Sebuah kontrak perjanjian, selalu tidak lepas dalam kehidupan sehari-hari. Pekerjaan yang dilakukan sekecil apapun yang dilakukan bersama dengan orang lain, alangkah baiknya disepakati dengan baik sesuai dengan asas perjanjian yang baik dan benar. Terlebih lagi kita sebagai umat Islam, sudah sangat dianjurkan memperhatikan asas kontrak perjanjian secara syari'ah sesuai yang diajarkan oleh Rasulullah dan ulama terdahulu. Apa saja asas-asas kontrak perjanjian syari'ah itu? berikut sedikit uraiannya...
![Hasil gambar untuk asas kontrak syari'ah](https://1.bp.blogspot.com/-rD-GVUJhY_c/U47H-VD03ZI/AAAAAAAAAQU/-WvKHxj_3nE/s1600/kontrak+2.jpg)
image from: arifindbkosmik.blogspot.co.id
Istilah asas berasal dari bahasa Arab yang berarti dasar atau
landasan. Sedangkan secara terminologi, yang dimaksud dengan asas adalah
nilai-nilai dasar (al-qiyam al-asasiyyah) yang menjadi bahan
pertimbangan untuk melakukan perbuatan. Karena nilai-nilai dasar itu sangat
berpengaruh terhadap perbuatan atau perilaku manusia secara lahiriyah (akhlaq),
maka nilai dasar tersebut harus mengandung unsur-unsur kebenaran hakiki.[1]
Akad atau kontrak berasal dari bahasa Arab yang berarti ikatan atau
simpulan baik ikatan yang nampak (hissy) maupun tidak nampak (ma’nawy).
Kamus al-Mawrid, menterjemahkan al-‘Aqd sebagai contract and
agreement atau kontrak dan perjanjian. Sedangkan akad atau kontrak menurut
istilah adalah suatu kesepakatan atau komitmen bersama baik lisan, isyarat,
maupun tulisan antara dua pihak atau lebih yang memiliki implikasi hukum yang
mengikat untuk melaksanakannya. Subhi Mahmasany mengartikan kontrak sebagai
ikatan atau hubungan di antara ijab dan qabul yang memiliki
akibat hukum terhadap hal-hal yang dikontrakkan. Terdapat juga pakar yang
mendefinisikan sebagai satu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang
berdasarkan kesepakatan atau kerelaan bersama.
Di dalam sebuah kontrak, terdapat landasan yang dijadikan pedoman
dalam pembuatannya. Apalagi jika akad tersebut terkait dengan sebuah kegiatan
yang berdasarkan syari’at Islam, maka sudah tentu harus memperhatikan asas-asas
kebaikan yang sesuai dengan ajaran Islam. Adapun asas-asas yang terkait dengan
penyusunan kontrak syari’at adalah:
1.
Asas Ibadah (asas diniatkan ibadah). Hakikat kehidupan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah SWT
(QS. Adz-Dzariyat: 56). Dengan demikian adanya keyakinan terhadap unsur
ketuhanan dalam aspek ibadah, merupakan hal yang prinsip dalam Islam. Bentuk
keyakinan ini harus diwujudkan melalui amalan niat (aqidah) sebelum memulai
perbuatan. Di samping aqidah, suatu perbuatan akan bernilai ibadah apabila
sesuai dengan hukum syara’ yang telah ditetapkan. Keberadaan asas inilah yang
menjadi perbedaan mendasar antara hukum kontrak syari’ah dengan hukum kontrak
lainnya.
2.
Asas harriyyah at-ta’aqud (asas kebebasan berkontrak). Merupakan wujud dari asas kebebasan berkontrak. Masing-masing pihak
yang akan mencapai tujuan akan mempunyai kebebasan untuk mengadakan penyusunan
kontrak (freedom of making contract). Ruang linkup kebebasan berkontrak
dapat berupa kebebasan: (1) menentukan objek perjanjian, (2) mengajukan
syarat-syarat dalam merumuskan hak dan kewajiban, dan (3) menentukan cara
penyelesaian apabila terjadi perselisihan/sengketa.
Pengertian asas kebebasan berkontrak dalam Islam berbeda dengan apa
yang dimaksud kebebasan berkontrak dalam hukum konvensional. Perbedaannya bahwa
kebebasan berkontrak dalam Islam ialah kebebasan yang bersifat terikat dengan
hukum syara’. Karena bersifat terikat, maka kebebasan berkontrak itu
akan dibenarkan selama syarat-syarat yang dikemukakan tidak bertentangan dengan
ketentuan syari’ah asy-syuruth asy-syar’i li al-‘aqd).
3. Asas Al-musawah (asas persamaan). Muamalah merupakan ketentuan hukum syara’ yang mengatur
hubungan sesama manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dalam memenuhi
kebutuhan hidup, Allah telah melebihkan sebagian kamu dari sebagian yang lain
dalam hal rizki (QS. An-Nahl: 71). Namun hikmah yang dapat diambil dari adanya
perbedaan tersebut adalah agar di antara mereka saling membutuhkan kerja sama
(QS. Az-Zukhruf: 32). Dengan adanya perilaku saling membutuhkan, maka setiap
manusia memiliki kesamaan hak untuk mengadakan perikatan. Dikatakan demikian,
karena pada prinsipnya, manusia adalah sama. Sedangkan yang membedakan adalah
ketakwaannya. Allah SWT berfirman: “sesungguhnya orang yang paling mulia di
sisi Allah di antara kamu ialah orang yang paling bertakwa”. (QS.
Al-Hujurat: 13).
4.
Asas At-tawazun (asas keseimbangan). Meskipun secara faktual masing-masing pihak yang akan mengadakan
kontrak memiliki latar belakang kebutuhan yang berbeda, namun dalan hukum
bisnis tetap menekankan perlunya berpegang pada asas keseimbangan. Karena asas
keseimbangan dalam akad terkait dengan pembagian hak dan kewajiban. Misalnya
adanya hak mendapatkan keuntungan dalam investasi, berarti harus disertai
dengan kewajiban menanggung resiko. Ketentuan ini merujuk pada kaidah fiqh yang
menyatakan “keuntungan muncul bersama resiko” dan “hasil usaha muncul
bersama tanggungan yang dikeluarkan”.
5. Asas Maslahah (asas kemaslahatan). Pada hakikatnya tujuan melakukan akad adalah untuk mencapai
kemaslahatan bagi masing-masing pihak. Pengertian maslahat dalam Islam meliputi
dimensi kehidupan dunia dan akhirat. Dan untuk menjamin tercapainya
kemaslahatan maka kaidah fiqh yang berlaku: ”apabila hukum syara’
dilaksanakan, maka pastilah tercipta kemaslahatan”. Namun apabila dalam
pelaksanaan akad ternyata terjadi suatu perbuatan melawan hukum sehingga
menimbulkan kemudharatan pihak lain, maka kaidah fiqh yang berlaku ialah: “segala
apa yang menyebabkan terjadinya kemudharatan (bahaya) maka hukumnya haram”.[2]
Untuk
mencapai kemaslahatan dan mencegah timbulnya kemudharatan, dalam fiqh dijumpai
adanya hak khiyar. Maksud hak khiyar ialah hak yang memberikan
opsi para pihak untuk meneruskan atau membatalkan akad karena adanya sebab yang
dapat merusak keridhaan (‘uyub al-ridha). Hak khiyar berlaku pada
akad yang bersifat belum pasti. Sedangkan apabila pelanggaran terjadi setelah
perikatan yang bersifat pasti (luzum), maka yang berlaku bukan lagi hak khiyar,
melainkan pemberian hak berupa tuntutan mendapatkan ganti rugi kepada para
pihak yang merasa dirugikan.
6.
Asas Al-Amanah (asas kepercayaan). Asas amanah merupakan bentuk kepercayaan yang timbul
karena adanya i’tikad baik dari masing-masing pihak untuk mengadakan akad. Dalam
hukum kontrak syari’ah, terdapat bentuk akad yang bersifat amanah. Maksud
amanah di sini dapat diartikan sebagai kepercayaan kepada pihak lain
untuk menjalin kerja sama. Asas kepercayaan dapat berlaku baik dalam akad yang
bersifat tijarah maupun tabaru’. Dalam akad tijarah
misalnya kepercayaan shahibul maal kepada mudharib untuk
menjalankan usaha melalui akad mudharabah. Sedangkan akad yang bersifat tabaru’
misalnya memberikan kepercayaan kepada orang lain untuk memelihara barang
titipan melalui akad wadiah. Adapun yang menjadi dasar hukum berlakunya
asas ini adalah: “sesungguhnya Allah menyuruh kami menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya” (QS. An-Nisa’: 58). “maka hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya” (QS. Al-Baqarah: 283). “janganlah
kamu menghianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu
mengetahui” (QS. Al-Anfal:27).[3]
7.
Asas Al-‘Adalah (asas keadilan). Para pihak yang melakukan akad penyusunan kontrak, wajib berpegang
teguh pada asas keadilan. Pengertian asas keadilan adalah suatu asas yang
menempatkan segala hak dan kewajiban berdasarkan pada prinsip kebenaran hukum
syara’. Karena itu dengan berbuat adil, maka seseorang tidak akan berlaku
dzalim terhadap yang lain. Untuk itu Allah berfirman: “Hai orang-orang yang
beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran
Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap suatu kaum, membuat kamu cenderung untk berlaku tidak adil. Berlaku adillah,
karena adil itu lebih dekat dengan takwa. Dan sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Maidah: 8).
8.
Asas Al-Ridha (asas keridhaan). Segala transaksi yang dilakukan harus berdasarkan keridhaan di
antara masing-masing pihak. Apabila dalam transaksi tidak terpenuhi asas ini,
maka sama artinya dengan memakan harta dengan cara bathil. Dalam suatu kontrak,
asas keridhaan inilah yang melahirkan kehendak para pihak untuk menyatakan
kesepakatan (ijab qabul). Adapun yang menjadi dasar hukumnya adalah: “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan ridha sama
ridha di antara kamu” (QS. An-Nisa’: 29).
9. Asas Al-Kitabah (asas tertulis). Kontrak merupakan perjanjian perikatan yang dibuat secara tertulis.
Namun perlu dipahami, bahwa dalam Islam asas tertulis (al-kitabah) tidak
hanya berlaku dalam hukum kontrak, melainkan juga berlaku pada semua akad
muamalah yang dilakukan tidak secara tunai (hutang), Allah SWT berfirman: “Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya” (QS. Al-Baqarah: 282).
10.
Asas Ash-Shiddiq (asas kejujuran). Kejujuran merupakan hal yang prinsip bagi manusia dalam segala
bidang kehidupan, termasuk dalam penyusunan kontrak bisnis. Jika kejujuran
tidak diamalkan dalam penyusunan kontrak, maka akan merusak keridhaan (‘uyub
al-ridha). Di samping itu, ketidakjujuran dalam penyusunan kontrak biasanya
akan berakibat perselisihan para pihak di kemudian hari. Karena itu dalam
penyusunan kontrak, asas kejujuran sangat menentukan tercapainya tujuan. Adapun
yang menjadi dasar hukum asas kejujuran adalah firman Allah: “Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah, dan katakanlah
perkataan yang benar” (QS. Al-Ahzab: 70). Selain itu sabda Rasulullah SAW
juga menyebutkan:
“Jika
kamu menjual barang dagangan, maka katakanlah tidak ada penipuan” (HR.
Bukhari).
“Barang siapa yang melakukan penipuan, maka dia tidak termasuk
golongan kami” (HR. Ibnu Majah).
No comments:
Post a Comment