibunya, Ummul Mukminin Ummu Salamah dan diperbolehkan
memakai celak pada malam hari sebagaimana
hadits Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam masuk ke tempatku ketika Abu Salamah wafat sementara aku
memakai shabr (jenis celak) pada kedua mataku.
Beliau bertanya, “Apa yang kau pakai pada matamu, wahai Ummu Salamah?” “Ini cuma shabr, wahai Rasulullah, tidak
mengandung wewangian,” jawabku.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Shabr itu membuat
warna wajah bercahaya/menyala, maka jangan
engkau memakainya kecuali pada waktu malam dan hilangkan di waktu siang. Jangan menyisir
(mengolesi) rambutmu dengan minyak wangi dan jangan pula memakai hina` (inai/daun pacar) karena hina` itu
(berfungsi) sebagai semir (mewarnai
rambut dan kuku, –pent.).” Ummu Salamah berkata, “Kalau begitu dengan apa aku
meminyaki rambutku, wahai Rasulullah?” Beliau
menjawab, “Daun sidr dapat engkau pakai untuk memolesi rambutmu.” (HR. Abu Dawud no. 2305)
2.
Tidak Boleh Berwangi-wangian
Memakai wewangian’
menunjukkan haramnya minyak wangi bagi
wanita yang sedang berihdad. Yang terlarang di sini adalah segala
yang dinamakan wewangian dan tidak ada perselisihan pendapat dalam hal ini.”
3.
Tidak Boleh Mempercantik Diri dengan
Bersolek
4.
Tidak Boleh Berpakaian yang Menarik
Al-Imam
Asy-Syaukani rahimahullahu berkata, “Dari ucapan
Ummu ‘Athiyyah, ‘Kami
Batasan berhias atau tidak berhias kembalinya
kepada ’urf (adat kebiasaan) setiap zaman. Bila dikatakan, “Ini pakaian biasa”, berarti
tidak wajib untuk ditinggalkan, boleh.
5.
Tidak Boleh Memakai Perhiasan Suaminya
Al-Imam Malik rahimahullahu
berkata, “Wanita yang sedang berihdad karena kematian. Bila si wanita dalam keadaan
berperhiasan saat suaminya meninggal dunia
maka ia harus
melepaskannya, seperti gelang dan anting-anting. Adapun bila ia memakai gigi
emas (gigi palsu dari emas) dan
tidak mungkin dilepaskan maka tidak wajib baginya melepasnya, namun ia
upayakan untuk menyembunyikannya.
Dalam
Majmu’ Fatawa (17/159), Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullahu menjelaskan keharusan wanita yang berihdad untuk tidak berhias dan memakai wewangian
pada tubuh serta pakaiannya. Ia harus berdiam
dalam rumahnya, tidak boleh keluar di siang hari kecuali ada kebutuhan dan tidak boleh pula keluar di
waktu malam kecuali darurat. Ia tidak boleh memakai perhiasan, tidak boleh mewarnai rambut dan
kukunya dengan inai atau selainnya.
No comments:
Post a Comment